Notes On

Tuesday, August 31, 2010

Hujan yang Kau Cintai


//:am
Hujan, dan kau berulang tahun

Beberapa waktu lalu
Hujan yang kau cintai jadi basah di wajahku
Basah seperti lantai hutan yang menebal oleh musim gugur
dan berkepala es
atau bangku-bangku taman
ketika sesaat matahari musim dingin mendekam
melelehkan waktu yang beku
daun maple duduk di sana menemani tai merpati
menemaniku di negeri asing:
waktu mengalir, jadi sungai

dari rumput dan daun beku di lantai hutan telanjang
dingin, kilau matahari dalam kristal es,
angin beku, langit abu-abu musim dingin
cagak telanjang pohonan
kau belajar merayakan kenangan
kenangan tentang rasa dan warna hutan hujan tropis,
hijau, coklat perbukitan di selatan
langit biru bebal matahari dan sampah bergelimpangan
tentang hidup yang tidak sederhana
tanpa banyak pilihan di kampung
bermusim dua: kemarau dan hujan 
berangin dua: barra'* dan timorro'* 

belibis dan itik berenang di kanal dan sungai tua
goyang ekornya menguakku
ingatan meriak : mengelus kanal di belakang jalan veteran, 
berbagai bonto di bulukumba dan jeneponto
dimana hidup ditertawakan dan dirayakan dalam tepian penuh plastik
sampah dan pestisida
di mana keberanian di tenggelamkan dalam cahaya lampu iklan
dan galian-galian pembangunan.
Di mana dalam gubuk-gubuk yang di bangun di atas rawa
mimpi-mimpi kesuksesan diinkubasi oleh tivi 14 inci

di bangku taman ditemani daun maple
berhadapan dengan mall di centro Dusselldorf
gerimis musim dingin jadi hujan di wajahku. 
Merayakan kenangan bersamamu, 
kau jatuh ke dalam gelas plastik 
bersama koin satu Euro, kenangan tentang ceplok 
matahari yang dikerumuni mulut lapar, dan ibu
kau terselip pilu di berlembar-lembar lapis baju 
–petang itu tak ada hujan, tapi angin tikam-
Ketika gelas plastic di usung pengemis 
perempuan imigran dari Ukrania
menyodorkan dua tangan
Di bawah bayang Eiffel, menjemput koin dan kelam.

jauh. jauh dari sini beberapa waktu lalu
Di lantai hutan, kilau matahari kupatahkan dari ujung rumput, 
dan kilaunya memantulkan mimpi kemakmuran
hari ini hujan dan kau berulang tahun,
di belakang jalan veteran, anak-anak berenang 
merayakan alir buangan kota ditemani hujan, 
plastic dan tai. Warnanya meriah.

kau. tentu kau yang tersedu-tersedu di bahuku 
melihat kenangan dan warna musim 
mengalir berkilau.

2009 

Barra' : sebutan untuk musim angin Barat (Makassar) 
Timorro': sebutan untuk musim angin Timur (Makassar)

Rahasia Yang Terselubung



 terjemahan
(The Secret Within   
By: Roger Chauvette  )

Namaku takut 
Jangan keliru 
Aku parasit yang membangun rumah dalam
Rasa bimbang pun amarah dan sakit
Bagian terbaik adalah kau menampungku
Bahkan ketika dirimu menolak untuk percaya bahwa aku ada di sana.
Sediakan bagiku segala yang kuperlu
Dan aku akan mengendalikan hidupmu.

Aku bersekutu dengan rasa tertolak
Yang ahli menjajah hati,
Mengubah cemas menjadi ragu 
Mengolah peristiwa jadi malapetaka ketika hadapi
cercaan yang datang dari dalam, dari diri sendiri
Hingga akhirnya si tuan rumah
adalah korban tak berdaya
Tak lagi si perkasa yang busung dada
Jiwa yang tak tertolong, tak berpengharapan
Berdiam dalam derita yang mengelana
Tak mampu jadi bagian dari seseorang atau pun sebuah tempat 
Tapi yang terburuk: menolak diri, dirinya sendiri.
Beranjak dari ruangan pergi tidak karena alasan lain selain tertekan 
Dan mungkin saja..putus asa.

Apakah dirimu mulai dihinggapi rasa takut?
Sudahkah segala harap dan angan-anganmu teracuni
telah sampaikah kita di titik di mana kau terintimidasi? 
Ayolah, bawa aku pulang bersamamu.
Akan kuperkenalkan kau dengan anak-anakku yang bakal lahir.
Bersama-sama kami akan meluluhlantakkan dirimu.;
Meyakinkanmu bahwa tidak perduli apapun daya upayamu
Semua itu tidak akan, tak akan pernah , merubah keadaan menjadi baik.  
Dan lebih lagi
Tindakan-tindakanmu, akan merengut orang-orang yang kau sangka teman
Orang-orang yang dalam rasa frustasi akan mencampakkanmu
Atau dengan cara yang berbeda memperlakukanmu
Oh betapa aku akan bersukaria dan berkubang
Dalam ketidakmampuanmu memutuskan rantai
Yang telah kubantu kau membuatnya,
dalam keterpasunganmu  -yang aku sebagai tukang pasung-
Telah memasangnya ke kakimu.
Tidak perduli kau kemana 
Tidak perduli apa yang kau karsa
Tak akan pernah kau sanggup menangkapku ketika kau berlari,
Karena aku hidup di dalam pikiranmu
Tempat yang atas persetujuanmu aku tempati.
Aku pun tak akan bergegas meninggalkanmu
Selama kau terus menerimaku;
Menjamuku dengan rasa cemas dan ketidak-sempurnaan;
Membiarkanku mendamparkan keraguan pada niat baik semua orang
Bahkan mengacaubalaukan rencana-rencana terbaikmu sendiri.
Lihatlah, aku telah kehilangan hati untukmu
tak perduli dengan kebutuhanmu
Karena telah kau anugerahkan padaku sebuah kehidupan yang sepenuhnya kukuasai
Mengundangku menjadi tuan atasmu
Jadi mengabdilah dan senangkan diriku
Dan merataplah di wilayah kebergantungan yang kau bangun.

Berhenti melihat ke kakiku!
Jangan perdulikan bahwa lutut-lututku semua berbalut perban dan bengkak.
Kelemahan seperti itu tidak perlu kau risaukan.
Jangan mau beri telinga dan percaya omongan teman-temanmu!
Jangan terbujuk untuk mau ikut berbahagia dengan segala kebaikan di sekitarmu!
Tolak mentah-mentah segala karunia, talenta yang diberikan Tuhan kepadamu
Sangkali dorongan yang datang di malam hari untuk berjalan di atas air, 
melakukan sesuatu untuk membuka pintu mujizat;
Karena itu semua akan membalikkan mantra yang telah kurapalkan
Karena itu akan mengembalikanku ke sini ke kelicikan dan gambaran diriku
Dimana aku akan ditinggalkan teronggok lemah
Perlahan mengabur, lisut, menciut 
Dan suatu ketika bersama berjalannya waktu
Aku akan mulai pudar
Dan perlahan 
Menghilang.

Monday, August 30, 2010

Farewell

I just realize, what I can mark about the farewells, only the first farewell. Our farewell. It hurts, the sadness followed after. The tears, of course.
The events of separating, departing, leaving behind, saying goodbye to someone, or something after that very first one event, become the awkward repetitions.
As it is with ours, in most of situations, I knew it will happen. In most of the case, it's about waiting, nothing else. Somehow, as hard as I can, I'd tried to deny it. And I find it useless. It gives unnecessary pain.

Trying hard to deny the farewell it's like piling up the "today's chores" into its limit, and put the best effort to live a lie. Time contribute nothing but pain to it. What really hurts then is to realize that somehow I know it will happen, but I just too stubborn to acknowledge it. And when I was nurturing that stupidity, I had wasted the best seasons, moments life has. The fact that the best portion had been offered to me all that time, hurt more. 
Stupid, isn't it? It's an intellectual abuse. I did it to me.

When you're into something, or being with someone, it's not about how long the togetherness take to make the farewell unbearable. It's about the expectation of togetherness. My pains and hurts came from wrong expectations, no doubt.

Farewell is inevitable. I do want NOT to see my self keep running down the "it should be me" track, but at the start line of new running track. Track of expanding, learning, multiplying of self.

I decide to move on, and grow.