Notes On

Friday, February 13, 2015

Pasar Malam

(1) 
kali ini pun
kau pergi membawa rindumu ke pada sendiri.
dirimu sendiri.      
malam menelanmu
lampu warni-warni,
keriuhan tawa       
yang digulir di atas komedi putar, menyisakan aku.      

kupikir kau pun
belajar bercakap-cakap dengan sepi
di setiap pasar malam
yang kau singgahi    

(2) 
berhadapan dengan waktu, aku menyimpan tanya: ‘kapan’? 
kapan putaran rindu membawa kudamu, mencapaiku.


(3) 
ditemani khayalan, aku pasrah, bukan mengalah. 

(4) 
seperti dalam kumpulan arisan perempuan setengah baya,
sepi mengorek kisah kita. 
hidup dan diriku tergelak. 
ia atas kebodohanku, aku atas diriku.

seperti malam membuat cahaya pendar di pasar malam
pun kunang-kunang pada pohon-pohon di kuburan
kami mencintaimu
dengan cara berbeda. 
hingga kini.  




Agustus 2008-September 2013

Sumpah di Gerbang Kota

Masa lalu telah melahirkan hari ini, juga kita.
Hari ini, angin silir ombak alun
sebab badai dan gelombang dari utara selatan timur dan barat
dipanggil kemari. jadi saksi.

seperti badai yang diam dalam ombak
tak jemu melapisi pantai: 
ke gerbang kota: engkau dipanggil
sebab tanah ini diam-diam pasti punya alasan 
kenapa engkau menjadi yang terpilih, 

ke gerbang kota engkau dipanggil 
ditanganmu diletakkan badik
sebab tak ada pengawal 
berdiri telanjang
tanpa kehormatan
siapa kita tanpa badik o daeng? 

Tapi badik ini bukan untuk menikam 
dari belakang
Tapi badik ini bukan untuk merampas hak
ini badik amanah dalam selubung sumpah.

Ketika kau mengucap sumpah, 
ucapkan dan gentarlah: 

Engkau terpilih dan dipanggil ke gerbang, 
untuk mengawal negeri. 
Mengawal: Biringkanaya, Panakkukang, Boantoala,
Rapocini, Makassar, Mamajang, Tamlanrea, Tamalate,
Mariso, Manggala, Ujung Pandang, Tallo, Ujung Tanah dan Wajo

ke Paotere, pintu gerbang kota:
tempat legenda bermuara, dan doa-doa salama' dipanjatkan
Engkau dipanggil dalam amanah
supaya dapat berkata: 'antammaki mae'
bukan cuma untuk Daeng Kannang atau Daeng Onde di Lae-lae
juga terhadap kami. 
'apa bisa dibantu ki pak? bu?'
buat kami yang telah menambat hidup di kota ini. 
yang dengan gembira menautkan diri dengan tanah ini: 
kami sebut diri kami: makassar. meski ari-ari kami tak ditanam di tanah ini.  

engkau dipanggil ke gerbang kota
untuk memberi kemudahan: buat siapa saja.
entah kami bisa membaca lontara' atau tidak.
entah kami fasih bicara mangkasssara' atau tidak. 

Takdirta untuk kota ini adalah menjadi ibu, wahai perempuan
Takdirta untuk kota ini adalah menjadi ibu, meski engkau lelaki. 
Sebab:  ibu tak akan menghianati darah daging sendiri, 
sebab ibu akan membuat kenyang seisi rumah: 
meski ia harus menanak nasi 
dari padi yang cuma segenggam.

Ketika kau cium bendera: 
genggam amanah seperti layaknya orang menggengam badik
penuh kehormatan: 
sirri na pacce, ucapkan dan gentarlah.
Sebab engkau mengucap 'Bismillah" 
sebabdalam nama Allah engkau bersumpah.
 
kita bisa menjadikan kota ini lebih baik
jelas sekali, masih ada yang perduli
memandang ke depan
negeri ini akan tetap jaya.
saya yakin dan pasti
anak cucu kita tak akan menuai kebobrokan
ada harapan.
integritas moral, 
keadilan, 
jauh lebih penting
dari posisi,
hidup senang, 
banyak uang.
itu bukan yang penting buat kita.*)

begitu bukan? 

Hari ini angin silir, ombak alun, 
sebab badai dan gelombang dari utara selatan timur dan barat
dipanggil kemari. jadi saksi. 
saksimu. 
Sang Waktu telah melahirkan hari ini, 
juga engkau. 
untuk mengawal masa depan kota.

yang tercetak miring adalah bagian-bagian yang disadur  dari 'aku peduli" , 
Espira TV 
(https://www.youtube.com/watch?v=Pmw8UPKHbqs)


LV 2015