Notes On

Friday, July 20, 2012

Perjalanan Sumarah

Naskah Balada Sumarah ini telah 'membawa' saya ke banyak tempat, komunitas, kemudian. Tapi tak pernah pengalaman menjadi Sumarah seutuh ini, tanpa perjalanan ke Paris via Dubai berbagi kursi dengan para TKW.

Sabtu, 20-12-2008 
Meledakkan Rintihan Sumarah di Tengah Pengembara
:: Luna Vidya ::

”Mari ke Ambang sana, menemani saya menjadi Sumarah!.
Foto: Dokumentasi Luna Vidya. 


Terbang ke Perancis melalui Dubai menjadi semacam berkah tak terduga bagi citizen reporter Luna Vidya yang menyiapkan nomor “Balada Sumarah”untuk pentas monolog dalam perayaan ulangtahun Restoran Indonesia di Paris. Penerbangan Jakarta-Dubai serta obrolan dengan para pahlawan devisa saat menunggu penerbangan lanjutan, membuat Sumarah seolah betul-betul hidup dan siap menemani pementasannya. Cerita pilu TKW yang ayahnya dituduh aktivis PKI itu diledakkan Luna dengan segenap pengalaman yang dipungutnya sepanjang jalan. Sumarah muncul di hadapan penonton yang di antaranya juga mengalami nasib buruk yang sama: dicap PKI dan semua pintu tertutup untuk mereka. (p!)
 
Pintu restoran kecil yang beralamat di 12 Rue Vaugirard di jantung kota itu, seperti tangan yang hendak mendekap, siap menghalau udara malam dingin berkabut. Cuaca berkisar 4-5 derajat Celsius. Paris gemerlap dengan hiasan lampu-lampu menyambut Natal.

Saat saya melangkah masuk, rasa hangat dan akrab menyergap. Meja-meja makan kecil yang siang tadi memenuhi dua ruang makan di lantai pertama telah dipindahkan. Kursi dijejerkan menyusur sisi ruangan. Di meja terdapat piring berisi kacang, mete dan emping goreng. Di sisi meja yang melekat pada dinding, dijajar buku-buku bergambar lelaki setengah baya. Di dinding, terpasang foto-foto berpigura dengan tema Indonesia. Ada hajatan malam itu, Senin 15 Desember 2008: acara ulang tahun ke-26 Restoran Indonesia, Paris.

Acara ulang tahun Restoran Indonesia itu menjadikan "Indonesie " sebagai sentral perayaan. Buku Indonesie, adalah kumpulan karya fotografer Patrick Blanche dengan tema Indonesia. Foto-foto di dinding restoran malam itu, adalah "cuplikan" karya fotonya.

Semakin malam, ruang menjadi semakin sempit oleh tetamu. Yang datang sangat beragam. Ada teman-teman sang fotografer, ada komunitas orang Indonesia dalam lingkaran Koperasi Restoran Indonesia, pelanggan mereka, atau pun mahasiswa Indonesia yang tinggal di Paris. Beberapa wajah saya kenali sebagai peminat Indonesia" dalam jaringan Asosiasi Persahabatan Indonesia – Perancis Pasar Malam, yang mengundang saya. Pertemuan Pasar Malam bertajuk 10 Jam Menikmati Sastra Indonesia berlangsung seminggu sebelumnya. Senang rasanya melihat wajah yang "tak asing". Sayang sekali, Johanna Lederer, Ketua Pasar Malam, terhalang datang oleh sakit.

Juga hadir para wakil dari Kedutaan Besar Indonesia untuk Perancis. Kemudian saya tahu, keberadaan wakil KBRI di acara malam itu, mencatat sejarah sendiri. Kehadiran resmi seperti itu, baru terjadi pertama kalinya selama 26 tahun kehadiran Restoran Indonesia di Paris.


Tetamu yang menghadiri rangkaian ulangtahun ke-26 Restoran Indonesia di Paris.
Foto: Dokumentasi Luna Vidya. 


Acara bergulir santai, meski suasana berubah sedikit formal ketika kepada Atase Pendidikan KBRI Perancis, Sudrajat diberi kehormatan memberikan sambutan. Lalu dilanjutkan dengan sambutan dari Umar Said, yang akrab dipanggil Om Umar, sesepuh koperasi Indonesia, dilanjutkan dengan Pak Yoso, pimpinan Restoran Indonesia.

Terus terang, jangan berharap saya menangkap apa yang dikatakan para pemberi sambutan itu. Saya hanya mendengarnya lamat-lamat dari pintu dapur. Suara mereka berdengung, baik sang pemberi sambutan maupun suara Nita, salah seolah pegawai Restoran Indonesia yang malam itu bertindak sebagai pembawa acara, sekaligus penerjemah. Bukan karena terhalang suara lain, tapi karena kegelisahan saya lebih riuh. Suara-suara di dalam kepala saya lebih keras dari gelak gurau dua juru masak yang bertugas malam itu, Mbak Didien dan Kak Yudith.

Terduduk di dapur, di atas sebuah wadah plastik, saya mulai mengurai perjalanan Sumarah. Tokoh yang akan saya bawakan dalam monolog. Saya gugup.

Bukan hanya karena pementasan yang harus saya jelang dalam hitungan 30 menit ke depan, penuh dengan "pertama kali". Pertama kali pentas sendiri di luar negeri – jika itu penting- adalah salah satunya. Tapi yang terpenting, karena pementasan ini, adalah pementasan pertama Balada Sumarah di mana dalam wilayah mental saya, telah terekam gambar wajah para Tenaga Kerja Wanita (TKW). Wajah-wajah yang saya temui dalam perjalanan menuju Paris. Menuju ke pementasan malam itu.

Terlintas wajah-wajah teman sebangku saya dalam perjalanan dari Jakarta menuju Dubai. Wajah Sundari, dari Majalengka, dan Sinar dari Kendari. Mereka yang kita sebut pahlawan devisa.

Wajah-wajah mereka yang penuh dengan kelelahan menghadapi kemiskinan, memantul-mantul jelas malam itu. Seperti kata Sumarah: "…jadilah saya Sumarah binti Sulaiman, seorang TKW.. mencoba meraih hidup yang lebih baik dengan menjadi budak di negeri orang."
Benak saya juga penuh dengan impresi kegagahan dan sikap berani mereka, yang memilih menjadi TKW yang notabene babu.

Seperti yang disuarakan Sumarah: " ya, saya memang babu, tapi karena itu saya hebat. Saya hebat karena berani memilih membuat keputusan menjadi bagian paling bawah dari struktural manusia. Tidak ada orang yang mau jadi manusia di bawahnya manusia. Inilah saya Sumarah, menjadi babu, menjadi budak sudah menjadi pilihan."

Tapi dalam obrolan dengan tamu-tamu yang datang pada hajatan malam itu, saya tahu, perjalanan Sumarah adalah juga pecahan cermin perjalanan banyak orang di ruang itu. Perjalanan para pengembara. Perjalanan orang-orang yang tak bisa pulang –karena dicekal dengan alasan politik di masa Orde Baru-- dan kemudian memilih tak pulang. Sedikit banyaknya, di mata saya, para pengembara itu seperti Sumarah.

Ketika memberitahu pihak Restoran Indonesia bahwa nomor Balada Sumarah ini yang akan saya tampilkan, saya memilihnya lebih karena relevansi kisah Sumarah sang tokoh, dengan "legenda" di sekitar Koperasi Restoran Indonesia. Latar belakang keduanya yang sama, langsung atau tidak langsung: peristiwa G30S PKI 1965. Tapi pilihan itu tidak menjadi sederhana, ketika saya bertemu dengan "Sumarah-Sumarah" lain, di perjalanan Jakarta- Dubai dan di Restoran Indonesia yang hangat malam itu.

Saya gugup, karena paham dengan beragam tamu malam itu, isu yang termuat dalam monolog Balada Sumarah ini, adalah isu yang rawan. Isu yang dapat mengulik luka beberapa orang secara pribadi, beberapa orang secara politis. Tapi saya tidak bisa mundur. Panggung harus saya isi.


Sumarah, jadi bagian kisah hidup sejumlah penonton.
Foto: Dokumentasi Luna Vidya. 


Detik-detik Pementasan
"Sudah siap?" tanya Nita. Saya tidak punya pilihan lain kecuali mengangguk tentu saja.

Di ambang pintu pembatas ruang makan restoran saya berdiri. Lalu saya memberi pengantar pada pementasan Balada Sumarah. Nita menerjemahkan sinopsisnya dalam bahasa Perancis.

Sinopsis yang saya tulis ini, jauh lebih baik dari yang saya narasikan di ambang pintu. Kepada semua yang siap menyaksikan Sumarah, saya berkata, “Mari ke sana, ke ambang pintu itu, menemani saya menjadi Sumarah!”

Balada Sumarah karya Tentrem Lestari ini pertama kali saya bawakan pada Festival Monolog di Jakarta pada tahun 2006. Kali ini, dengan ruang pentas yang lebih kecil, beban saya justru lebih berat karena akan mengulik-ulik luka lama sejumlah penonton.

Kisah ini dibuka degan adegan perempuan bernama Sumarah seorang TKW, di Arab Saudi duduk di bangku terdakwa di sebuah ruang pengadilan. Ia ada di sana karena tuduhan membunuh majikannya. Dari bangku itu, tanpa pembela atau penasehat hukum, ia minta diberi kesempatan untuk menceritakan saja kisahnya. "Ini bukan pembelaan", kata Sumarah. "Karena apapun yang saya katakan, itu adalah merah hitam, putih abu-abu diri saya, belang loreng, gelap cahaya hidup saya."

Di ruang pengadilan itu Sumarah yang berani mengambil keputusan menjadi babu, menjadi manusia di bawah manusia, meminta agar ia boleh berbicara, berbicara untuk terakhir kalinya sebelum menjalani hukuman mati.

Di bangku pesakitan Sumarah bercerita tentang kehidupannya. Kehidupan sebagai sebagai anak seorang pembuat gula yang kena ciduk karena dianggap anggota PKI. Sulaiman ayah Sumarah, ditangkap karena menjual gulanya kepada koperasi yang dibentuk oleh PKI. Sumarah masih dalam kandungan, ketika ayahnya ditangkap dan seumur hidupnya ia tidak pernah bertemu dengan sang ayah, yang meninggalkan jejak bayang hitam di sepanjang hidupnya. Bayang hitam yang menguntit dan merebut separuh ruang hidupnya. Sedari kecil, dikitari bisik-bisik dan sindiran warga kampung, Sumarah tidak berani mengangkat kepala dan tidak berani bicara. Bicara berarti bencana.

Tapi Sumarah yang percaya bahwa pendidikan bisa mengubah nasib, berpikir ijazah dan prestasi akan membawa perubahan. Karena itu dengan gigih ia berusaha untuk terus sekolah. Tapi kemudian, ternyata karena bayang-bayang hitam ayahnya, Sumarah meski lulus dengan nilai tertinggi tidak punya kesempatan untuk menjadi pegawai negeri. Ijazahnya tidak memberi keajaiban apa-apa. Tidak bisa membuka pintu kesempatan. Ia terdepak dari pintu ke pintu, karena bayang-bayang nama ayahnya. Bayang-bayang hitam nama Sulaiman yang terkait PKI membuat Sumarah kehilangan cintanya.

Sumarah bercerita tentang bagaimana ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika hak-haknya diselewengkan, tidak berani bicara apa-apa, lagi-lagi karena nama ayahnya yang masuk daftar hitam. Sumarah bercerita tentang betapa mudahnya segala urusan bila disertai amplop berisi lembaran rupiah. Sumarah bercerita tentang harapannya untuk mengubah nasib keluarga dengan menjadi TKW di negeri orang. Harapan yang membungkus kenyataan bahwa ia adalah warga selipan, setengah gelap di negerinya sendiri. Warga yang kepalanya tidak boleh kelihatan di antara kerumunan banyak orang. Harapan itu kandas ketika ia -untuk pertama kalinya- mencoba mempertahankan haknya. Menolak diperkosa terus oleh majikannya.

"Bertahun-tahun di negeri saya sendiri, saya hanya diselipkan, setengah gelap, kepala saya tidak boleh kelihatan di antara kerumunan banyak orang. Apakah sekarang di negeri orang saya masih harus dimelatakan...? seperti budak hina yang boleh dibinatangkan?"

Ia membunuh majikannya.

Sumarah juga memilih untuk tidak diadili di negerinya sendiri, negeri yang belum tentu akan membela hak-haknya. Setelah tidak ada lagi yang bisa diperas darinya: seorang perempuan, TKW, seorang pesakitan.

Menonton Penonton
Saya bisa menerka Nita, sang pembawa acara, menambahkan keterangan historis pada bagian Partai Komunis Indonesia, untuk memberi penjelasan arti penting organisasi terlarang itu dan dihapuskannya bagian itu dalam kisah Balada Sumarah.

Setelah uraian tentang monolog itu, saya "mencuri" kesempatan untuk membacakan sebuah puisi, yang diadaptasi ke dalam Bahasa Perancis oleh Alex Cormanski. Puisi berjudul "Merayakan Lebaran" itu dalam adaptasinya diberi judul "La Fe`te du Pardon" atau "Merayakan Pengampunan".

Para tamu berdiri mengitari, juga menyesak di ruang sebelah untuk bisa mengawasi saya. Dua puluh lima menit. Seluruh kegugupan lumer jadi jeritan Sumarah: dengarlah saya! Dengan penonton yang terdekat berdiri dalam jarak jangkauan tangan, dan yang paling jauh hanya berjarak dua meter, selama dua puluh lima menit, saya menonton mata-mata yang menemani Sumarah menyanyikan baladanya. Ada bagian dari rintihan itu yang juga menjadi bagian hidup sejumlah penonton, ya para pengembara. juga para eksil yang masih terang jejaknya di sejumlah kota Eropa. Selama dua puluh lima menit, saya sang pelakon yang justru menjadi penonton, mengikuti perjalanan yang ditempuh beberapa orang dalam ruangan itu ke masa lalu.

Saya menyaksikan pedih memancar, ketika mata mereka menyempit ngilu, atau raut yang tiba-tiba melengos, juga kepala yang tertunduk. Atau bahu yang ditarik ke belakang dengan berat supaya kepala tetap tegak. Selama dua puluh lima menit itu, saya menerima empati mereka yang tidak pernah ada di jalan pengembaraan Sumarah: mereka orang-orang yang menjauh dari negeri sendiri, yang menyebut Indonesia sebagai sesuatu yang asing.

Sumarah selesai. "Saya siap mati", katanya. Pasrah, seperti artinya namanya.Tapi ada yang tidak selesai. Ada banyak komentar yang saya terima setelah itu. Saya menerima jabat hangat, pelukan dan ciuman pipi seusai pementasan. Pertanyaan seorang bapak yang menemani saya di awal malam ketika belum banyak tamu datang, menghentak saya: "Jadi sekarang boleh membicarakan hal-hal seperti itu di Indonesia?"

Pertanyaan itu membuat saya tahu, bahwa untuk banyak orang, perjalanan ke negeri asing terkadang bukan pilihan, tapi keterpaksaan.

Malam itu saya merasa sangat beruntung, bisa pulang ke negeri sendiri dan membayangkan tangan-tangan hangat yang siap mendekap. (p!)

*Citizen reporter Luna Vidya dapat dihubungi melalui email lunavidya@gmail.com
Beri Komentar| Jumlah Komentar (29) |

Komentar :24-02-2009
Dari : tentrem lestari | tentrem_smantid @yahoo.com
hai luna .saya tentrem lestari penulis naskah monolog Balada Sumarah. beberapa berita pementasan Balada Sumarah ku ikuti. Makasih ya ..atas apresiasinya .Kalo Luna berkenan kirim foto-foto pementasan di emailku .trims
31-01-2009
Dari : tita | titayanto@yahoo.com
quite a piece, Non. congratulations!
25-12-2008
Dari : ardadi | diwanua@gmail.com
hebat mentongi tauwwa. sukses buat jeng Luna....
23-12-2008
Dari : ikha | moigreen@yahoo.co.id
selamat...selamat kk!!! makin sukses aju ya bu....... bagussssssssss he..he -au revoir-
22-12-2008
Dari : tourist | 
setelah marsinah, rupanya ada sumarah ya? dan mungkin: 'itu belum yang tak sempat disebut'. negeri ini hebat betul ya? he he
22-12-2008
Dari : halim hd. | halimhade@yahoo.com
sms yang saya terima malam ini dari seorang teman di solo, tyas namanya: SUMARAH (bhs. jawa), pasrah kepada tuhan. sms dari suprapto suryodarmo, pendiri dan pengelola padepokan 'lemah putih': SUMARAH adalah pasrah dgn rasa bertanggung jawab, bukan apatis, atau tidak loyo atau mopo (mandeg); melalui sumarah seseorang mengembangkan daya terima lewat kepekaan.
22-12-2008
Dari : rose | ros@gmail.com
Congratulations.....
22-12-2008
Dari : rose | ros@gmail.com
wooooooooooooooooooo oow
22-12-2008
Dari : Muhammad Ridwan Thahir | info@muhammadridwanthahir.com
SUMARAH Su = Soe = (bahasa Jawa) artinya baik Marah = ya, marah jadi Sumarah adalah "marah yang baik" sama dengan SUMARAH itu sendiri yang punya kemarahan yang baik.
22-12-2008
Dari : Muhammad Ridwan Thahir | info@muhammadridwanthahir.com
Diralat: SUMARAH bukan SUMIRAH tapi kayaknya mirip ya. Hi...hi...hi. Sekali lagi SALUT buat Luna. Ciao!!!!
22-12-2008
Dari : Muhammad Ridwan Thahir | info@muhammadridwanthahir.com
Salut buat Luna! yang berani tampil beda di depan panggung di salah satu Kota Utama Dunia, Paris. Tapi potret Sumirah adalah potret Indonesia itu sendiri. Potret negeri yang terporak-porandakan oleh orang Indonesia sendiri. Sumirah hadir disetiap sudut kehidupan di negeri yang kata ekonom hampir bangkrut. Itulah Kenyataan Hidup yang harus dihadapi bahwa terkadang kita harus HIJRAH dari tanah kelahiran untuk mencari HIDUP yang lebih menjanjikan. Mungkin potret hidup SAYA adalah potret SUMIRAH dengan alur cerita yang lain. Saya merasa sekarang hidup di ANTARA DUA DUNIA yang saling bertolak belakang dalam banyak hal. Satunya Negeri Indonesia yang telah membesarkan saya dan satunya lagi Negeri Belanda yang memanjakan saya. Sekali lagi salut!!! Oh iya Luna, senang bisa ketemu dengan kamu dan famili serta Lily di Amsterdam. Gezellig kata orang sini. Oh iya, apa RED LIGHT DISTRIKNYA AMSTERDAM bisa masuk di PANYINGKUL nggak??? Hi..hi..hi. Kirim dong foto-fotonya ke emailku. Saya tunggu, loch! Salam lagi!
22-12-2008
Dari : Nuntung | daeng.nuntung@gmail.com
Penampilannya oke punya Jeng...Kapan kita duet? "duelogi" hahaha.
21-12-2008
Dari : halim hd. | hlimhade@yahoo.com
U/ DAEANG RUSLE: masalah sumarah, bagi saya, bukanlah masalah ketiak sendiri yang berbau atau diciumi dengan romantisme. jika kita merasa bahwa masalah sumarah adalah masalah kemanusiaan, maka soalnya bisa kian melebar keberbagai wilayah warga yang bukan hanya di nusantara saja, tapi juga diberbagai penjuru. dan hal itu tidak bis dditutup-tutupi dengan jenis bungkusan apapun juga. missisipi burning, film yang berulangkali saya tonton, adalah bukti dari peristiwa sejatah sosial yang berusaha untuk membongkar lobang hitam sejarah amerika. dan di cina, jerman, india-pakistan dan berbagai negeri lainnya; sangat mungkin di nusantara akan ada banyak bukan hanya pembocoran tapi mengungkap lebih dalam masalah kemanusiaan ini, dalam bentuk jurnalisme, cerpen, novel, biografi dan sejarah. buku john roosa, tentang pembantaian tahun 1965-68 adalah upaya untuk mengungkapkan fakta sejarah sosial politik di negeri kita; dan kita tunggu untuk kesekiana kalinya usaha untuk membongkar lebih dalam ssoal peristiwa pembantaian oleh pasukan westerling di sulsel. dalam suatu obrolan ditahun 1980-an, dalam kunjungan ke rumah pak pram, seorang teman bertanya, bagaimana untuk menuliskan sejarah. pak pram menjawab, kemanusiaan dan keberanian. kemanusiaan tanpa keberanian, katanya hanya melahirkan keluh kesah. saya pikir, hal ini mirip seperti yang dikatakan oleh nelson mandela. dan keberanian nelson mandela adalah bukan hanya mengungkapkan, tapi juga berani untuk memaafkan namun tak melupakan apa yang pernah terjadi. belajarlah dari yang pernah terjadi, katanya, dan mari kita melangkah ke depan untuk rekonsiliasi.
21-12-2008
Dari : jimpe | saintjimpe@gmail.com
kerennya! makin lancar ya jeng, ... merebak dan semerbak :-)
21-12-2008
Dari : dirmansaad | sudirmansaad@yahoo.com
Luna, kamu HEBAT! Tema ANAK PKI dan TKI sekaligus dalam satu monolog. Bisakah ada apresiasi dari komunitas Panyingkul! Misalnya Panyingkul! Award 2008.
21-12-2008
Dari : syamsoe | syamsoebalha@gmail.com
fiuhh.. foto yang hebat
21-12-2008
Dari : rusle | daengrusle@angingmammiri.org
Kita sudah sangat terbiasa untuk berusaha menutup hidung dari ketiak orang lain, namun secara sembunyi2 menciumi ketiak sendiri. Seberapa asam dan asin ia ketika berjarak hanya puluhan senti dari hidung. Sumarah mungkin adalah ketiak kita sendiri, kita sering membauinya, terkadang dengan romansa rindu. Tapi kita lebih sering menganggapnya hanya milik sendiri, padahal ia bisa mengganggu orang lain. Mari kita bungkus cerita Sumarah seperti kita menciumi bau ketiak orang lain, yg serta merta kita ingin segera sodorkan deodoran untuk di'sembuh'kan.
20-12-2008
Dari : idha | idhariu@yahoo.com
Usah lah kita berhitung secara nurani kemanusiaan, cukup lah dengan hitung-hitungan ekonomi matematika: berjuta Sumarah yang ada membuat perekonomian di negeri asing bernama Indonesia bergerak dengan konsisten. Pertanyaannya: mengapa kita tetap mengesampingkan apa yang telah dihasilkan oleh Sumarah-Sumarah tersebut? Kapan kah kita bisa mengakui apa yang dilakukan para Sumarah merupakan pekerjaan profesional walau pun tanpa ijazah sekolah tinggi? Sumarah yang perempuan, yang terpinggirkan, yang terlecehkan, yang penuh tanggung jawab meluruskan nasib, yang selalu berusaha mematahkan tiang kemiskinan ... yang pekerjaannya tidak pernah tercatat sebagai sebuah 'profesi'. Selamat Sister Luna!
20-12-2008
Dari : nilam indahsari | nilam_indahsari@yahoo.com
luvly one :)
20-12-2008
Dari : koko | lekopr@gmail.com
...ayaknya menara eiffel rada-rada goyang and gemetar kali yeee dengar raungannya sumarah ...kapan di makassar (lagi-lagi dengan huruf 'm' kecil) ada pertunjukan yang bisa mentertawakan hidup yang fana ini? yang bisa jadi otokritik dalam keseharian kita?
20-12-2008
Dari : halim hd. | halimhade@yahoo.com
bukan maen, luna, anda menuliskan pengalaman, yaaa pengalaman anda, bukan sekedar pementasan, bukan sekedar review. matur sembah nuwun.
20-12-2008
Dari : Armin Hari | artsuru@gmail.com
sebenarnya tidak ada komentar untuk tulisan ini. nda ada pi yg kalahki Jeng Luna kalo urusan ini. selalu ada bagian ta yg ia lakonkan dalam monolog. salama ki tue Kak Luna...
20-12-2008
Dari : Ismail Amin | ma_ipa@yahoo.com
Saya mau tulis ucapan selamat dalam bahasa parsi, "Barakallah, che qadr kor-e khub anjom dodid, umid woram keh ba'ad mituni behtar az in kor mikunid, muaffaq bosyid dusyton !!! salamat bosyid :-)
20-12-2008
Dari : -ellie- | wairatta@yahoo.com
Hoi Ka Lun..welkom thuis en ook dank je voor het verhaal. Heel erg interessant om dat te lezen!! Uitstekend!!
20-12-2008
Dari : iv@n | 
... brAAAvOOO ! kapan ya mentas di kantor lurah baranglompo bersama ibu2 penganyam jaring :)
20-12-2008
Dari : Sudirman Nasir | sudirmannasir@yahoo.com
selamat luna. selamat.
20-12-2008
Dari : anbhar | andhy2@gmail.com
selamat atas pementasan monolognya (rock)
20-12-2008
Dari : Mustamin al-Mandary | 
Ralat: "Sayang sering geram sendiri..." menjadi "Saya sering geram sendiri...."
20-12-2008
Dari : Mustamin al-Mandary | mustamin.almandary@gmail.com
Sebuah cerita perjalanan yang indah Sister Luna. Dan sebuah potret, tentang Samarrah, yang saya yakin masih banyak disana: Samarrah-Samarrah lain yang ditindas dan tidak-di-manusiakan. Sayang sering geram sendiri mengingat penindasan atas nama negara, yang dilakukan oleh penguasa di masa lalu (sekarang juga mungkin masih ada, dgn modus yang lain). Para penindas itu, tidak pernah saya doakan baik-baik. Ingin rasanya kembali ke masa lalu dan juga melempar muka para penguasa itu dengan sepatu sambil berujar, "ini untuk Samarrah".



sumber:  http://www.panyingkul.com/view.php?id=1025



Antologi Teh


1
sepokok gelisah yang kau lupakan di dalamku
ditoreh pada waktu-waktu tertentu
seperti ketika bulan pasi dan malam rindang
rindu diremas: nira menetes
seperti aku dan gulaku
pohon lontar menunggu
untuk memaniskan tehmu

jeneponto

2
Di bawah sinar bulan pucat bayang pohon lontar,
malam muda melontarkan tanya:
adakah yang tengah mengaduk hatimu?'

Rindu menggenggam kenangan. Hujan.
Tak seperti waktu itu.

3
cabikan indah diriku
dipasang waktu seperti penjor pada masa raya galungan
tak tegak  oleh benih bumi
di ujungnya angin menari

ah.
hingga musim usai
aku terpancang di sini, 
padamu sekujur diri melambai.

March 2012

Ada yang Berpuasa di Rumah Kami

Sebuah tulisan lama, dari tempat pelatihan menulis saya tentang merayakan Ramadhan..

Sabtu, 15-09-2007 
Ada yang Berpuasa di Rumah Kami…
:: Luna Vidya ::
Citizen reporter Luna Vidya membagi pengalaman seputar toleransi warga non-muslim selama bulan Ramadan. Sebagai pemeluk agama Kristen Pantekosta, ia mengakui rutinitas kesehariannya ikut berubah selama bulan puasa. Tapi ia dan anak-anaknya ikut senang menemani dua pembantu di rumah mereka menjalani puasa. (p!)
Sehari sebelum berpuasa seorang rekan kerja di kantor mengambil cuti setengah hari. "Mau belanja persiapan sahur pertama nanti," katanya. Sementara teman-teman kantor lainnya yang beragama Islam, tetap bertahan sampai jam kerja usai. Alasannya, karena mereka rata-rata adalah para perantau yang tidak memiliki keluarga di Makassar. Bahkan ada di antara mereka yang juga sudah sering melewati Ramadan dan Lebaran tidak bersama keluarga, karena tidak tinggal di kota yang sama.

Erni dan Emmi, dua pembantu rumah tangga yang selama ini membantu saya, memilih menjalani Ramadan di rumah kami. Keduanya tidak termasuk orang yang berusaha keras menjalankan tradisi “berpuasa di hari pertama di kampung halaman”. Ramadan kali ini bukan yang pertama bagi Erni dimasuki tanpa berkumpul dengan keluarga. Meski saya menawarkan kepada mereka cuti untuk pulang ke kampung, berkumpul bersama anak dan orangtuanya, tapi kata Erni, "Lebaran saja saya pulang, Bu."

Kehadiran Erni dan Emmi yang muslim di tengah-tengah kami membuat saya sekeluarga ikut menyaksikan rutinitas puasa yang mereka jalankan, sekaligus menjadi bagiannya.

Jam Tayang “Berubah”
Perubahan pertama selama puasa adalah terkait jam kerja. Penjualan sayur keliling langganan Erni, Pak Udin tidak menjual di pagi hari selama puasa. Menurut Erni, jam berjualan di bulan puasa berganti ke sore hari menjelang berbuka. Perubahan jam jualan ini, juga diikuti oleh penjual tahu tempe dan penjual ikan. Penjual kue langganan kami, Ibu Hamdan di lorong belakang rumah juga termasuk yang mengubah jam buka toko. Tak ada lagi kue di pagi hari. Kue-kue kampungnya, selama Ramadan akan dijual sore, menjelang buka puasa.

Kelihatannya, perubahan "jam tayang" ini berlaku sampai ke lingkup pemasaran yang lebih luas. Bukan cuma pedagang kecil seperti Pak Udin si tukang sayur atau Ibu Hamdan penjual kue di kawasan Perumnas Tamalate, Makassar. Dalam perjalanan ke kantor, saya perhatikan pasar di dekat rumah pun lengang di pagi hari. Jejeran penjual kue yang biasanya ramai dikunjungi pembeli sejak jam 6.30 , sampai jam 9 tadi belum membuka dagangnya. Saya ingat, biasanya pada bulan Ramadan, pasar pun baru akan ramai oleh penjual menjelang tengah hari, dan semakin disesaki pembeli menjelang sore.

Di hari pertama puasa, Erni bercerita tentang pasar yang penuh sesak dan harga sayur yang melonjak. Harga ayam potong yang masih dijual Rp17.000 per ekor minggu lalu, setelah puasa menjadi Rp20.000-Rp21.000. Penganan khas puasa, seperti cendol dengan warna hijau, merah, bahkan oranye ramai dijajakan. Inilah warna khas yang muncul di bulan puasa, yang mengingatkan saya pada telur-telur berhias pada hari-hari Maulid Nabi Muhammad SAW.

Meski tidak berpuasa, tapi anak-anak saya bersemangat menunggu -nunggu hidangan buka puasa apa yang akan dibuat Erni hari ini. Anak bungsu, tidak berhenti bertanya: "Kakak, mau bikin apa?" , "bikin kue?"

Inilah pertama kali kami ikut merasakan dari dekat ibadah puasa itu karena ada Erni dan Emmi yang menjalankannya di dalam rumah kami. Selama ini, yang membuat terasa datangnya Ramadan adalah hantaran kue atau pisang ijo dari tetangga kami. Atau ramainya penjual kue dan pisang ijo "kaget" di sepanjang jalan utama di depan rumah kami di kawasan Toddopuli Raya dan di lorong belakang rumah kami. Selama Ramadan, setiap sore, kami pun ikut "berbuka" dengan berbagai jajan pasar itu.

Di hari pertama puasa, saya tidak mendapat jatah teh yang biasanya dibuatkan Erni datau Emmi. Selama bulan puasa, saya juga harus pulang lebih cepat, agar Erni dan Emmi bisa ke mesjid untuk shalat tarwih. Selamat datang, Ramadhan. (p!)

*Citizen reporter Luna Vidya dapat dhubungi melalui email lunavidya@gmail.com
Beri Komentar| Jumlah Komentar (17) |

Komentar :01-10-2007
Dari : asfriyanto | asfriyanto@yahoo.com
ccckkkkk!!!!!! tuh kan detil tulsiannnya kak luna luar biasa. yang selalu belajar dan mengoleksi setiap tulisanmu di panyingkul.thanks kaki luna.
24-09-2007
Dari : teddy | teddy.kristedi@anu.edu.au
makasih tulisannya luna. jadi kangen bulan puasa di makassar.
22-09-2007
Dari : sm | 
Manis...
22-09-2007
Dari : halim hd. | halimhade@yahoo.com
fantastik, idhariu!
18-09-2007
Dari : vy | valent_vy@yahoo.co.id
hey....gak semua yg indah itu hanya ada di dongeng ato sinetron kan...
18-09-2007
Dari : Idha Riu | idhariu@yahoo.com
Hal yang terjadi di rumah orang tua saya kebalikan dari Ibu Luna. Di rumah orang tua saya tinggal seorang perantauan dari Mamuju yang beragama Nasrani. Namanya Aurelius tapi kami lebih sering menanggilnya Relly. Ponakan saya yang berusia 2 tahun memanggilnya Yeyi. Relly telah tinggal bersama kami selama lebih dari 5 tahun, sejak dia mulai menjadi mahasiswa di Fakultas MIPA, UNM. Relly adalah seorang anak yang cerdas (dia masuk UNM berdasarkan penelusuran minat dan bakat)dan sangat rajin. Di rumah orang tua saya, Relly adalah asisten departemen kebersihan yang dipimpin oleh Papa. Hasil kerjaanya, khususnya pada hari Sabtu dan Minggu selalu mendapatkan 'poejian'. Saat Ramadhan seperti ini, Mama saya tidak pernah lupa menyiapakan sarapan dan juga makan siang untuk Relly. Sore menjelang buka puasa, Relly selalu dengan senang hati mengantarkan teh untuk berbuka puasa ke mesjid dekat rumah. Di pertengahan Ramadhan, Rally akan menunjukkan kinerja yang 'sangat dipoejikan' dalam membersihkan seluruh sudut rumah, termasuk di bawah kolong. Relly sangat mengerti bahwa Mama saya akan sangat bahagia jika rumahnya bersih dalam menyambut sanak kerabat di saat Idul Fitri. Relly dengan senang hati akan berada diantara kami disaat perayaan Idul Fitri maupun Idul Adha. Kami sekeluarga juga selalu 'merayakan' Natal setiap tanggal 25 December. Mama tidak pernah lupa menyediakan cake dan cookies serta minuman ringan untuk kawan-kawan Relly yang datang berkunjung pada saat itu. Kedua orang tua saya pun tidak pernah keberatan rumahnya menjadi tempat berdoa bagi Relly beserta keluarganya, khususnya ketika mereka merayakan keberhasilan Relly merampungkan kuliahnya. Beberapa bulan terakhir, terutama ketika Relly dalam tahap penyelesaian skripsi. Dia lebih banyak berada di Lab Komputer di kampusnya. Pun juga Ramadhan ini. Dia harus mengejar tenggat waktu untuk perbaikan skripsinya. Namun Mama tidak pernah lupa menyediakan makanan di atas meja, in case Relly pulang untuk makan siang. Saya yakin, sebelum Ramadhan berakhir Relly akan menunjukkan kebolehannya yang 'sangat dipeojikan' dalam membersihkan seluruh sudut rumah untuk menyambut Idul Fitri. Note: Relly sekarang adalah guru honor di salah satu SMU swasta ternama. Kami sangat bangga padanya.
17-09-2007
Dari : ilham anwar | ilox_anwar@yahoo.co.uk
wahai, tirai cahaya tumpah dari langit mengucuri sebuah rumah perumnas di panakukang...
17-09-2007
Dari : ipul | ipulji@yahoo.com
indah...saya hanya bisa bilang itu. salam untuk k'Luna dan keluarga...
17-09-2007
Dari : Ogi Sidenreng | 
Wujud toleransi yang tulus dan ikhlas oleh Keluarga Luna.
17-09-2007
Dari : rusle' | muhruslee@gmail.com
Cerita kak Luna seharusnya bisa menjadi headline di media mainstream, tidak melulu hanya perspektif subyektif muslim saja ttg ramadhan. Saya yakin banyak cerita yang sama konteknya, terutama semangatnya membagikan ketulusan utk mengakui posisi masing2 dalam keragaman. Cerita romantisme di keluarga Bung Halim HD juga mungkin patut ditayangkan...gmana redaksi?
16-09-2007
Dari : Mustamin al-Mandary | 
No comment. Saya hanya ingin meresapi dengan diam. Luna, tulisanmu semakin menguatkan jalan kami. Thanks.
15-09-2007
Dari : i nuntung | daeng.nuntung@gmail.com
tawwa... wujud toleransi, toleransi yang sipakatau, sipakalabbirik, sikamaseang...
15-09-2007
Dari : Kapitipiti | kapitipitie@yahoo.co.jp
Sebagai orang yg di KTP-nya tercantum beragama Islam , iri dan terharu saya dgn kakak-kakak pembantu ini yang masih bisa merasakan nikmatnya berpuasa walau ditengah keluarga non-muslim.
15-09-2007
Dari : nyonri | hasymi@gmail.com
Luna, makasih atas tulisannya. Menyentuh. Dan seperti bang Halim katakan, mengingatkan betapa ramadhan nan syahdu -- semua bentuk temperamen tinggi tiba-tiba bernada rendah -- di kampung, muncul ke permukaan saat ini. Ada kangen akan ketulusan dan keriaan dengan nada amat rendah, terutama pada malam-malam tarawih di kampung dengan tadarrusan seperti tak habis-habis.
15-09-2007
Dari : halim hd. | halimhade@yahoo.com
tulisan luna yang bagus ini mengingatkan aku kepada kampung kelahiranku, serang-banten. di sebuah keluarga dengan tradisi 'hibrid' yang datang dari pedesaan pedalaman banten, bulan puasa menjadi sesuatu yang istimewa, walaupun sebagian besar keluarga kami beragama buddha, khong Hu Cu ada yang islam, ada yang kristen dan ada juga yang katholik dan 'kebatinan'. dan disitu pula paman kami, nyai salamah, bi saki, ratem, bi kutil dan sejumlah keluarga dari pedalaman senantiasa berkumpul, termasuk mang an'a, mang ratim besera keluarganya. dan dalam bulan ini, selain imlek, adalah waktu yang paling intensif untuk bertemu dengan keluarga, yang masing-masing sibuk dengan hantaran bahan mentah makanan menjelang lebaran, dan sekaligus juga pembuktian kemampuan keterampilan dalam mengolah penganan. jika saya teringat kampung kelahiran dan kelaurga, dan kini banyak di kota-kota lainnya, ada sesuatu yang 'hilang', seperti juga yang dialami oleh ismad sahupala dalam suatu obrolan kemaren malam tentang betapa nikmatnya bulan puasa dan sekaligus juga suatu bukti dari kultur kuliner yang dimiliki oleh tradisi kiita. kini, di kota rasanya sulit mencari sesuatu yang pernah ada. tapi yang lebih hilang adalah saling hantar, dan sebuah surau di sebrang sungai kampung kami yang selalu menyediakan kepada siapa saja, para musafir, untuk menyecap minuman dan masakan yang disediakan oleh penduduk kampung. sementara itu tarawih menajdi bagian dari kehidupan kampung yang meriah oleh lalu lalang orang dan diiringi oleh salam dan peluk cium, sedangkan pada laur malam, menjelang sahur, serombongan anak-anak dengan ketimpring (rebana kecil) atau terbang melantunkan bebunyian, musik yang terasa syahdu, dans esekali ditimpali dari tetangga kampung lainnya dengan instrumen yang sama, dan ada juga yang menggunakan kentongan dalam irama kothekan, saling bersahutan.
15-09-2007
Dari : Sultan Habnoer | sultan@yps-srk.sch.id
Apa yang dilakukan Bu Luna memberikan pelajaran bahwa sebetulnya keberagaman itu indah.
15-09-2007
Dari : amud | mahmuddin@yps-srk.sch.id
luar biasa, keluarga ini menjadi contoh bagi kami terutama perlu buat sebagian Malaysian yang kerap memperlakukan PRT-nya secara tidak manusiawi. Berkah Ramadhan benar2 terbagi buat seluruh manusia dan makhluk. selamat buat Luna Vidya & keluarga.



Tuesday, July 17, 2012

Tentang Kita: Kali di Sentani

Menemukanmu seperti mencelup kaki ke dalam kali-kali di Sentani

Perjumpaan kita mengalir lambat membalut batu
Kebersamaan adalah daun tua yang menebal di bantal sungai,
daun jatuh di sela jemari cahaya
pula kemilau terik yang di antar berkilo-kilo meter
di dalam berlapis-lapis rimbun

Kenangan menyatu dengan tanah lalu tumbuh
jadi jamur, jadi pohon kasuari, jadi ganemo, jadi giawas, jadi kasbi,
jadi keladi, jadi pohon sagu, jadi ulat, jadi mambruk, jadi kasuari

Sambil mencelupkan kaki ke dalam kali,
kita bakar kenangan dengan batu
Makan

Dan menjadi kenyang dalam kekinian.

2007

Waktu Kau Sebut Namaku

then another page was added about you


(tentang kawan: edisi sugi kepada nyonri)

Waktu kau sebut namaku
Embun luruh, di tempat-tempat jauh

Waktu kau sebut namaku
Laut nguap, jadi awan , jadi hujan di dalamku.

Dan angin dari penjuru yang tak
Di sebut oleh peta
Mengantar rindu ke depan rumahku

Sugi

(tersanjung episode 414 2008)

Petaka Gula

Langit dingin.
Dalam diam sediam tungku batu sedingin tempayan,
dengan tangan telanjang, kukoyak tirai langit.
aku perempuan: tersedia untuk bertahan.

Di bawah langit koyak, menyiang ladang,
harap kuangin-angin.
berkali-kali berganti musim angin
cahaya semakin sayup, harap seperti sisa-sisa api tanpa kayu.

aku perempuan: pemburu 'kenapa?'

sambil terus mengumpulkan kayu,
berupaya mendidihkan getah jadi gula
memaniskan langit-langit yang luka
telah jadi hujan
garam yang ada di penyimpanan.
aku dan diriku
ibarat tempayan dan tungku dingin
tanpa kayu,


tanpa dirimu, aku abu

ketika mata kupaku ke lautan, dari hutan kayu-kayu bakar dihantarkan.

Lihat , olehmu sendiri
Ada api di bawah tungku!
lalu panas untuk mendidihkan tempayan bergetah
darinya gula, untuk langit-langit luka
lalu rumah, rumah getah rumah gula.

Ke langit koyak, ku kirim undangan: langit dingin. 
aku perempuan, tersedia untuk diam saja
berpura-pura lupa
aku tak lupa restu langit  tak hadir di acara pesta.
tapi tanpa restu langit
apa yang dapat menjelma?

ketika sedang memasak gula,
telah tumpah petaka ke dalam getah,
tempayan terjungkal, tiang rumah tersulut angkara.

Sekarang aku tak punya apa,
pada bara tiang-tiang rumah aku berdiang
seorang-orang,
berangin-angin, seorang-orang.
Di atasku langit koyak.
Di mataku laut bergelombang.
Di dalamku malam. Bulan hilang.


2008-2012

Waktu Kita

*poetag
:k

(1)
apakah yang dipinjamkan waktu
ketika di bawah sebuah pohon kesempatan
aku bangun
dan menemukan
embun di ubun-ubun
dan kehangatanmu di sebelahku?




(2)
tiap melipat selimut kita,
aku menimba sepi:
makin hari makin panjang kuulur tali
untuk menahan diri 
dari mencari 
sebab waktu yang menyimpan kita 
tak meninggalkan alamat


(3)
di tiap selamat jalan
aku tercabik,
berdarah rindu tersemat
seperti kembang di lekuk telinga.

lalu matahari tenggelam,
berulang-ulang
dalam gelap waktu
aku menunggu

Juli 2012

photo by Rini Indra Yanti

Terik Senja

*poetag
matahari jatuh,
di teriknya rindu luruh
ke dalam pelukmu

hanya sesaat kita mengecup sore
dan seperti angin hinggap di daunan,
lalu menggetarkannya sepanjang malam
: begitu aku


kita dihinggapi malam,
dan seperti daun
digetarkan rindu sepanjang tunggu

photo by Rini Indra Yanti

June 2012