Notes On

Wednesday, September 8, 2010

Jalan Kecil Menuju Rumah

Jalan kecil itu akan mengantarmu ke rumah. Rumahku. Jalan kecil dengan akasia tua di salah satu sisinya. Si pohon bernyanyi, di musim kemarau.

Jalan kecil itu akan mengantarmu kepada pergiku: ke SD dengan seragam, ketika sekolah sebelumnya semata adalah kesenangan bermain di halaman luas berumput tebal dipagari pohonan akasia tua. Sekolah swasta kota kecamatan, tanpa seragam. Kelas dengan tembok-tembok rendah dan terbuka kea rah halaman. Yang semua gurunya kukenal dan dengan nama rumah aku disapa. Dekat pasar. Dekat hanggar. Hidup berakar.

Ke SMP yang kujingkat-jingkati penuh rasa ingin tahu, dengan ketebalan yang sama pada rasa takut. Ke petualangan. Ke debar dan gelisah asmara pertama yang memabukkan. Kepada goda rimbun pohonan di jalan pintas ke pada dewasa. Jalan putih berkerikil.

Juga ke sini, jalan kecil itu akan mengantarmu. Ke hari-ini-ku. Ke hidup seorang perempuan. Sebuah kamar, dengan satu jendela, suram. Di antara bau pesing dan lotion import, di ruang tamu yang penuh buku, kutulis berlembar-lembar ingatan. Mungkin karena takut dilupakan. Lembar-lembar ingatan itu, menjadi selimut bagi sendiriku yang kadang ngilu. Selimut perca. Selimut yang kujahit sendiri dari risau, cabikan mimpi dan harap. Pagi-pagi kulipat rapi. Waktu matahari tinggi, aku tanpa mimpi, kamar-kamar kosong.

Kalau kau lewat kapan-kapan, singgahlah. Tentu bisa kau pilih musim ketika hendak singgah. Tapi buatlah janji lebih dulu. Kadang ketika musim hujan, aku justru sedang dalam perjalanan, membasahi diri dengan kenangan. Dan kau harus mau menunggu.  Tidak, tidak harus. Kalau terpaksa menunggu di pintu, selimut perca itu mungkin cukup untuk menghangatkan rasa ingin tahumu. Kau mungkin bisa mengubur jemu dengan membaca sambil berselimut potongan-potongan risauku. Jalan itu licin ketika basah. Hati-hati. Kau bisa terpeleset. Ke dalam iba atau ke dalamku. Bila kau singgah, akan kusiapkan makan siang di dapur kecilku. Sudah lama cinta tak lagi dirajang di sana. Tentu menyenangkan mendengar celoteh minyak, penggorengan dan sutil bersamamu.

Jalan kecil itu akan mengantarmu, ke ruang mataku: ketika kusaksikan bagaimana ia mengusung duka saat kematian keluar dari pintu depan. Mengusung sisa cahaya, membopong kenangan yang meronta memukul-mukul peti mati. Mengusung cahaya seperti lampu jalan, hidup berangsur redup. Dalam cahaya temaram, aku meneruskan kehidupan. Duka mengekor dari belakang.

Jalan kecil berbatu-batu itu, akan mengantarku pada kematian. Jalan kecil ke pada pulang. Meski belum lagi. Tapi jalanku menuju ke petang. Ketika aku menunggu, berjalanlah bersamaku. Menemaniku bertarung dengan takut pada lupa. Melewati kemarau bersama pohon bernyanyi. Aku ingin menunggu petang sambil menyambung potongan perca, dan kau ada di sekitarku sedia menolong memasukkan benang.






2008

No comments:

Post a Comment