Notes On

Thursday, September 2, 2010

Saya Luna yang Bukan Maya, Please

Tiba-tiba pop up window chat box di sudut kanan layar computer memberi tanda bahwa ada ajakan percakapan yang ditujukan pada saya.
“Hai Luna Maya..”
Di sapa dalam chat box seperti itu selalu mengucurkan reaksi yang sama dari saya: “ saya Luna yang bukan Maya.. saya lebih cerdas.”
Biasanya basa-basi itu berhenti di sana.
Tapi pagi ini, komentar basa-basi itu berlanjut pada: “tapi lebih cantik mana?”

Saya terhenyak. “lebih cantik mana?” jelas yang dimaksud adalah bahwa saya tidak cantik dibandingkan dengan Luna yang Maya. Ngilu juga rasanya gigi, membaca kalimat seperti itu. Dengan jelas terpeta dalam kepala saya, Luna yang satunya: yang selebriti. Wajah, bentuk tubuh dan warna kulit.

**
Sms itu berbunyi: “ ini mbak Luna ya? Saya ingin kenalan. Nama saya Ical. Salam kenal. ” Nomer itu tidak saya kenal.
“halah! Nape lo, Nil. Iseng amat. Mending kesini. Daripada ngisengin gw.” Saya yakin ini temen saya si Danil. Message sent tertulis di screen.
Dalam hitungan detik, sebuah pesan baru tiba: “Aduh Mbak, saya Ical. Saya gak iseng kok mau kenalan. Sungguh. Maaf kalau mengganggu.”
“eh, ngapain sih doyan ganti nomer. Eloe sini aja. Gw tungguin di mall. Sekalian “kenalan”. Salam kenal balik.”
“sungguh mbak, saya Ical. Saya sebenarnya,adiknya Ratno Timoer. Tapi gak gaul gitu. Dan sedang kerja di Makassar. Makasih ya Mbak sudah terima salam kenal saya. Seneng banget bisa kenalan sama orang terkenal. Dan gak sombong”
Saya mulai merasa, bahwa orang ini sama sekali bukan Danil.
“Terkenal? He he. Saya emang terkenal di kalangan tertentu: keluarga, temen kantor, temen ngumpul.. kayak gak tau aja.. Tidak sombong? Hati-hati, ini di Makassar. He he."  Message sent, tertera di screen hape saya. Tidak berapa lama kemudian, incoming text  
“oh .. Mbak Luna sedang di Makassar?”
Lalu pesan baru menyusul : “ Kalau di Makassar boleh tidak saya jadi penunjuk jalan, saya temenin jalan-jalan. Tapi mobil saya butut.”
“ha ha.. ada juga saya yang nunjukkin jalan di Makassar ini. Bagaimana kalo saya gonceng ma motor saja?”
“lo kok mbak Luna naik motor?”
“enak lagi. Motor saya gede kok . Thunder.”

Saya makin tidak yakin orang ini Danil, mungkin benar dia bernama Ical. Saya sungguh berharap dia Si Danil. Saya telpon Danil. Temen kantor, temen jalan, temen berantem, yang keisengannya tidak tertebak. Panggilan telepon itu tersambung. Artinya dia gak ganti nomer. Saya tahu Danil hanya punya satu hape.
“Hallo? Nape Les?” Diantara banyak sapaan Danil untuk saya, “Les” adalah salah satunya.
“ Elu ganti nomer?”
“gak”
“hmm ada temen elu namanya Ical?”
Terdengar suara tertawa kecil. “Nape, say?”
“ada orang sms gue, ngakunya Ical, mo kenalan. Tapi aneh gitu.”
“aneh gimana?”
“ya.. kayak pernah ngeliat gue , memuja gitu..”
“Ooo”
“ada gak temen elu namanya Ical?”
Cuma suara ketawa kecilnya terdengar. “darimana elu tahu dia temen gue ?”
“karena smsnya datang gak lama setelah kita ngobrol tadi.”
“ooooo. Gak ada. Ada juga namanya Faizal. Dimana Lun? “
“Masih di mall. Baru kelar belanja.”
“Maen sini dong, ke kos-kosan gw.”
Saya setuju. Di hape ada tanda SMS baru.
Sms dari Ical. “Mbak apa acaranya di Makassar? Apalagi sekarang malam minggu. Apa ada show?”
“Gak ada. Ada juga mau ke rumah temen.” Diam-diam saya menyimpan kebingungan: ‘show’?
“Oh. Dimana? Boleh gabung?”
saya setuju dan memberikan alamat Danil. Kami akan bertemu di rumah Danil. 
  **
Saya tentu saja tidak bisa berbantah dengan kenyataan bahwa Luna Maya itu cantik. Saya paham dan menerima bahkan sebagai perempuan bila ia dijadikan salah satu ukuran cantik. Ya wajah, ya bentuk tubuh, ya warna kulit. Tapi saya tidak mau membandingkan diri dengan kecantikan iklan sedemikian, karena itu bodoh. Kalau didesak juga, maka hitungan independent (dan narsis)-nya adalah dua komponen penilaian yang terakhir lebih mengurangi skor saya timbang faktor pertama. Sahabat saya, Akhyar, menduga ukuran saya yang XL adalah “kutukan”. Seorang teman baik yang lain mengatakan: “colour matters, Lun.” Ketika saya menggugat penilaiannya tentang siapa cantik siapa tidak. Terkait warna kulit.

Tapi pagi itu pernyataan lebih cantik mana, dari seorang yang barangkali bermaksud basa-basi, bermakna lebih dari sekedar perbandingan iklan. Ini bicara tentang betapa mudah nilai-nilai yang kita pakai dalam kehidupan dikendalikan oleh iklan dan popularitas. Bukan oleh pengenalan kita secara personal pada sesuatu.
Saya butuh bertahun-tahun untuk tidak merasa terintimidasi oleh “harus berkulit putih”. Disodori produk krim pemutih wajah setiap kali ingin menata rambut di salon, adalah pengalaman panjang merasa tersisih dari “standart kecantikan,” hanya karena saya berkulit gelap.
" kita orang apa?" biasanya begitu percakapan dibuka.
" irian"
"ooooo". Ya, tidak salah, dengan o yang ditarik panjang, sebagai tanda  kemakluman. " bagus sebenarnya kulit ta. Ada di sini, krim pemutih wajah". Saya harus terima bahwa di salon-salon kecantikan, saya adalah orang yang “perlu perawatan”, karena warna kulit yang gelap identik dengan kotor. Meski kulit saya sangat sehat, saya tersisih dari dunia “Barbie” - kaum kulit putih- yang mereka fasilitasi. Terintimidasikah saya? Ya. Saya pernah percaya, saya akan terlihat lebih baik dengan kulit lebih terang. Tergodakah saya untuk punya kulit terang? Ya. Saya pernah mencoba memakai satu merek krim pemutih. Krim yang kemudian membuat wajah bernoktah putih di beberapa tempat. Saya lalu berhenti, karena pemakai krim pemutih tidak disarankan berlama-lama di matahari. Kami jelas tak berjodoh, saya suka jalan kaki dan naik motor. Waktu itu belum ada kewajiban memakai helm.

Saya bertahun-tahun, menjadi satu-satunya Luna dalam lingkungan pergaulan saya yang kecil, hingga datang Luna yang lain, yang jadi bintang iklan, yang bertubuh proporsional, yang popular. Sejak waktu itu, ketika saya berkenalan dengan orang-orang yang baru, lalu menyebutkan nama, orang menambahkan senyum tipis dibibirnya ketika menyebutkan kata “maya”. Asumsi saya: senyum itu adalah bentuk pemahaman kenapa saya menyusur setapak popularitas dengan memakai nama seorang selebriti. Ah. Saya lagi-lagi tergoda untuk merasa terluka. Tergoda untuk merasa terintimidasi, pada popularitas sang selebriti.
Saya tergoda untuk bilang: “saya make nama itu lebih lama dari sang Maya.” Tapi bukankah itu akan menguak rahasia usia saya ? 
Saya tertawa. Saya belakangan mulai belajar tertawa pada ketidaknyamanan itu. Tertawa pada “ketidakadilan” itu. Ketidakadilan dan kesewenangan pihak luar yang membawa saya pada satu wilayah perbandingan dengan sang selebriti.
Ketidakadilanlah itu namanya, jika membandingkan monyet dan burung pada kelas terbang.

Atau kebodohan?

Di setiap generasi, kita melewati tekanan untuk menjadi sama, 'peer pressure'.

Ketika iklan shampoo identik dengan rambut lurus tergerai, yang rambutnya “guriting” - istilah untuk rambut yang secara alamiah keriting dan utasnya saling melilit, -tersisih. Bisnis salon semarak dengan bonding dan rebonding. Tidak hanya perkara rambut, saudara-saudara pembantu rumah tangga saya pun berpenampilan seperti para bintang sinetron: berambut coklat kemerahan, memakai kacamata bening untuk bergaya.


Jangan salah paham, ini bukan soal pembantu rumah tangga atau bukan. Ini bukan soal pantas-tidak pantas, tapi bercermin pada mereka, saya melihat saya.

Tapi melihat lagi rasa tidak nyaman yang ditimbulkan terhadap saya karena warna kulit, karena rambut ikal, dan belakangan karena bernama seperti seorang seleb, saya temukan bahwa tekanan untuk menjadi sama datang dari hasrat untuk menyeragamkan. Ini soal kekuasaan kemudian. Ada mayoritas dan minoritas. Ada diskriminasi. Ada penghambaan dan pemujaan. Semua itu karena identitas.
Kecenderungan menyamakan diri pada icon iklan dan popularitas (visual, terutama) menjadi begitu besar. Hingga tanpa sadar kita diarahkan untuk menyimpan kerangka iklan dan popularitas sebagai standart, acuan, referensi. Kepada iklan dan billboard kita merujuk.

Kekuasaan untuk meracuni keberagaman dengan membangun imaji, icon, kesamarataan, membuat media mudah dijadikan kambing hitam.

Semua hal yang diarusutamakan oleh media membuat kita mendongak. Mendongak melihat tayangan iklan, mendongak mempelajari jalan mendaki kesuksesan, -saya teringat pada wajah-wajah mendongak di station kereta , airport, mencoba menemukan tempat, arah yang tepat dan “seharusnya,” di depan billboard atau televisi penunjuk keberangkatan. Mendongak melihat gambaran kabur cita-cita paling masuk akal jaman ini: menjadi idol. Menjadi icon sesuai dengan standart yang dihembuskan oleh mereka yang memahami betapa gagasan untuk menjadi diri sendiri, melekat pada kesejatian diri sangat berbahaya. Bahaya laten.


Tapi tetap saja, upaya menyeragamkan ini, terlucuti di beberapa tempat, di segelintir jiwa yang menolak ngantri di jalur 'keserupaan'. Tekanan untuk menjadi sama  ini mendorong terakumulasinya semangat pemberontakan dari komunitas yang disisihkan oleh iklan dan popularitas standart. Semangat pemberontakan yang terlihat pada rambut kepang ala rasta, atau - menyalahi alur kecantikan wanita dalam tulisan ini- pada mulut merah dan gigi bernoda pemuda Papua karena pinang. Mulut dan gigi bernoda pinang, adalah identitas yang membedakan mereka dari arus utama ikonisasi. Meski samar, asumsi saya, semangat “pemberontakan” ini juga upaya membentuk idol, menjadi ikon.

Karena identitas yang terseragamkan, berita dengan tajuk 'telah terjadi kelaparan' adalah kisah ketidakhadiran beras, di masyarakat pemakan ubi dan sagu. 

Pertanyaannya: Di generasi icon ini, haruskah kita menjadi icon untuk mengukur keberhasilan?

saya pikir kita perlu berhenti mendongak, sesekali. Sebab jika kita tidak mendongak sama sekali, kita juga akan tersisih, bukan karena perbedaan, tapi karena terbelakang, karena buta, dan tak membaca jaman. Yang perlu kita lakukan adalah menunduk dan mencari ke dalam diri. Mulai berfokus pada apa yang kita punya at hand. Membandingkannya dengan system besar yang ditayangkan di berbagai screen. Dan menemukan tempat, arah serta seharusnya yang “pas” buat kita. Jika tidak, kita tidak pernah merasa penuh, content. Rasa tidak penuh, sebagai manusia, akan mempengaruhi reaksi kita dalam berinteraksi dengan orang lain. Mempengaruhi penilaian kita terhadap orang lain dan diri sendiri. Nilai yang kita pakai dalam hubungan dengan orang lain, menunjukkan score kita. Kita akan menjadi monyet di kelas terbang. Lebih malang lagi jika karena menyangka telah mengikuti kelas terbang, kita menduga kita adalah seekor burung. 

Ketika kemudian duduk di ruang tamu kos-kosan  Danil, saya baru paham, yang diharapkan Ical adalah Luna yang Maya. Semua kekacauan ini disebabkan karena di hape Danil, nomer saya di save sebagai Luna Maya. Mereka sedang bersama ketika saya menelpon Danil beberapa jam sebelum Ical mulai mengirimkan sms.

“ Elu kenal ma Luna Maya?”
“He’eh. Temen gue.”
“ eh minta dong nomernya?”

Begitulah. Awal dari sms Ical yang membingungkan itu. Jadi ketika kemudian Ical muncul di serambi , dan melihat kami sedang duduk di ruang tamu dari jendela kaca, saya paham akan sorot kekecewaan di matanya, dan wajah bingung yang tidak bisa disembunyikannya. Ketika Ical berdiri saja terpaku di pintu, saya berdiri menyambutnya. 
“Maaf, saya Luna. Bukan Luna Maya seperti yang kamu sangka.” 
Danil mengulum senyum di bangkunya. Ical menjatuhkan diri ke sofa. “Tapi elu emang kenal sama Luna Maya?” Tanya Ical pada Danil setelah beberapa saat.“Enggak” jawab Danil Kalem. Ical menyeringai. Ketika tertawa, ketawanya asem. Sesaat saya tergoda untuk merasa terluka.

Ada rahasia yang ingin saya bagi. Rahasianya: Saya Luna. Vidya. Saya tidak perlu dirujuk ke siapa-siapa kecuali pada rahasia itu . Saya bukan Luna Maya. Please.

March 2009

No comments:

Post a Comment