Notes On

Friday, November 19, 2010

Kisah Prau, Angin dan Bulan

ini catatan tentang perjalanan ke Skouw Mabo. Tientang ranjang penuh pasir, diterbangkan angin menembus pilah-pilah dinding rumah yang terbuat dari pelepah sagu.atau bahan lain, entahlah. tidak penting lagi kini.
tapi ranjang berpasir itu, dan angin yang menerbangkannya sesekali berkelebat di sudut mataku.

@ami, ilo: my beloved ones.

padaku pernah singgah: sebuah bodi*
yang dicungkil dariku adalah harap.yang dipasak dalamku: kau
kesedihan menoreh karang, 
selalu hampir membuat langkah karam.
begitu hampir, hingga telah lama tak lagi kutahu asal pasir di atas ranjang.

adakah angin sakal, bawa butir pasir dari pantai asing
atau jejak diri yang pergi menelusur pantai
menganyam angin
niscaya: layar koyak jadi sayap, aku terbang.

padaku: sebuah rumah
tanpa tirai, kini dengan jendela terpentang
malam-malam pada waktu angin bisa dianyam jadi buaian,
penuh pasir,penuh desir, kupasrahkan diri ditelan bulat bulan.

lalu terbang. 
menemuimu di bawah cemara.

*bodi, jenis perahu yang terbuat dari kayu utuh, yang dilubangi. umum di daerah sultra.

makassar 2009

Thursday, October 21, 2010

August 27,10

kita adalah diam yang tak terseberangi. indahnya!

hanya kami hingga siang ini: diriku dan diriku. menunggumu

kau temukankah sepenggal diriku, dalam matamu?

Inilah yang mempertegas jarak kita: kemampuan memandang. Aku membutuhkanmu untuk membacakan naskah yang ditulis waktu.

time never heals, but somehow helps you overcome the bleeding problems..

diam kita makin surut ke laut, teluk penuh dengan sepi. sebentar lagi tsunami.

baru saja: kau melintasi rinduku, jejaknya dalam. seperti perempuan: bolong. itu aku. lalu sepi mencabut gigi-giginya: ompong. itu waktu.

Monday, October 18, 2010

Sore Merah Seperti Teh

musik menjemput larik-larik ini, dari jalan panjang kenangan tentang lhokbon di waisai, dan thalasa yang menyimpan manado tua di berandanya.
kukirim kepadamu, kekasih yang membawa punggungnya terus menjauh dariku.

untuk dinyanyikan:

hanya ada angin jemu
dan sore yang merah
seperti teh
ketika buah bakau jatuh dan pecah
cinta bertolak dari dermaga
ke duanya menuju entah
mencari tempat tumbuh
tempat berlabuh.

tentang kita:
meski atas nama singgah
cinta tak pernah salah
ketika tiba di dermaga

2010

Tuesday, September 28, 2010

Sajak Mesin Jahit

catatan tetang Mesin Jahit

tidak kusimpan gambar ibu, sepotongpun di seluruh rumahku. Rumah dimana aku dipanggil ibu, oleh anak-anakku. tapi di rumahku ada mesin jahit yang tidak pernah melarikan benang dan jarum di atas kain, dan di ujung-ujungnya ada jemari mengapit.

seperti yang ada di rumah ibu. jerrr, jerrrrrrrrrr, jerrrrrrrr bunyinya kuingat.

jerrrrrr, jerrrrrrrrr, jerrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr, nyanyi mesin mengiring senandung ibu

ketika waktu ia himpit hati-hati dengan cinta, setelah mengukur kain lalu menjahitkan baju, juga menyiapkan kartu untuk ulang tahunku. mesin jahit di rumahku mengelim waktu yang senyap, ketika kusiapkan pesta ulangtahun lewat telepon untuk si bungsu,
sayup mesin jahit ibu terus berbunyi di dalam darahku, meski terhimpit waktu.

kuingat jerrrrrrrrr, jerrrrrrr, jerrrrrrrr cinta ibu

lama sejak kuletakkan gagang telpon mesin itu tidak berhenti: Jerrr, jerrrrrrrr, jerrrrrrrr. Mengejar. Kali ini ia berbunyi, sebagaimana mesin seharusnya berbunyi. tanpa tanganku menjepit waktu di kedua ujungnya. Jerrrr, jerrrrrrr, jerrrrrrrr. Ibu menjahitkan cintanya ke tubuhku.

kelim dasarnya belum kelar: Jerrrrr, jerrrrrrrr, jerrrrrrr.

Ben's Birthday 2008

Tentang Hujan

bukan hujan itu benar yang memikatku
tapi setelah itu, setelah hujan,
bening di ujung rumput dan daunan seperti benih di ujung cumbu
kita duduk saling peluk menghirup bau tanah,
sebagaimana kita, sehabis hujan: basah

mengingatkan pada kubur, pada umur
cinta kita, termaterai sekuat maut.

2010

Sunday, September 19, 2010

Kuseru Dirimu

:ami

kuseru dirimu 
ketika mata nanar menatap bias cahaya, 
'mari menggarami luka. 
kita akan menggeliat, dan waktu perih jatuh satu-satu: 
sedang kita hitung bahagia. 
kita mahfum, tanpa mempercakapkan rindu.'

2010

Saturday, September 18, 2010

Mesin Jahit

Tanggal 1 February ini Ben berumur enam tahun. Beberapa minggu sebelumnya Ben, si bungsu, telah merencanakan apa yang ingin ia miliki pada saat hari ulang tahunnya tiba. Tiga potong baju baru.
"Kenapa harus tiga? Untuk apa?" tanya saya.
"Untuk Bum, Jo, sama Jay", jawabnya. Di hari ulang tahunnya, dia ingin memberi hadiah baju untuk ke tiga saudaranya? Saya lebih siap untuk permintaan sebuah perayaan ulang tahun di KFC misalnya atau di restoran cepat saji mana saja, seperti beberapa teman TK-nya. Permintaan umum. Mungkin karena itu lebih 'gampang'. Paketperayaan ulang tahun, tanpa harus repot. Tiga baju baru? Saya samar-samar mencium ide bahwa menghadiahi ke tiga kakanya baju baru, adalah ide hasil provokasi salah seorang dari yang akan diberi hadiah.


Tapi saya menyetujui rencana itu. Kami tidak pernah membahasnya lagi. Lalu semakin dekat hari ulang tahun itu, Ben mendapat ide baru. Dia ingin makan Pizza.
"boleh makan pizza,ma?"
Sudah lama kami tidak makan bersama di luar rumah. Kebiasaan kami keluar untuk makan bersama atau membeli buku, belakangan sudah tidak terjadi lagi. Tidak lagi sejak, ayah mereka jatuh sakit dua bulan lalu. Beberapa akhir minggu kami lewatkan di rumah sakit, menungguinya dan ketika ayah mereka sudah pulang ke rumah pun, kami hanya bisa melewatkan akhir pekan bersama di rumah karena Mike tidak boleh terlalu lelah.

Saya tahu, pada pizza Ben, ada kenangan tentang kesempatan bermain di Timezone, memilih buku mewarnai yang baru, membeli crayon baru, lalu kemudian makan es krim sambil menunggu saya berbelanja. Atau ikut memilih t-shirt di box-box discount Matahari.


Tentu saja, Ben boleh makan pizza. Kami lalu sepakat pada rencana, Ben akan merayakan ulang tahun bersama teman-teman TK-nya. Dengan menu pizza. Lalu malamnya kami akan keluar sekeluarga, makan pizza sepuas hati, lalu membeli baju. Batin saya tahu, saya sedang menebus rasa bersalah pada kesempatan-kesempatan yang terabaikan untuk tetap memelihara kegembiraan mereka. Hari itu saya berencana akan mengambil cuti setengah hari, menemaninya merayakan ulang tahun bersama teman-teman di "sekolah". Begitu rencana saya demi membuat hari ulang tahun Ben tetap istimewa.

Dua hari menjelang hari "H", saya diberi tugas untuk pergi mewakili pimpinan program saya menghadiri rapat di Jeneponto. Tepat pada hari ulang tahun Ben. Yang konyol, ketika mengiyakan, saya lupa sama sekali tentang ulang tahun Ben. Saya baru teringat bahwa hari Jumat yang sama, adalah hari ulang tahun Ben, ketika hendak memasang reminder buat rapat itu, menjelang pulang kantor. Dengan jumlah orang yang sedikit dalam program kami, tidak mungkin meminta orang lain menggantikan tugas itu. Jadi saya merencanakan untuk mengatur delivery pizza ke tempat Ben ber-TK. Toh kami akan makan malam bersama dengan menu pilihan Ben: pizza.

Pada hari Jumat itu, pagi-pagi saya sudah dijemput mobil kantor, Ben masih baru bangun. Saya terlalu buru-buru untuk bilang selamat ulang tahun lengkap dengan doa dan pelukan. Lewat telpon, saya memonitor mekanisme pengantaran pesanan pizza dalam perjalanan ke Jeneponto. Kelihatannya, saya telah mengatur semuanya dengan baik. Bum, panggilan Ben untuk si sulung, akan memotret peristiwa itu. Bum yang saya minta tidak pergi ke sekolah. Mike, dalam keadaan drop -hasil pemeriksaan darahnya menunjukkan gejala yang kurang baik untuk kemajuan pemulihannya sehari sebelumnya- akan ada di sana sekedar hadir, seperti arahan saya. Aman. Every single thing, will drop in its place, pikir saya.

Menjelang sore saya sudah berada di jalan pulang. Dalam keadaan demam. Tanpa sebab. Saya tidak punya keinginan untuk memikirkan sebab musabab demam saya . Saya hanya ingin pulang. Sampai di rumah, saya hanya pasrah digotong ke tempat tidur. Ben kembali terlupakan. Juga rencana makan malam keluarga, hancur berantakan. Saya bangun menjelang subuh. Dengan tubuh basah kuyup. Saya keluar dari kamar, lalu duduk di ruang makan.

Ruang makan kami kecil. Dua setengah kali tiga meter. Di antara meja makan dan televisi yang terletak berhadapan, merapat ke dinding ada sebuah mesin jahit. Bukan milik saya. Milik ipar saya. Sudah lama mesin ini rusak. Bahkan seingat saya sejak mesin jahit itu dititipkan, tali putarannya sudah putus. Merek Singer di badan mesin berwarna hitam itu sudah terkelupas. Posisi mesin pun sudah tidak seimbang. Mesin itu, warnanya, jenisnya, persis seperti mesin jahit mamie. Juga tua seperti dalam ingatanku tentang mesin jahit di rumah kami di Jayapura. Sesungguhnya, itulah alas an kenapa mesin jahit itu ada di sana. Kenangan pada rumah. Mesin jahit itu, selalu mengingatkanku pada mamie.

Dalam kesibukannya mengajar, menjadi kepala sekolah sebuah SMP di Jayapura, mamie masih menjahitkan baju gereja untuk saya hingga saya duduk di bangku SMP. Baju-baju yang membuat saya meradang. Karena baju teman-teman sekolah minggu saya adalah baju yang dibelikan dari toko, sedang punyaku baju jahitan. Suatu siang, saya akhirnya meledak menangis tersedu-sedu, ketika mami menawarkan menjahitkan saya celana panjang dengan warna neon yang waktu itu sedang trend, ketimbang membelikannya saja. “Masa saya harus pake celana yang dijahit, padahal semua yang lain membelinya dari kakak si Ratna?”

Mestinya itu ucapan yang telah menghentikan mamie menjahit sendiri baju-bajuku. Setelah kejadian itu, mami tidak lagi pernah menawarkan jasa menjahitkan saya baju. Kecuali untuk satu peristiwa, waktu saya akan lulus SMA. Sebagai bagian dari pendidikan Kristen, saya di sidi, sebelum makan perjamuan kudus saya yang pertama. Gaun putih yang saya kenakan hari itu, dijahit oleh mamie. Dalam posisinya yang guru mata pelajaran, kepala sekolah dan seorang pengawas mamie menjahitkan saya baju itu . Hampir tiga minggu ia habiskan. Biasanya setelah jam makan malam , dan sepanjang sore di hari Minggu mamie akan duduk di mesin jahit dan mulai menyambung-nyambung potongan kain. Bayangan mamie dan kacamatanya membungkuk di depan mesin jahit, menjepit keliman. Mesin jahit mamie, bermotor. Mesin itu berbunyi di benak. Jerrrrrrrrrrrrrrrr. Jerrrrrrrrrrrrrrrrrr.

Udara dingin menyerbu dari kisi-kisi jendela dapur. Di atas mesin jahit di ruang makanku itu, ada sekotak pizza ukuran personal. Di sampingnya topi kerucut dari kertas koran dengan jumbai kasar warna warni dari kertas lipat. Ah. Ulang tahun Ben. Bagaimana tadi?
Saya lalu teringat mamie, duduk di depan mesin jahit menjelang ulang tahunku. Membuatkan baju untukku. Menyiapkan tart ulang tahun, membuatkan kartu . tapi saya toh tetap merasa tak cukup, waktu itu. Selama tak ada pesta disko, apalah artinya ulang tahun? “Kenapa saya tidak bisa bikinin pesta? Kenapa malah kebaktian rumah tangga?, siapa yang ulang tahunka?” Saya ingat kegusaran saya, di salah satu kesempatan hari ulang tahun.
Bersendiri di ruang makan itu, saya bertanya: cukupkah yang saya beri untuk Ben? Cukupkah 5 kotak pizza yang diantarkan untuk merayakan ulangtahunnya? Mengendapkah kenangan pada cinta mama dalam slice pizza? Di sendiri itu, saya gemetar. Bukan karena sisa demam. Tapi karena gentar pada kenangan tentang cinta ibu. Ibu saya. Mamie. Peristiwa, waktu, cinta ibu, kegigihannya untuk menunjukkan betapa saya begitu istimewa, datang menyerbu. Seperti spatula mesin jahit. Perih sekali. Ada yang menjahitku. Lama saya duduk di ruang makan. Hari sudah terang tanah, pakaian kasih ibuku, ternyata tidak pernah berhenti ia jahitkan ke tubuhku.

sajak mesin jahit

Ben's Birthday 2008

Monday, September 13, 2010

Berterimakasih Tanpa Terimakasih

Lebaran datang lagi, mengantar tulisan lama ini sekali lagi.

Kali ini setengah panci sop saudara, empat ketupat yang dikirim tetangga kami.  Bahkan setelah bertahun-tahun hidup bertetangga, saya masih terus belajar hikmah hidup bertetangga dan berterimakasih.

Kehadiran sebuah kata dalam kosa kata suatu etnis, merupakan akumulasi gagasan yang kompleks. Sebelum gagasan kompleks tersebut menemukan 'cangkang'-nya, dalam bentuk kata,  benih kata itu diekspresikan dalam berbagai tindakan mulai dari gesture individual sampai kepada berbagai ritual yang bersifat komunal. 
Perjalanan menjadi 'kata' itu, kadang selesai, kadang tidak. Kalau selesai, maka jadilah sebuah kata, yang dipahami dan diterima oleh kelompok pemakai bahasa tersebut sebagai cangkang sebuah kompleks ide. Cangkang bagi rangkaian perilaku, gesture.  Mungkin pula perjalanan menjadi kata itu tidak selesai. Asumsi saya, perjalanan yang tidak selesai itu dapat terjadi karena dua alasan : Pertama, karena eskpresi yang ada sudah memadai. Artinya, belum terasa mendesak, untuk mewakilkan rangkaian perilaku, gesture, ke dalam sebuah kata. Dua, karena terjadi pertemuan dan pengadopsian dengan bahasa lain, yang telah lebih dulu menyelesaikan perjalanan 'menjadi kata' itu. Ketika oleh para pendukung bahasa tertentu, 'disepakati' bahwa serapan itu secara paralel mewakili gagasan original yang tumbuh di tengah masyarakat dalam wujud non-verbal, maka jadilah ia bagian dari kosa kata pendukung bahasa tertentu.

Barangkali ini yang terjadi dengan kata terimakasih pada beberapa etnis. Etnis Bugis dan Makassar misalnya, adalah etnis yang tidak punya kata terimakasih. Tapi bukan berarti Etnis Bugis dan Makassar tidak tahu ber-terimakasih, tentu saja. Memang tidak muncul dalam percakapan keseharian, tetapi belakangan dalam wacana, diterima bahwa kata "kuru sumange", adalah kata yang bisa digunakan untuk mengekspresikan rasa terimakasih.   

Tapi wacana itu pada sisi lain, menegaskan bahwa ketika sebuah komunitas belum menemukan sebuah kata untuk mewakili gesture atau rangkaian tindakan tertentu untuk mengekpresikan rasa terimakasih, maka barangkali itu dapat merupakan pentunjuk bahwa expresi yang ada, sudah memadai. Ekspresi terimakasih Orang Bugis dan Makassar saya pahami dan pelajari lewat keluarga Pak Haji, tetangga kami yang nota bene orang Orang Bugis dari Pinrang. Saya mempelajarinya melalui mekanisme menerima dan mengembalikan piring.

Awalnya, saya mendapat kiriman ikan asin dari kampung, dan merasa ini terlalu banyak hanya untuk kami, jadi saya bagikan. Itu saja. Jadi sebuah kata terimakasih, cukuplah. Tapi seiring waktu, saya belajar bahwa hantaran kue atau apapun yang saya kirimkan, selalu mendapatkan balasan wadah hantaran berisi. Wadah hantaran saya, ketika kembali selalu berisi. Isinya macam-macam: dari kue kering, sampai Jeruk Bali Pinrang ketika musimnya datang.

Saya belajar, bahwa mengembalikan piring hantaran dengan mengisinya kembali, adalah ekspresi gagasan, perilaku, sebuah tindakan original yang kualitasnya tidak bisa dipalsukan, untuk sebuah kata bernama terimakasih.

Saya belajar dari peristiwa menerima dan mengantar piring itu. Saya belajar dimensi berterimakasih, tanpa terimakasih- yang kata. Belajar berterimakasih dengan kualitas yang prima. Bagaimana tidak?  Dalam upaya "mengembalikan piring" itu saya dengan serta merta akan membongkar persediaan yang ada. Saya disodorkan pada situasi dimana keputusan dan tindakan harus on the spot. Situasi on the spot, spontan itu, seringkali membuat saya gagap, terus terang. Karena saya sering tidak siap. Situasi on the spot itu, seringkali membuat saya "telanjang". Telanjang, apa adanya, berhadapan dengan kekuatiran saya akan kehidupan, atas dasar "tidak cukup." Telanjang karena ternyata, dalam rumah kami, tidak ada porsi untuk "dibagikan" dengan siapapun. Semua ada porsinya, semua ada amplopnya.

Saya belajar bahwa : kemahiran kita menggunakan ungkapan verbal, bisa saja menjebak kita dalam basa-basi. Kita dengan mudah pula berbasa-basi mengucapkannya. Sehingga -Thanks God- ada kata terimakasih. Terimakasih yang jadi opsi dalam template message di hape saya. Terimakasih pun bisa jadi adalah sebuah kata di layar hape, atau sebuah teks pesan singkat, yang saya kirimkan. Terkadang semata sebuah respon otomatis, yang lahir dari keinginan terlihat berbudaya, tidak selalu ekspresi tulus kemanusiaan saya.

Ketika "kata" terimakasih hadir dalam vocabulary sebuah bahasa, kata itu telah memangkas seluruh rangkaian tindakan yang terkait dengan keinginan dan gagasan untuk "memberi setidaknya setimpal/seimbang/sebanding dengan pemberian yang telah saya terima." Karena sebuah kata telah "ditemukan", lambat-laun semakin menepilah tindakan yang sebelumnya digunakan sebagai cara, untuk mengekspresikan rasa penghargaan dan keinginan untuk memberi setidaknya setimpal/seimbang/sebanding itu.

Saya belajar bahwa orang-orang yang terbiasa dengan ekpresi "terimakasih" secara verbal, akan terlihat canggung atau (malah) menimbulkan kecanggungan bila berada di komunitas gesture dan action. Mediocre, jika tidak palsu sama sekali.

Syukurnya, porsi rangkaian tindakan (tanpa berusaha menjadi sok agamawi) sebagai ekspresi dari action and/or gesture of gratitrude ini tidak bisa tergantikan dengan kata "terimakasih" tok, ketika kita bersujud syukur kepada yang Maha Memberi, misalnya. Kita membutuhkan keluasan ekspresi untuk mengungkapkannya. Kita merasa "cangkang" bernama terimakasih tidak memadai. Kita membutuhkan sujud dan tersungkur. Menangkup tangan dan tafakur. Kita membutuhkannya. Untuk menyampaikan doa yang tak terkatakan. Iya, kan?

Ketika menerima dan mengembalikan wadah hantaran itu, memberi kesempatan kepada saya untuk kembali menjadi hanya "orang." Seorang tetangga, seorang teman, seorang yang mau "bilang" terimakasih. Tapi Lebaran kali ini, saya hanya sanggup mengembalikan panci kosong, yang telah saya cuci bersih. Juga saya terlalu malu hati mengantarkan sendiri panci kosong itu dan bilang: terimakasih. Terimakasih, saya titipkan pada anak saya yang memulangkan panci kosong wadah sop saudara, Pak Haji.

Ternyata memiliki sebuah kata, tidak selalu menjadikan kita lebih unggul. Saya pikir, kualitas tindakan kita bicara lebih keras dari kata yang kita khotbahkan. Meski begitu,  "terimakasih" yang terucap, adalah keniscayaan.

Wednesday, September 8, 2010

SETIA tUw iNdaH kOk...

setia itu indah, di statusmu kau tulis begitu..

:rm

lalu melintas tahun-tahun dengan segera, aku: melintasi musim.
kesetiaan adalah kata asing, yang lahir dari hatiMu.
di seluruh telusur diri
tak kutemukan satupun sepadan

kesetiaan adalah mata air, meruah dari ketersediaanMu,
berhadapan denganMu
diri adalah kubangan, jika tidak wadah bocor
yang menampung jika tidak terus mengucurkan airmata.

musim berlari, aku nanar menatap waktu.
bersendiri kutakar waktu, dan menamakannya kesetiaan
tak bergeming
kau tenun waktu
lalu menjelma kesetiaan


menyelubungiku seperti malam,
pekat, lekat pelukMu
seperti Pagi mencintai Malam,
musim pergi dan datang meninggalkan jejak rindu
seperti mati menyertai hidup
seperti mu dan ku
seolah ditakdirkan untuk tak saling menemukan
meski berpasangan dan Kau meletakkannya berdampingan.

sedangkal dan se-terserah kubangan
kukenakan setia seperti pakaian
yang warnanya berganti dengan mudah
kukenakan sesuai kebutuhan
tapi diriMu,
tak jemu menenun waktu
dan menyungkup musim dengan keindahan


Ajari aku mengeja setiaMu, Kekasihku.

2010

Tentang Kita

:yl

Seperti angin diam di ombak
Lalu melapisi diam pantai
Sembilu mendekam di nadi
Tak putus ngilu dihantar bayangmu


Melapisi harapku. Duh.

Weref, 2010

They're Singing Your Song

*to my beloved ones, who share the same undefeatable Spirit, tracking down the sowers' path..


When a woman in a certain African tribe knows she is pregnant, she goes out into the wilderness with a few friends and together they pray and meditate until they hear the song of the child. They recognize that every soul has its own vibration that expresses its unique flavor and purpose. When the women attune to the song, they sing it out loud. Then they return to the tribe and teach it to everyone else.

When the child is born, the community gathers and sings the child's song to him or her. Later, when the child enters education, the village gathers and chants the child's song. When the child passes through the initiation to adulthood, the people again come together and sing. At the time of marriage, the person hears his or her song. Finally, when the soul is about to pass from this world, the family and friends gather at the person's bed, just as they did at their birth, and they sing the person to the next life.

In the African tribe there is one other occasion upon which the villagers sing to the child. If at any time during his or her life, the person commits a crime or aberrant social act, the individual is called to the center of the village and the people in the community form a circle around them. Then they sing their song to them.

The tribe recognizes that the correction for antisocial behavior is not punishment; it is love and the remembrance of identity. When you recognize your own song, you have no desire or need to do anything that would hurt another.

A friend is someone who knows your song and sings it to you when you have forgotten it. Those who love you are not fooled by mistakes you have made or dark images you hold about yourself. They remember your beauty when you feel ugly; your wholeness when you are broken; your innocence when you feel guilty; and your purpose when you are confused.

You may not have grown up in an African tribe that sings your song to you at crucial life transitions, but life is always reminding you when you are in tune with yourself and when you are not. When you feel good, what you are doing matches your song, and when you feel awful, it doesn't. In the end, we shall all recognize our song and sing it well. You may feel a little warbly at the moment, but so have all the great singers. Just keep singing and you'll find your way home.


www.alancohen.com

Let Things Go Episode: 1

ketika tak lagi ada yang mengetuk pintu menjelang subuh,
menawarkan airmata
untuk kubaca seperti koran - yang datang kemudian-
kupikir Pilu telah bertolak. Mengarung riuh waktu sendiri.
:aku tak bisa terus pergi dari sepi ke sepi.
kilahku, dalam setiap percakapan dengan Bimbang.


sore ini,
ketika hujan selesai menumpahkan lelah
di halaman kutemukan gundukan tanah
tempat ketidakpedulian kutanam
tergali. bongkar. entah oleh apa.


mungkin hujan.
mungkin oleh lelah.
mungkin oleh hujan yang lelah
entah lelah yang hujan.

ketika diri masih tergugu
mencari kata untuk rasa hampa
yang menyumpal mulut
seperti tanah pada liang kuburan
tangan yang tak asing memelukku
menciumi seluruh jiwa
tak ragu.
:kita ditentukan untuk saling memiliki


Dan kurengkuh pilu
Ke dalam peluk.

4305

Tampil Layak?

Di sebuah harian pagi, ada foto Pak Beye, dalam kunjungannya kerjanya sedang duduk dalam ruang kelas bersama siswa di tempat rehabilitasi. Yang menawan saya bukan keberadaan sang presiden di ruang kelas sederhana yang kecil- kecil ruangan bisa kita duga dari angle foto itu- tapi keseragaman pakaian siswa tempat itu.. mereka memakai baju pramuka!!! (ini kan bukan kejadian hari jumat atau sabtu? batinku.)

Kunjungan ini diadakan pada hari dimana siswa di sekolah formal pemerintah dan swasta, niscaya tidak berseragam pramuka. Jadi yang terpikir adalah... lokasi "korban" kunjungan tersebut hanya memiliki seragam coklat-coklat sebagai kostum terbaik mereka, untuk menerima kunjungan seorang presiden. Tentu pilihan seragam itu tidak dibuat berdasarkan nilai simbolik kepramukaan. Saya tidak tahu apa opsi yang ada, ketika pilihan kostum penyambutan ini dibuat, mungkin karena mereka tak punya seragam putih biru, atau putih abu-abu, mungkin karena tak punya seragam batik, atau olahraga.. tapi inilah pilihan terbaik untuk tampil layak di depan seorang Presiden. Ini pilihan yang lebih baik dari pada ditolak oleh protokol kepresidenan karena berpakaian "tidak layak" seperti yang dialami grup band Ungu.

Kemungkinan ditolak itu selalu ada, anda akan ditolak, atau paling tidak merasa ditolak jika tidak memenuhi kriteria "layak" di ruang publik.
Intimidasi tampil layak ini, datang dengan berbagai dorongan. Saya tidak tahu apa yang mendorong anda untuk tampil layak, atau apa difinisi anda tentang 'tampil layak'. Tapi saya ingin berbagi beberapa perjumpaan dengan "tampil layak".

Pekerjaan saya di Pulau Barrang Lompo, memperkenalkan pada saya riuh rendah di sekitar pernikahan saudara, kemenakan dan seterusnya. Keriuhan dalam tampil berseragam, untuk menandai keterikataan, keterkaitan keluarga, misalnya. Keluarga harus tampil layak dalam seragam. bahan dan warna yang sama, model boleh beda. tapi tampil seragam menjadi trend. teman saya di Pulau itu, mengakui, tak ada pernikahan yang tidak dia hadiri tanpa menjahit baju baru. Jika frekwensi pesta pernikahan keluarga dekat) di pulau adalah seminggu satu (paling sedikit) selama musim pesta, dengan total biaya pembuatan satu kebaya rp.200.000, berapa ongkos tampil layak yang harus diperhitungkan di "wilayah" pulau yang luasnya 5km2?
"Kenapa tidak pakai kebaya yang lama saja?", tanya saya.
"Deh! dihapal mi itu kebayaku... nanti na bilang orang.. sanging itu terus bajuna" (duh... dihapal orang bisa-bisa kebaya saya, nanti dikatain itu melulu bajunya..)
Yang lain lagi: Saya berencana akan menghadiri resepsi pernikahan adik saya di Surabaya, jika saja tidak terjadi beberapa hal yang tak terduga. Diam-diam saya menyimpan rasa bingung akan memakai kostum apa.. bukan semata karena pernikahan adalah salah satu "event" yang paling jarang saya datangi, tapi karena pengantinnya selebriti.. adik saya itu penyanyi, dan istrinya pemain sinetron. Saya tidak bisa menolak rasa terintimidasi untuk tampil layak.. dalam wilayah keselebritisan mereka.

Tampil layak perlu biaya. Tidak seorangpun akan menyangkalinya. Tapi kita toh sama-sama tahu, cost yang kita alokasikan untuk tampil layak itu kemudian tercenderung dipasung pada branding. Atau saya ngawur? Tapi kok ya rasanya ada orang-orang yang saya kenal merasa lebih perlu brandingnya, terkenalnya, ketahuan mahalnya, timbang fungsinya? anak saya punya kecenderungan ada di antara "kok ya ada orang-orang yang saya kenal" itu.
Soal harus branded baru "layak", saya tidak punya sikap. Saya juga suka barang bagus, cenderung fanatik pada merek tertentu. tapi tidak terjebak pada brand. soal pakaian, saya ini penggila cakar*. Saya menyukai sesuatu, dan ngotot memilikinya karena menyukai fungsi, serta melihat kemungkinan kenyamanan yang akan saya dapatkan. Tapi bukan untuk mengukuhkan penampilan. Kata temen saya: "gengsi itu mahal.." tapi untuk saya, nyaman adalah dasar pertimbangan banyak keputusan sederhana dalam hidup saya.

Soal penampilan, secara pribadi, saya ini punya track record yang tergolong mapan perkara 'btb' alias berani tampil beda.

BTB saya sejarah panjangnya diawali oleh rasa terintimidasi dengan lingkungan di luar saya, mainstream katakanlah. saya berkulit gelap, tinggi tubuh saya sejak dulu melampaui rata-rata teman kuliah di angkatan dan kampus (!) .. waktu itu masih langsing, tentu saja. Tekanan bahwa saya berbeda, begitu intimidatif waktu itu, sehingga untuk melawannya saya harus berpikir terbalik. Misalnya: " tidak usahlah berkompetisi di wilayah para 'barbie'.. dalam tekanan untuk menjadi sama dan seragam"
'The barbies' adalah klasifikasi saya untuk kaum saya yang secara fisik 'beyond the other world ' dengan saya. kaum kecil mungil, berkulit terang pula punya dana untuk kemewahan perawatan kulit, rambut, serta pedi- mani. Sesuatu yang asing buat saya, dulu. Dana yang saya miliki, saya habiskan untuk buku, dan sneackers, dulu. Dalam tekanan untuk menjadi sama seperti itu saya mulai membangun sendiri imaji penampilan saya di luar mainstream. Nyentrik , kata yang tepat untuk menggambarkan hasil upaya saya melawan mainstream. Saya pikir saya tumbuh dari nyentrik, ke arah menemukan "tampil nyaman" gaya saya. Dan saya menyukainya, sampai sekarang. Saya berubah, penampilan saya berubah, tapi berjejak. tetap berani tampil beda.

Masih soal penampilan, dan perubahan yang mungkin akan dibawanya ke dalam kehidupan kita.. baru-baru ini, saya bertemu dengan kawan lama. Cara berpakaiannya berubah. sahabat saya itu terlihat lebih casual, seperti juga sikapnya yang lebih cair. Asumsi saya, perubahan penampilannya terpicu oleh pergaulan yang baru dan longgar, dan itu berimbas pada sikapnya yang tidak lagi sekaku dulu. Tapi tidak saya perhatikan apakah dia memakai koas kaki sekarang atau tidak.

Saya tentu saja tidak akan menjahit baju baru, untuk pernikahan yang batal saya hadiri. dan kalau pun akhirnya saya pergi juga.. saya akan memakai "seragam" malam saya: gaun hitam panjang..berlengan panjang atau satu tali. karena saya tidak punya jadwal ketat menghadiri pesta pernikahan, setahun sekali paling banyak. jadi tidak ada kemungkinan ada yang sampai hapal saya pake baju apa. saya masih punya kemerdekaan untuk memilih tidak seragam.

Tampil layak, memang adalah persoalan menghadirkan diri, status, prestasi, pencapaian dalam ruang-ruang publik dan pakaian - penampilan luar, adalah salah satu sarana untuk mengukuhkannya. anda bagaimana? pernah terintimidasi soal pakaian, sampai2 memilih berpakaian "salah"? memakai seragam pramuka di hari selasa, misalnya atas nama "kunjungan bapak presiden" seperti di gambar yang saya sebutkan sebelumnya?

Tapi kelayakan tidak diukur dari brand, saya percaya. Pencapaian tidak diukur dari panjang gelar, misalnya. Malang sekali saya rasa, jika ketika kita memiliki seluruh kemampuan untuk memerdekaan diri menjadi diri sendiri, kemampuan itu justru dimaksimalisasi dalam wilayah-wilayah keterjebakan pada "harus menjadi sama". sama mahal, sama bermerek.. tapi kehilangan jejak, kehilangan keberanian untuk tampil beda. betapa malangnya kita, jika percaya pada ilusi-ilusi keseragaman, dan kehilangan rasa nyaman menjadi diri sendiri.

U r U, kan?

Kita, Beranda dan Gerimis di Teluk

:k

(1)
teluk penuh dengan sepi
menggigilkan meski tanpa gerimis
matahari sengat.


sungguh sengit mengayuh harap sendiri


(2)
satu beranda kita pernah singgah
kita: aku, matahari, gerimis dan kau
matahari mengintip sesekali
ragu seperti kau
aku: gerimis, merah
gigih


(3)
kini aku mengerti:
kau mencintaiku seperti teluk memeluk pulau
tak perlu,
mestinya, mempertanyakan "kenapa?"
kita adalah diam yang tak terseberangi.
indah sekali.

(4)
pagi ini,
dari tempat di mana pernah telah singgah,
kulapisi waktu dengan tanya
adakah kau sesali
pertemuan yang tumbuh jadi percakapan
lalu janji?


aku tak.
tapi ngilu ini tak bisa kuelak.
pangkal hatiku ditohok sepi: telak.


humboldt bay, 2010

Jalan Kecil Menuju Rumah

Jalan kecil itu akan mengantarmu ke rumah. Rumahku. Jalan kecil dengan akasia tua di salah satu sisinya. Si pohon bernyanyi, di musim kemarau.

Jalan kecil itu akan mengantarmu kepada pergiku: ke SD dengan seragam, ketika sekolah sebelumnya semata adalah kesenangan bermain di halaman luas berumput tebal dipagari pohonan akasia tua. Sekolah swasta kota kecamatan, tanpa seragam. Kelas dengan tembok-tembok rendah dan terbuka kea rah halaman. Yang semua gurunya kukenal dan dengan nama rumah aku disapa. Dekat pasar. Dekat hanggar. Hidup berakar.

Ke SMP yang kujingkat-jingkati penuh rasa ingin tahu, dengan ketebalan yang sama pada rasa takut. Ke petualangan. Ke debar dan gelisah asmara pertama yang memabukkan. Kepada goda rimbun pohonan di jalan pintas ke pada dewasa. Jalan putih berkerikil.

Juga ke sini, jalan kecil itu akan mengantarmu. Ke hari-ini-ku. Ke hidup seorang perempuan. Sebuah kamar, dengan satu jendela, suram. Di antara bau pesing dan lotion import, di ruang tamu yang penuh buku, kutulis berlembar-lembar ingatan. Mungkin karena takut dilupakan. Lembar-lembar ingatan itu, menjadi selimut bagi sendiriku yang kadang ngilu. Selimut perca. Selimut yang kujahit sendiri dari risau, cabikan mimpi dan harap. Pagi-pagi kulipat rapi. Waktu matahari tinggi, aku tanpa mimpi, kamar-kamar kosong.

Kalau kau lewat kapan-kapan, singgahlah. Tentu bisa kau pilih musim ketika hendak singgah. Tapi buatlah janji lebih dulu. Kadang ketika musim hujan, aku justru sedang dalam perjalanan, membasahi diri dengan kenangan. Dan kau harus mau menunggu.  Tidak, tidak harus. Kalau terpaksa menunggu di pintu, selimut perca itu mungkin cukup untuk menghangatkan rasa ingin tahumu. Kau mungkin bisa mengubur jemu dengan membaca sambil berselimut potongan-potongan risauku. Jalan itu licin ketika basah. Hati-hati. Kau bisa terpeleset. Ke dalam iba atau ke dalamku. Bila kau singgah, akan kusiapkan makan siang di dapur kecilku. Sudah lama cinta tak lagi dirajang di sana. Tentu menyenangkan mendengar celoteh minyak, penggorengan dan sutil bersamamu.

Jalan kecil itu akan mengantarmu, ke ruang mataku: ketika kusaksikan bagaimana ia mengusung duka saat kematian keluar dari pintu depan. Mengusung sisa cahaya, membopong kenangan yang meronta memukul-mukul peti mati. Mengusung cahaya seperti lampu jalan, hidup berangsur redup. Dalam cahaya temaram, aku meneruskan kehidupan. Duka mengekor dari belakang.

Jalan kecil berbatu-batu itu, akan mengantarku pada kematian. Jalan kecil ke pada pulang. Meski belum lagi. Tapi jalanku menuju ke petang. Ketika aku menunggu, berjalanlah bersamaku. Menemaniku bertarung dengan takut pada lupa. Melewati kemarau bersama pohon bernyanyi. Aku ingin menunggu petang sambil menyambung potongan perca, dan kau ada di sekitarku sedia menolong memasukkan benang.






2008

Friday, September 3, 2010

Angin, Karang, Kapal Karam

:K
ini kesekian kali harap kucari di antara karang,
angin mati.

Seperti kapal karam menyimpan
peluk ombak dan cumbu garam
rindu menyalutku di tiap persinggahan
tak putus memeluk seluruhku

seperti kapal karam bertukar riuh dengan camar
lengking peluit berbagai perjalanan
bertukar pendar dengan kelok, terowongan dan malam
segala pernah, menjauh

jarak kita menelan samar

ini kesekian kali harap
kucari dalam angin karang
kau dengar lengkingku?
menyeru namamu
:belum sampai, belum sampai..

garam merasuk
ombak menoreh jejak di lambungku
:belum sampai, belum sampai

Makassar, 2008

Thursday, September 2, 2010

Saya Luna yang Bukan Maya, Please

Tiba-tiba pop up window chat box di sudut kanan layar computer memberi tanda bahwa ada ajakan percakapan yang ditujukan pada saya.
“Hai Luna Maya..”
Di sapa dalam chat box seperti itu selalu mengucurkan reaksi yang sama dari saya: “ saya Luna yang bukan Maya.. saya lebih cerdas.”
Biasanya basa-basi itu berhenti di sana.
Tapi pagi ini, komentar basa-basi itu berlanjut pada: “tapi lebih cantik mana?”

Saya terhenyak. “lebih cantik mana?” jelas yang dimaksud adalah bahwa saya tidak cantik dibandingkan dengan Luna yang Maya. Ngilu juga rasanya gigi, membaca kalimat seperti itu. Dengan jelas terpeta dalam kepala saya, Luna yang satunya: yang selebriti. Wajah, bentuk tubuh dan warna kulit.

**
Sms itu berbunyi: “ ini mbak Luna ya? Saya ingin kenalan. Nama saya Ical. Salam kenal. ” Nomer itu tidak saya kenal.
“halah! Nape lo, Nil. Iseng amat. Mending kesini. Daripada ngisengin gw.” Saya yakin ini temen saya si Danil. Message sent tertulis di screen.
Dalam hitungan detik, sebuah pesan baru tiba: “Aduh Mbak, saya Ical. Saya gak iseng kok mau kenalan. Sungguh. Maaf kalau mengganggu.”
“eh, ngapain sih doyan ganti nomer. Eloe sini aja. Gw tungguin di mall. Sekalian “kenalan”. Salam kenal balik.”
“sungguh mbak, saya Ical. Saya sebenarnya,adiknya Ratno Timoer. Tapi gak gaul gitu. Dan sedang kerja di Makassar. Makasih ya Mbak sudah terima salam kenal saya. Seneng banget bisa kenalan sama orang terkenal. Dan gak sombong”
Saya mulai merasa, bahwa orang ini sama sekali bukan Danil.
“Terkenal? He he. Saya emang terkenal di kalangan tertentu: keluarga, temen kantor, temen ngumpul.. kayak gak tau aja.. Tidak sombong? Hati-hati, ini di Makassar. He he."  Message sent, tertera di screen hape saya. Tidak berapa lama kemudian, incoming text  
“oh .. Mbak Luna sedang di Makassar?”
Lalu pesan baru menyusul : “ Kalau di Makassar boleh tidak saya jadi penunjuk jalan, saya temenin jalan-jalan. Tapi mobil saya butut.”
“ha ha.. ada juga saya yang nunjukkin jalan di Makassar ini. Bagaimana kalo saya gonceng ma motor saja?”
“lo kok mbak Luna naik motor?”
“enak lagi. Motor saya gede kok . Thunder.”

Saya makin tidak yakin orang ini Danil, mungkin benar dia bernama Ical. Saya sungguh berharap dia Si Danil. Saya telpon Danil. Temen kantor, temen jalan, temen berantem, yang keisengannya tidak tertebak. Panggilan telepon itu tersambung. Artinya dia gak ganti nomer. Saya tahu Danil hanya punya satu hape.
“Hallo? Nape Les?” Diantara banyak sapaan Danil untuk saya, “Les” adalah salah satunya.
“ Elu ganti nomer?”
“gak”
“hmm ada temen elu namanya Ical?”
Terdengar suara tertawa kecil. “Nape, say?”
“ada orang sms gue, ngakunya Ical, mo kenalan. Tapi aneh gitu.”
“aneh gimana?”
“ya.. kayak pernah ngeliat gue , memuja gitu..”
“Ooo”
“ada gak temen elu namanya Ical?”
Cuma suara ketawa kecilnya terdengar. “darimana elu tahu dia temen gue ?”
“karena smsnya datang gak lama setelah kita ngobrol tadi.”
“ooooo. Gak ada. Ada juga namanya Faizal. Dimana Lun? “
“Masih di mall. Baru kelar belanja.”
“Maen sini dong, ke kos-kosan gw.”
Saya setuju. Di hape ada tanda SMS baru.
Sms dari Ical. “Mbak apa acaranya di Makassar? Apalagi sekarang malam minggu. Apa ada show?”
“Gak ada. Ada juga mau ke rumah temen.” Diam-diam saya menyimpan kebingungan: ‘show’?
“Oh. Dimana? Boleh gabung?”
saya setuju dan memberikan alamat Danil. Kami akan bertemu di rumah Danil. 
  **
Saya tentu saja tidak bisa berbantah dengan kenyataan bahwa Luna Maya itu cantik. Saya paham dan menerima bahkan sebagai perempuan bila ia dijadikan salah satu ukuran cantik. Ya wajah, ya bentuk tubuh, ya warna kulit. Tapi saya tidak mau membandingkan diri dengan kecantikan iklan sedemikian, karena itu bodoh. Kalau didesak juga, maka hitungan independent (dan narsis)-nya adalah dua komponen penilaian yang terakhir lebih mengurangi skor saya timbang faktor pertama. Sahabat saya, Akhyar, menduga ukuran saya yang XL adalah “kutukan”. Seorang teman baik yang lain mengatakan: “colour matters, Lun.” Ketika saya menggugat penilaiannya tentang siapa cantik siapa tidak. Terkait warna kulit.

Tapi pagi itu pernyataan lebih cantik mana, dari seorang yang barangkali bermaksud basa-basi, bermakna lebih dari sekedar perbandingan iklan. Ini bicara tentang betapa mudah nilai-nilai yang kita pakai dalam kehidupan dikendalikan oleh iklan dan popularitas. Bukan oleh pengenalan kita secara personal pada sesuatu.
Saya butuh bertahun-tahun untuk tidak merasa terintimidasi oleh “harus berkulit putih”. Disodori produk krim pemutih wajah setiap kali ingin menata rambut di salon, adalah pengalaman panjang merasa tersisih dari “standart kecantikan,” hanya karena saya berkulit gelap.
" kita orang apa?" biasanya begitu percakapan dibuka.
" irian"
"ooooo". Ya, tidak salah, dengan o yang ditarik panjang, sebagai tanda  kemakluman. " bagus sebenarnya kulit ta. Ada di sini, krim pemutih wajah". Saya harus terima bahwa di salon-salon kecantikan, saya adalah orang yang “perlu perawatan”, karena warna kulit yang gelap identik dengan kotor. Meski kulit saya sangat sehat, saya tersisih dari dunia “Barbie” - kaum kulit putih- yang mereka fasilitasi. Terintimidasikah saya? Ya. Saya pernah percaya, saya akan terlihat lebih baik dengan kulit lebih terang. Tergodakah saya untuk punya kulit terang? Ya. Saya pernah mencoba memakai satu merek krim pemutih. Krim yang kemudian membuat wajah bernoktah putih di beberapa tempat. Saya lalu berhenti, karena pemakai krim pemutih tidak disarankan berlama-lama di matahari. Kami jelas tak berjodoh, saya suka jalan kaki dan naik motor. Waktu itu belum ada kewajiban memakai helm.

Saya bertahun-tahun, menjadi satu-satunya Luna dalam lingkungan pergaulan saya yang kecil, hingga datang Luna yang lain, yang jadi bintang iklan, yang bertubuh proporsional, yang popular. Sejak waktu itu, ketika saya berkenalan dengan orang-orang yang baru, lalu menyebutkan nama, orang menambahkan senyum tipis dibibirnya ketika menyebutkan kata “maya”. Asumsi saya: senyum itu adalah bentuk pemahaman kenapa saya menyusur setapak popularitas dengan memakai nama seorang selebriti. Ah. Saya lagi-lagi tergoda untuk merasa terluka. Tergoda untuk merasa terintimidasi, pada popularitas sang selebriti.
Saya tergoda untuk bilang: “saya make nama itu lebih lama dari sang Maya.” Tapi bukankah itu akan menguak rahasia usia saya ? 
Saya tertawa. Saya belakangan mulai belajar tertawa pada ketidaknyamanan itu. Tertawa pada “ketidakadilan” itu. Ketidakadilan dan kesewenangan pihak luar yang membawa saya pada satu wilayah perbandingan dengan sang selebriti.
Ketidakadilanlah itu namanya, jika membandingkan monyet dan burung pada kelas terbang.

Atau kebodohan?

Di setiap generasi, kita melewati tekanan untuk menjadi sama, 'peer pressure'.

Ketika iklan shampoo identik dengan rambut lurus tergerai, yang rambutnya “guriting” - istilah untuk rambut yang secara alamiah keriting dan utasnya saling melilit, -tersisih. Bisnis salon semarak dengan bonding dan rebonding. Tidak hanya perkara rambut, saudara-saudara pembantu rumah tangga saya pun berpenampilan seperti para bintang sinetron: berambut coklat kemerahan, memakai kacamata bening untuk bergaya.


Jangan salah paham, ini bukan soal pembantu rumah tangga atau bukan. Ini bukan soal pantas-tidak pantas, tapi bercermin pada mereka, saya melihat saya.

Tapi melihat lagi rasa tidak nyaman yang ditimbulkan terhadap saya karena warna kulit, karena rambut ikal, dan belakangan karena bernama seperti seorang seleb, saya temukan bahwa tekanan untuk menjadi sama datang dari hasrat untuk menyeragamkan. Ini soal kekuasaan kemudian. Ada mayoritas dan minoritas. Ada diskriminasi. Ada penghambaan dan pemujaan. Semua itu karena identitas.
Kecenderungan menyamakan diri pada icon iklan dan popularitas (visual, terutama) menjadi begitu besar. Hingga tanpa sadar kita diarahkan untuk menyimpan kerangka iklan dan popularitas sebagai standart, acuan, referensi. Kepada iklan dan billboard kita merujuk.

Kekuasaan untuk meracuni keberagaman dengan membangun imaji, icon, kesamarataan, membuat media mudah dijadikan kambing hitam.

Semua hal yang diarusutamakan oleh media membuat kita mendongak. Mendongak melihat tayangan iklan, mendongak mempelajari jalan mendaki kesuksesan, -saya teringat pada wajah-wajah mendongak di station kereta , airport, mencoba menemukan tempat, arah yang tepat dan “seharusnya,” di depan billboard atau televisi penunjuk keberangkatan. Mendongak melihat gambaran kabur cita-cita paling masuk akal jaman ini: menjadi idol. Menjadi icon sesuai dengan standart yang dihembuskan oleh mereka yang memahami betapa gagasan untuk menjadi diri sendiri, melekat pada kesejatian diri sangat berbahaya. Bahaya laten.


Tapi tetap saja, upaya menyeragamkan ini, terlucuti di beberapa tempat, di segelintir jiwa yang menolak ngantri di jalur 'keserupaan'. Tekanan untuk menjadi sama  ini mendorong terakumulasinya semangat pemberontakan dari komunitas yang disisihkan oleh iklan dan popularitas standart. Semangat pemberontakan yang terlihat pada rambut kepang ala rasta, atau - menyalahi alur kecantikan wanita dalam tulisan ini- pada mulut merah dan gigi bernoda pemuda Papua karena pinang. Mulut dan gigi bernoda pinang, adalah identitas yang membedakan mereka dari arus utama ikonisasi. Meski samar, asumsi saya, semangat “pemberontakan” ini juga upaya membentuk idol, menjadi ikon.

Karena identitas yang terseragamkan, berita dengan tajuk 'telah terjadi kelaparan' adalah kisah ketidakhadiran beras, di masyarakat pemakan ubi dan sagu. 

Pertanyaannya: Di generasi icon ini, haruskah kita menjadi icon untuk mengukur keberhasilan?

saya pikir kita perlu berhenti mendongak, sesekali. Sebab jika kita tidak mendongak sama sekali, kita juga akan tersisih, bukan karena perbedaan, tapi karena terbelakang, karena buta, dan tak membaca jaman. Yang perlu kita lakukan adalah menunduk dan mencari ke dalam diri. Mulai berfokus pada apa yang kita punya at hand. Membandingkannya dengan system besar yang ditayangkan di berbagai screen. Dan menemukan tempat, arah serta seharusnya yang “pas” buat kita. Jika tidak, kita tidak pernah merasa penuh, content. Rasa tidak penuh, sebagai manusia, akan mempengaruhi reaksi kita dalam berinteraksi dengan orang lain. Mempengaruhi penilaian kita terhadap orang lain dan diri sendiri. Nilai yang kita pakai dalam hubungan dengan orang lain, menunjukkan score kita. Kita akan menjadi monyet di kelas terbang. Lebih malang lagi jika karena menyangka telah mengikuti kelas terbang, kita menduga kita adalah seekor burung. 

Ketika kemudian duduk di ruang tamu kos-kosan  Danil, saya baru paham, yang diharapkan Ical adalah Luna yang Maya. Semua kekacauan ini disebabkan karena di hape Danil, nomer saya di save sebagai Luna Maya. Mereka sedang bersama ketika saya menelpon Danil beberapa jam sebelum Ical mulai mengirimkan sms.

“ Elu kenal ma Luna Maya?”
“He’eh. Temen gue.”
“ eh minta dong nomernya?”

Begitulah. Awal dari sms Ical yang membingungkan itu. Jadi ketika kemudian Ical muncul di serambi , dan melihat kami sedang duduk di ruang tamu dari jendela kaca, saya paham akan sorot kekecewaan di matanya, dan wajah bingung yang tidak bisa disembunyikannya. Ketika Ical berdiri saja terpaku di pintu, saya berdiri menyambutnya. 
“Maaf, saya Luna. Bukan Luna Maya seperti yang kamu sangka.” 
Danil mengulum senyum di bangkunya. Ical menjatuhkan diri ke sofa. “Tapi elu emang kenal sama Luna Maya?” Tanya Ical pada Danil setelah beberapa saat.“Enggak” jawab Danil Kalem. Ical menyeringai. Ketika tertawa, ketawanya asem. Sesaat saya tergoda untuk merasa terluka.

Ada rahasia yang ingin saya bagi. Rahasianya: Saya Luna. Vidya. Saya tidak perlu dirujuk ke siapa-siapa kecuali pada rahasia itu . Saya bukan Luna Maya. Please.

March 2009

Percakapan

:My
(1)
Kau temukankah pecahan kaca
yang jatuh dari mata
kuletakkan di antara awan dalam perjalanan
mencari rindumu
ke tempat di mana kita
tak akan pernah jumpa

kau temukankah pecahan namamu
yang mengucur dari mulutku
segenggam tanya ke  awan kulempar
ketika di pematang Lhok Mambang*
tambak-tambak dan sawah terkapar
setengah telanjang
hati kuinjak jadi titian ke petang

kau temukankah diriku
(sepenggal kecilpun cukuplah)
dalam hatimu?

ombak pulang datang pulang datang
mengirisku dengan pecahan kaca
Lhok Ngah* dibalur petang

(2)
Meniti petang
Matahari menyesakkan cahaya
yang datang ke Lhok Nga
ke dalam kabut perak jingga
malam dan pucuk cemara saling pagut
sama lelah dan ingkar denganku

(3)
Sore larut dalam kabut
ketika kucungkil duka dari pokok kelapa
yang hanya sisa sepenggal
Pantai dan aku sama terkapar
duka tenggelam,
lalu malam.


2007-2010

*Lhok Mambang, kampung di Bireun, Aceh.
*Lhok Nga, pantai di Banda Aceh

inun,thanks for the unforgettable twilight @ Lhok Nga.

Matoa dan Transaksi Loyang

Di lingkungan tempat tinggal saya jalan Toddopuli, Makassar, di rumah ujung jalan halamannya tumbuh pohon matoa. Rumah itu sudah lama kosong. Pemiliknya pindah ke kota lain waktu kami pindah ke lingkungan itu. Daunnya yang khas,mirip-mirip daun Kakao langsung memperkenalkan diri rasanya waktu pertama kali saya melihat kehadirannya (setelah beberapa minggu tinggal di sana): "hai!, saya matoa."

saya lalu memperkenalkannya kepada anak-anak saya: "ini pohon matoa."

Daging buahnya seperti rambutan. Juga sebesar rambutan. Tapi Matoa gundul. Kulitnya lebih tebal, warnanya hijau- coklat kemerahan. Lebih mirip klengkeng soal penampilan botaknya. Ada yang kering, seperti rambutan Rapia, ngelotok. Jenis seperti itu biasanya disebut Matoa kelapa. Ada yang lebih berair. Lalu dengan antusias saya dan anak-anak menunggu bersama musim berbuahnya. Matoa hanya berbuah setahun sekali.

"Menunggu musim buah pohon tetangga, bukan contoh yang baik." kata suamiku. "tapi ini matoa!", saya dan anak-anak sepakat. ngotot.

Waktu musim berbuah akhirnya datang, kami sering datang ke ujung jalan. mengawasinya dari luar pagar. Begitu sering kami ‘memantau’ sampai-sampai tukang-tukang becak yang mangkal di ujung jalan itu, akhirnya tertular pengetahuan tentang Matoa. Bahwa buah pohon itu bisa dimakan. Bahwa pohon itu datang dari Irian, -ketika percakapan kami terjadi, Papua masih di sebut Irian Jaya.
Kumpulan tukang becak itu juga yang mengkonfirmasi dugaan saya, bahwa pohon Matoa itu, dengan sengaja dibawa dan ditanam di sana. “Ooooo, iyo tawwa.. ini bapak lama memang tugas di Irian.”

Musim Matoa tiba, tapi buah yang menjadi tua dan berserakan di dalam halaman tidak pernah bisa kami cicipi. Rumah itu tidak pernah berpenghuni. Saya tidak pernah punya kesempatan, menyambangi tetangga di ujung jalan demi buah matoa. Buah Matoa yang gugur membusuk begitu saja. Sedang ranting yang menjulur keluar halaman, sudah dipanen oleh tukang-tukang becak itu.
Enam musim matoa berlalu, saya tidak pernah kebagian buah jatuh pohon matoa di ujung jalan. Karena setelah musim pertama tiba, kumpulan tukang becak itu tentu lebih mampu memanen tangkai buah masak. “Memang enak ki bu!” beberapa dari mereka berbaik memberitahu, ketika saya kebetulan lewat, dan kepergok memandangi pohon itu.

Pohon matoa ditebang, ketika rumah itu beralih pemilik. Kelihatannya pohon matoa tidak mengakomodir rancang bangun rumah sang pemilik baru. Tempat pohon itu tumbuh dulu, sekarang jadi pelataran beton. Rumah itu tidak menyimpan pohon apapun sekarang. Dulu selain Matoa ada dua pohon mangga. Mungkin pertimbangan estetis disain tumah itu, tidak memperhitungkan halaman dengan beberapa pohon di dalamnya. Jadi pohon harus ditebang.

Pohon Matoa di ujung jalan itu, muncul dalam ingatan saya ketika menemukan postingan foto kawan saya, dengan keterangan: “ULANG TAHUN KOTA JAYAPURA yg ke 50, Gouverneur Plattel plan een MATOA BOOM op het plain voor de HERDEN KINGS MUUR.. (terjemahanannya kira-kira..Gubernur Plattel menanam pohon Matoa di pelataran depan Tembok Herden Kings (Taman Imbi). lalu teman saya menambahkan: " Sayangnya pohon matoa dan tugu Hollandia 50 Jar yg ada di Taman IMBI ini ditebang dan di bongkar kemudian di ganti dengan Patung Mas Yos soedarso.......”

Postingan foto kawan saya itu, menunjukkan pilihan sebuah pemerintahan, yang mewakili kebijakan, kekuasaan, dan kemampuan berbuat lain untuk sebuah kota. Ketika dihadapkan pada sebuah tawaran, pada suatu masa, pemerintah memilih untuk menyingkirkan sebuah pohon matoa sebagai icon kota, menggantikannya dengan sebuah tugu. Itu diikuti oleh keharusan menggantikan kerindangan dengan lantai semen. Rangkaian tindakan ini terlihat sebagai sesuatu yang terelakan.

Beton, gedung tinggi, ruko begitu identik dengan kemajuan, pembangunan. Tapi benarkah begitu? Benarkah semakin luas wilayah pembetonan, pembersihan lahan dari pohonan, semakin dekat kita dengan julukan ‘maju’? 'berkembang'? 'developed'?

Betapa berbeda pilihan itu dengan kebijakan pembagunan berwawasan hijau yang saya lihat di Singapore sebagai pelancong. Tidak jauh, kota itu. Ah, maaf. Negara. Tidak jauh negara itu. Hanya 2 jam terbang dari Makassar, 3 jam kalau singgah di Jakarta.
Dalam perjalanan ke hotel, terkagum-kagum dengan kehijauan kota, di salah satu setopan lampu merah, di sisi kiri jalan sedang berlangsung pekerjaan konstruksi. Dari keterangan sopir taxi kami yang sejak decak kagum pertama saya selepas airport, dengan bangga mempromosikan kebersihan kotanya, saya tahu gedung yang sedang dibangun itu untuk menggantikan gedung tua sebelumnya. gedung yang sudah tidak aman lagi untuk dihuni. Dari jendela taksi saya meihat sebuah pohon besar yang rimbun menyembul dari balik pembatas seng lokasi pembangunan. “ sayang ya, pohon sebesar itu harus ditebang.” Saya berkomentar. Bergumam lebih tepat. Jadi pasti sopir itu tidak menduga bahwa keterangan pelengkap yang ditambahkannya kemudian justru adalah hal yang paling terekam dalam benak. “They have to do the construction without cutting off that tree.” Hah?

Where am I?

Saya tahu di Belanda ada program perawatan pohon, yang pake dokter segala. Gedung ABN AMRO Denhag, dibangun di sekitar sebatang pohon. Cerita teman seorang teman saya. Tapi mentalitas orang jajahan di dalam saya, memakluminya sebagai: “itu di Belanda.” Di tempat dari mana saya datang: lahan sawah diubah jadi realestate. Meninggalkan kegamangan pada para bekas petani. Pohon-pohon ditebang dengan alasan perluasan jalan, atas nama pembangunan.

Membangun dan menyesuaikan diri dengan pohon? Becanda lu!

Tapi itu bukan guyonan. Tidak boleh menebang pohon. Pembangunan dikerjakan dengan menyesuaikan diri dengan pohon. Harus. Ada undang-undangnya.

Lalu dari jendela hotel, saya melihat gedung-gedung berseberangan memiliki teras-teras hijau, green canopy. Bukan sekedar tanaman dalam pot. Tapi benar-benar menanam pohon. Pohon tua dari halaman gedung tua itu wajib terpelihara. Jika tidak punya pohon, maka anda diwajibkan menciptakan teduhan hijau, tidak perduli berapa lantai gedung yang sedang anda bangun. Lagi-lagi: ada undang-undangnya.

Saya sungguh sulit menelan kenyataan, bahwa saya masih di Asia. Hanya 3 jam jauhnya dari kota tempat saya tinggal. Ini bukan Eropa. Begitu dekat. Begitu jauh pilihan kebijakan pemerintahan kota kami. Betapa nelangsa.

Ketika menemukan postingan foto kawan SMP saya tentang perayaan 50 tahun kota Jayapura, ingatan tentang membangun di sekitar pohon di Singapore itu kembali lagi.

Jadi mereka menanam pohon. Pohon Matoa. Bukan Beringin, bukan pohon import lain yang sedang jadi mode sehingga perlu ditelaah lagi apakah pilihan pohon itu sudah tepat. Yang ditanam di hari ulang tahun ke 50 itu, sesuatu yang khas. Rasanya pilihan itu begitu brilian. Untuk memperingati hari ulang tahun kota, baiklah kita menanam sesuatu yang berasal dari tanah sendiri, sesuatu yang khas. menanam icon. Karena pohon tumbuh, hidup. Karena kalau tumbuh bisa besar. Begitu modern. Apa yang kurang, ada nilai keberlanjutan. Begitu Avatar*. Tapi seperti keterangan foto teman saya, pohon itu ditebang kemudian.

Dan apa yang dilakukan untuk merayakan ulang tahun ke 100 kota? Salah satu acaranya: lomba gerak jalan. Akibatnya: seorang sahabat yang terjebak macet,karena lomba gerak jalan itu lewat telpon mengeluhkan jalan-jalan yang kecil di Jayapura, dengan volume kendaraan yang terasa melebihi kapasitas. Perlu jalan baru? Hm, memang kelihatan tak terelakan untuk memperluas wilayah beton dan aspal untuk mengakomodir kemajuan.

Saya sendiri tidak pernah melihat ada pohon Matoa di Taman Imbi. Rekaman gambar tentang taman Imbi di masa kecil saya: patung Yos Sudarso, menghadap ke gedung DPR, bangku-bangku beton dan tersebar di beberapa bagian taman, pohon-pohon palem di sisi dekat gedung Sarinah, sebuah kolam air mancur yang sudah lama tak lagi mancur airnya, lampu-lampu taman yang bulat di sisi setapak beton. Ada pelataran panggung beton rendah di bagian depan patung. Tempat banyak kegiatan lomba kesenian diadakan. Ruang publik yang kumuh, kesan saya ketika kemudian sempat pulang ke Jayapura. Artinya, pohon itu telah ditebang sebelum saya cukup besar untuk mengingat. Saya bahkan tak ngeh soal Herden Kings Muur (Tembok Herden Kings) yang kelihatannya justru adalah elemen penting taman itu. Ya ada tembok di kaki patung itu.

Membayangkan Taman Imbi dengan Pohon Matoa, dengan patung seorang pahlawan bersama-sama, saya bertanya-tanya. Kenapa pembangunan - sebusuk apapun bau yang dipikulnya dari sejarah- di negeri ini, identik dengan menyingkirkan? Kenapa tidak bisa berbagi? Membagi Taman Imbi antara Pohon Matoa dengan patung Yos Sudarso, misalnya. Patung itu tidak harus berada di pusat taman bukan? BIsa saja didirikan di salah satu sudut taman bukan? Apakah karena patung lebih mewakili kemajuan? Apakah karena patung itu lebih mewakili keindonesiaan yang satu? Bahwa ada patung seorang ‘mas’ di ‘alun-alun’ kota Jayapura –seperti yang disebut teman saya itu?

Ketika saat-saat ini Jayapura sedang merayakan ulang tahun ke 100nya, patung itu terus dipertahankan, renovasi Taman Imbi yang direncanakan akan dikerjakan di sekitar patung itu. Apakah pertimbangan ini, dibuat karena merubuhkan patung ongkosnya lebih mahal dari menebang pohon? Apakah karena merubuhkan patung yang notabene seorang pahlawan, akan menimbulkan ketersinggungan yang berdampak politis? Meskipun patung itu –setelah berpuluh-puluh tahun hadir, gagal menjadi icon kota? Tidak seperti patung Marta Tiahahu bagi kota Ambon, misalnya?

Tapi setidaknya, patung itu lebih ramah lingkungan, dari pada pohon-pohon nyiur di Waisai. Waisai, ibukota Kabupaten Raja Ampat menghiasi jalan utamanya dengan nyiur oranye, kuning dan hijau. Pohon nyiur plastik hiasan dalam mall di Jakarta. Pohon plastik berwarna jreng, di tengah-tengah jalan mulus yang membelah kota. Kota yang dibuka dengan menebas hutan lindung.

Buah-buah matoa yang berserakan di halaman tetangga itu terbayang lagi, ketika melihat lagi foto postingan kawan saya. Pun teringat pada loyang-loyang kaleng penuh matoa yang diletakkan di pinggir jalan sepanjang jalan Sentani-Jayapura, ketika musimnya tiba. Musim Matoa. Loyang yang ditinggalkan tanpa dijaga. Ambillah isi loyang, tinggalkan saja uangnya, di dalam loyang. Himpit dengan batu, supaya tidak diterbangkan angin.

Ketika sempat ke Jayapura February lalu, saya merasa terasing di tempat yang saya rindukan sebagai rumah. Meski usia dan semua yang saya miliki sekarang dimulai dari sini. Di tanah ini, tempat ari-ari saya ditanam. Saya tidak yakin kepercayaan mutualisme dalam transaksi loyang kaleng seperti itu masih ada. Tidak sekarang, ketika untuk memotret dengan maksud menyimpan kenangan masa kecil saya harus membayar.

Transaksi loyang kaleng itu, mewakili kepercayaan. Kepercayaan bahwa masing-masing kita punya harga diri. Harga diri kita ditentukan dari apakah kita meninggalkan uang yang pantas, untuk menggantikan satu loyang matoa, setandan pisang, setumbuk petatas, kasbi atau keladi yang ditinggalkan tanpa penjaga. Transaksi Loyang, sebutlah begitu, tidak bicara nominal yang kita pahami dalam transaksi pasar modern. Ia bicara kepantasan. Ia bicara penerimaan. Transaksi loyang adalah salah satu kelas di mana saya belajar bahwa kehidupan adalah barter panjang dari memberi dan menerima. Kualitasnya makin rendah, ketika kita memperkarakan besarnya nominal mata uang.

Ada belahan diri saya yang tak berhenti merasa bagian dari Papua. Anak-anak dan suami saya belum pernah makan buah matoa. Anak-anak saya mungkin tak akan punya kesempatan menyusuri jalan Sentani-Jayapura. Tapi saya berharap mereka akan tumbuh seperti pohon Matoa, dikenali sebagai diri mereka sendiri. Menjadi diri mereka sendiri. Memiliki kepercayaan pada hal-hal yang baik dalam diri orang lain. Pun punya kapasitas untuk terlibat dalam ‘transaksi loyang’ di dalam hidup mereka nanti.

Kepercayaan. Mungkin itu yang hilang. Pupus. Tapi kelihatannya justru itu yang dibutuhkan untuk membangun Papua. Ya. Kepercayaan itu hilang. Bukan tanpa alasan. Tapi perlu punya cara pandang lain, bukannya menjadi tergugu didikte keharusan menjadi sama dalam mengukur keberhasilan.

Tumbuh seperti pohon mungkin itu cara terbaik melihat masa depan Papua. Tapi bukan juga pohon asing, yang kemudian merangsek kehidupan yang sudah begitu tua, yang sudah lebih dulu ada. Seperti kebijakan mengenai sebuah patung yang berakibat tersingkirnya sebatang pohon Matoa di taman Imbi.

Tapi tumbuh seperti pohon dari tanah sendiri: Matoa. Pohon yang dimiliki bersama, kepadanya setiap orang tanpa halangan mengidentifikasikan diri. Melihat kepentingan bersama lebih jauh dari sekedar menuntut hak atas dana otonomi khusus. Atau hak atas tanah ulayat. Melihat Pohon Matoa yang berbuah. Pohon yang bisa dikenali, manusia khas, manusia Papua. Punya jati diri. Karena percaya atau tidak, Matoa budidaya yang dikembangkan di Jawa, jauh berbeda dengan Matoa dari Papua. Daging buahnya tipis, dan hambar. Kalau sudah begitu, bukan Matoa namanya, tentu saja.

Selamat ulang tahun, Jayapura! Tanam iconmu, lagi. Kali ini di seluruh bagian kota, sebelum semuanya jadi aspal dan beton. Sebelum yang bisa ditumbuh di tepi jalanan kota hanya pohon-pohon plastik berwarna jreng, yang diimpor dari Jakarta.

Selalu, saya menyebutmu rumah bagi jiwa. Saya selalu rindu ingin mencecap lagi manis Matoa. Matoa Papua, bukan yang jenis budidaya dari Jawa. 

Merayakanmu, Jayapura. 

Long March, Papua

1:08 pm.
Lokasi : Kotaraja, Jayapura

Siang 7 Juli, di kantor, saya diberi informasi: “besok (8 Juli) akan ada demo besar.” Siapa saja akan menangkap nada peringatan untuk waspada dalam sebuah informasi seperti itu. Tapi saya berasal dari kota di mana aksi demo, orasi dan bergerombol adalah makanan sehari-hari media, sehingga terkesan hanya ada demo di Makassar, kota dari mana saya datang. Jadi saya bertanya, menyoalkan kenapa. Kenapa harus waspada?
“Macet.”

Melihat kening saya yang agak terangkat , Luis, teman saya melanjutkan: “Macet total. Dari sini sampai Jayapura.”

Demo yang dibicarakan adalah aksi long march, masyarakat Papua pro Referendum, yang juga disebut Pro “M(erdeka)” -yang disebutkan dengan berbisik. Rencananya, akan start dari gedung Majelis Rakyat Papua, di Kotaraja, menuju gedung DPR di Jayapura.

Rumah kakak, tempat saya menginap ada di dok V, Jayapura dan Kantor tempat saya sedang bekerja terletak di Kotaraja, sekitar satu kilo meter jaraknya dari gedung MRP. Sehingga saya punya resiko terjebak dalam kemacetan jika datang ke kantor. Jarak rumah –kantor saya sekitar 40an km, itu membuat long march ini akan menempuh jarak sekitar 30km. Dalam jarak 30km itu, tidak ada jalur alternatif.

Sepanjang pagi saya bertahan untuk bekerja dari rumah, tapi karena terlanjur membuat rencana memotret kota Jayapura malam ini, saya harus ke kantor untuk mengambil tripod yang saya tinggalkan di sana. Sudah lewat jam 11, ketika meninggalkan rumah. Matahari menyengat. Sambil terus mempertimbangkan apakah perjalanan ini pantas ditempuh dengan resiko terjebak sejauh 30 km dalam arus longmarch, saya sampai juga di kantor dalam waktu kurang dari setengah jam dengan sepeda motor. Tidak ada halangan. Jalan cenderung lengang, atau karena saya biasanya pergi lebih pagi dan arus kendaraan lebih padat pada pagi hari? Entahlah.

Setelah mencopot helm, saya mendengar sayup-sayup orasi. Long march belum mulai, rupanya.
“Kenapa kita diam saja ketika lapar?” Suara seorang perempuan. “Sekarang ada masyarakat Papua yang hanya makan 4 hari dalam satu minggu.” Sesaat saya berhenti dan mencoba mendengar dari lapangan parkir.

Ruang kantor berbentuk U dengan 6 meja, dua meja di tiap sisi lengang. Biasanya ke lima meja terisi, tapi hari ini hanya ada office boy dan seorang rekan kerja. Yang lain?
“Tidak masuk karena ada demo.” Kata Hardi teman kerja.
Dari lantai dua kantor, orasi itu terdengar lebih jelas. Orator kali ini seorang pria, dan kelihatannya berlatar belakang gereja. Mempersoalkan dana OTSUS yang dinilainya telah gagal dimanfaatkan, ia juga menyinggung soal janji 80-20 antara masyarakat Papua dan Pusat, yang tidak terwujud.
Dalam orasi itu dia menekankan, bahwa pergerakan ini adalah pergerakan tanpa kekerasan. Papua hanya menuntut haknya sebagai manusia yang layak diperlakukan sederajat. Karena itu, perjalanan ini bukan hanya akan dikawal oleh pihak luar (polisi) tapi juga dari dalam.
“Jadi mama, bapa, kitorang jalan ini jangan sampai ada gerakan tambahan. Kalau ada yang mau bikin gerakan tambahan, tegur. Biar dia kakaka, ato adeka, tegur.” (jadi mama, bapa –sapaan, jangan sampai gerakan ini ditunggangi. Kalau ada yang kelihatannya mau mengacau, tegur. Meskipun dia lebih tua, atau lebih muda, tegur, halangi)
Orasi itu ditutup dengan doa. Di doa itu sang orator meminta penyertaan Tuhan, untuk memberkati gerakan yang dibuat bersama di berbagai tempat pada hari ini, Di Indonesia, Amerika, Eropa dan Australia. Di dalam doa itu, saya mendengar kalimat-kalimat ini: “ Tuhan, kami akan berjalan sambil berdansa, sertai perjalanan kami..”
Matahari di atas ubun-ubun, ketika rombongan itu tua muda besar kecil, laki perempuan, mulai berdansa, menuju Jayapura.

1.43 pm
Perempuan itu duduk di bawah rindang pohon, keriput di sudut matanya berdenyut. Wajahnya basah oleh keringat. Wajar saja, matahari sudah di ubun-ubun.
“Mama juga mau jalan ke Jayapura?”
Perempuan itu tersenyum, mengangguk. Membaca keraguan di mataku, dia menjelaskan: “kalau cape, sa duduk dulu. Sa su jalan dari Waena, jadi sekarang saya duduk dulu.”
Saya berdiri ragu di sampingnya. Ingin, tapi sungkan menanyakan kenapa. Kenapa harus ada di jalan dalam umur seperti itu.
Kami saling memandang, lalu katanya: “ sap u anak-anak su jalan ke muka. Jadi sa harus ikut dorang.” (anak-anak saya sudah jalan lebih dulu, jadi saya harus ikut mereka).
Ya, saya paham. Saya juga ibu. Saya pun pasti akan menemani perjuangan anak-anak saya.
Seorang wanita yang lebih muda datang dengan sepeda motor. Kemenakannya. Sang kemenakan menyarankan supaya perempuan paruh baya itu naik ojek saja. Dia setuju. Menyetop sepeda motor yang lewat. Lalu pergi menyusul rombongan yang menjauh.

Saya masih termangu melihat kepergian perempuan paruh baya tadi. Ketika menengok ke lain arah, mata kami bersirobok. Topi hitamnya berlogo burung cendrawasih. Dari sisi-sisi topi, keriting kecil rambutnya mengintip. Putih. Polo-shirtnya berwarna biru muda. Bersih tapi terlihat tua. Matanya tajam, tapi tidak mengancam.
Saya tersenyum. Dia membalasnya.
“Bapa mau jalan ke Jayapura?” Dia mengangguk. Lalu sambil menatap langsung mataku, lelaki tua itu mengucapkan beberapa baris kalimat dalam bahasa yang tidak saya kenal. Tidak ada bunyi “oi” yang mendominasi bahasa keret–keret (klan)di Sentani, atau kata-kata dengan bunyi “g” yang menandai bahasa dari daerah Pegunungan Tengah. Tapi saya tahu, lelaki itu sedang mendoakan saya. Karena saya mendengar kata “Yesus” di sebut beberapa kali dalam kalimat-kalimat itu.
Setelah doa itu, dia berkata “Saya Pendeta, Jemaat Sion di Waena.”
Apakah dia melihat pikiran di kepala saya, seperti orang membaca running text? ketika berdiri di pinggir jalan, di tengah massa, bertanya siapa mereka?
Apakah bapa tahu, adalah “tabu” menyatakan identitas diri ketika sedang demo? Karena bapak pasti akan diseret masalah, jika dikenali. Setidaknya saya pikir begitu, makanya para pendemo suka menutup separuh wajah mereka?
Ah. Airmata mengambang di pelupuk mata saya. Dia tersenyum, menepuk bahu saya sebelum pergi.
Terimakasih untuk doamu, apa pun itu. Terimakasih untuk matahatimu, yang menemukan saya di tepi jalan itu dan menjamin, saya aman ada di sini. Saya juga mencintai tanah ini, Bapa.
Pesannya: “Jangan sedih, kerjakan apa yang harus kau kerjakan saja.”

Umur mereka rasanya sebaya dengan Jay, anak saya yang ke tiga. Wajah lelah bersimbah keringat. Ketika sedang berbicara dengan perempuan pertama itu, mereka sedang beristirahat di bawah rindang pohon, menyender ke pagar. Yang satu berkaos putih polos. Yang satu berkaos bola garis-garis merah hitam. Sandal jepit mereka berwarna merah dan hijau, berabu. Salah satu dari antara mereka, rupanya baru saja membasuh muka dengan air dari botol palstik yang ada di tanggannya. Mukanya basah.
“Mau ke Jayapura juga?”
Bocah lelaki berkaos polos dengan ragu memandang temannya, lalu menggeleng.
“kami mau pulang saja, takut nanti sampe malam”
“rumah di mana ka? Tanya saya.
“Perumnas III"
"Waena?” mereka berdua mengangguk.
“jadi ini mau jalan kaki sampai waena?” di kepala saya terbayang 5 km tanpa pohonan dari kotaraja ke Waena.
Lagi-lagi mereka saling bertukar pandang dengan ragu-ragu.
“Tidak. Sampai di Abe saja, dari sana baru naik taksi.” Si kaos merah hitam memberi keterangan.
Taksi adalah sebutan untuk angkutan umum di Jayapura.
Saya teringat anak-anak saya. Anak-anak yang tumbuh di kota “besar”. Menikmati semua kemudahan. Saya teringat saya, yang seringkali mengeluhkan terik matahari. Yang selalu merasa berkorban menempuh 3 kilometer dengan jalan kaki. Apakah kemampuan membeli kenyamanan ini telah membuat kami lemah? telah membuat saya menutup mata, dan sebuah “ya, namanya juga usaha” semata kepada ketidakadilan?
“Iyo, kam dua pulang suda” kata saya.

Tiba-tiba saya ingin menjadi anak kecil yang tidak punya keharusan memilih. Pun kalau memilih, saya memilih karena waktu harus diperlakukan dengan bijak. Seperti ke dua bocah itu, yang takut pada malam.

Saya menduga-duga apakah di jalan pulang saya masih akan menemukan rombongan tadi menempuh jalan panjang sambil berdansa? Yang pasti, ada ibu yang akan menemani anak-anaknya. ada pendeta yang menabur doanya, dan anak-anak kecil yang memutuskan untuk pulang telah mematri diri mereka di hidup saya. Meski tak bernama.

Kotaraja, 8 Juli 2010