Notes On

Wednesday, September 12, 2007

Laut Juli

(1)
angin menangis memelukku menyelipkan hangat pada kibar selendang waktu kabut bangkit perlahan dari lautan
di pantai aku berdiri, selendang berkibar koyak moyak oleh rindu. Kau kah itu yang merenangi kabut?
aku menunggu, tak sampai-sampai.

Sendiri dalam angin
yang menggendong kabut lautan
hangat kusimpan dalam tiap belit
selendang yang kembung
lalu pecah
ulang berulang
memanggil namamu penuh rindu.

Nusa Dua, 18 July 2007


(2)
malam
jelang
dan perih begitu tikam
langit mencakar awan
mencari pautan
aku mengisut ke dalam diri
menghambur ke luka lautan
ketika menahan gigil ujung bakau
yang bersembilu
tak kau lihatkah kekasih
aku menghadang di jalan
dengan tubuh bergetar?

Kendari, July 2007


(3)
Dingin
menelusur sela akar dan daunan
melata pasti
meniti jalan ke langit
meninggalkan jejak kesedihan

ujung-ujung bakau bergetar
menahan gigil
menyeret malam dalam angin banal
tanpa bulan
tanpa suara

jauh
jauh
merentang tangan
mementang kaki
laut
terkapar
menunggu pasang.

Kendari Juli 2007

Besok Ramadhan

Maafku,
kalau kau butuhkan,
tersedia: meski tidak seperti nasi harum dari beras baru
di buka puasamu bersama cinta yang tak pernah tua.

ia menunggu: berharap kau lupa.

Tidak Sampai

Angin di luar menusuk ngilu. malam melenggang ke lengang.
dalam rinduku pada pulang sejak rembang petang aku telah merangkak
mengais sisa-sisa
remah kebaikan yang tak kau jatuhkan dengan sengaja
di koridor restoran.
Ada awan tembaga, sebelum malam. seperti binatang aku kelu menanti dalam diam
membuntutimu dengan mata nyalang dari kejauhan
menjadi bayang-bayang
ketika malam menggelar perhelatan kelam.
berkalang ngilu angin kucoba menangkap mimpi
yang sesekali dijatuhkan awan . tentang hamparan luas tanah yang dilintasinya
tempat bernama penerimaan
tempat bernama apa adanya.
ketika dengan rindu kupandang kejauhan
menanti kemungkinan sepotong mimpi dijatuhkan awan
si kerdil dalamku membujuk:
"kenyangkan dirimu dengan remah
dan sisa-sisa"

aku menggigil, bahkan ketika
sesaat angin berhenti membalurkan ngilu
ah.
kuayunkan tangan sepi yang telah jadi belati
kurobek perutku
mencari jiwa kerdil
yang terus bicara:
"kenyangkan dirimu dengan remah
dan sisa-sisa"
sampai serpih..
suara itu masih tak berhenti,
tak ada di perutku,
tak ada di sumsumku.
tak ada .
aku belum sempat menata harap
hari terlanjur pagi
ke pulang pun aku tak sampai.

Tuesday, September 11, 2007

Tali Kita

Malam datang.
Di antara bulan, ombak dan beting karang
ada kita
menggelepar, liar
di bawah selimut yang dipinjamkan waktu.

Laut pasang di Nusa Lembongan
gemuruhnya memalu pintu.
di laut pasang kularung rindu,
kuntum lingga kudupa di bawah selimut
malam kental, menetes lambat ke fajar
kelam dan cahaya
saling hela,
sepi yang ngilu lelapkan sepi bertahun padamu

Pagi datang
surut membagikan pecah ombak di beting karang
begitu jauh dari pantai
dari kaki telanjangku
dari hasrat rinduku.

Teriris mata oleh tanya,
rindu yang kularung di laut malam
kandas
nyangkut di tali bentang*
terpanggang sepanjang siang
Meski sesekali riak kecil datang membasuh
itu tak mengembalikan hidup

Malam masih mengembalikan ombak
dan gemuruh yang memalu pintu,
tapi hanya semalam itu
waktu telah memeluk kita tanpa prasangka.


Pagi demi pagi kembali
Waktu melipat selimutnya sambil bernyanyi:
Gelepar hidup yang menempel di tali kita
telah mati layu di res-res* Jungut Batu.


Nusa Lembongan, November 2005


bentang (Makassar)/res (Bali dan beberapa daerah lain): sebutan untuk tali yang digunakan sebagai penyokong ikatan rumput laut yang dibudidayakan.

INSOMNIA

Dengan mata terpejam
kubergegas menyusur jalan
ke siang.
mencoba menemukanmu.
berharap ada tunggu di situ.


bibir mimpi senja hari
tidak berhasil kudaki
Tertatih aku pulang
menerobos langit kamar,
menelan raung luka cinta
yang sejak pagi kuragi
rindu.


bibir mimpi senja hari
tidak berhasil kudaki
perut terbakar,
tanpa suara kutelan tiap penggal nestapa
ketika dalam pejam,
aku berdiri di peranginan
menatap hari siang
bermalam-malam
berharap kau melambaikan tangan


Nusa Lembongan, November 2005

Sajak Bulan

- kepada My


Telah bermusim-musim kita saling mencari
ziarah di antara bayang pohon dan lembah,
Telah bermusim-musim kita saling memanggil
diam di telanjang padang atau ketinggian
di antara malam dan awan

Telah kubujuk awan, telah kusapa bayang pepohonan
untuk datang lebih cepat lalu nyingkir
Dalam bentang masa dan semesta aku berjalan
Mencari jejakmu yang gagal dihapus angin

Dan entah mulai kapan perlahan jarak kulepaskan
dalam pilu kau ku seru:
“Tidak bisakah hari ini kita berhenti saja:
Tanpa merisaukan arah angin,
Dan di tengah keluasan entah, kita berjalan bersama,
bercengkrama atau diam saja berdampingan.”

Sambil mereguk sepuas cahaya
Kita biarkan jiwa tersulut gairah

Telah bermusim-musim kumencari
Jejakmu yang dulu pernah kukenali

“Tidak bisakah hari ini kita berhenti saja:
Tanpa merisaukan arah angin,
Dan di tengah keluasan entah, kita reguk semabuk cahaya
biarkan jiwa tumbuh, berkobar dalam gairah.”

2007

Menandai Hujan

Di luar hujan
tak berhenti menikamkan
gundah.
Halaman digenangi percakapan
kita yang gelisah

Lalu teringat:
"tak patut kau sengsara
karena sukar memahamiku"*

Duhai jemari dan hujan
genangan di halaman

Rindu menyulam nama di tirai jendela
ketika gemuruh di dalam dada
memukul daun pintu
Dan di bawah bantal kubekap namamu
dalam-dalam

Mungkin sampai
musim hujan usai
Tirai sulaman rindu
pada tak patut akan tak selesai
Genangan di halaman akan surut
dan gundah, tak lagi ada di sini
di hati

Musim hujan baru mulai
puisiku belum lagi usai


2007



* salah satu larik sajak pablo neruda

Friday, September 7, 2007

Mengantarmu, Waktu

Dengan rindu
Kuantar pulangmu, waktu.
Ombak lamat-lamat sampai di pantai
Kuhitung kabut melaut.
Pada karang di teluk
Kuikat selendang
Ketika malam turun dan nasi harus ditanak

Angin berat, waktu
Cadar pengantinku sobek.
Dari jauh pinang diantarkan, pantun dilantunkan
Lalu daun kelapa muda dijuntaikan diujung jalan.
Kau pulang.
Cuma
aku adalah perempuan dengan luka terbuka.
Yang menjamu tunggu di ranjangnya
Ketika kau tak ada.

2007

Wednesday, September 5, 2007

Puisi Tentang Pergi

aku telah mendatangi tempat-tempat ini. 
Mungkin tidak berulang ke sana lagi. tapi dalam ketidaktahuan akan masa depan,
akan kukirim puisi untukmu, tentang hutan penuh sulur rotan dan kayu melintang yang menjadi tua dan tersandar anggun di bahu kelebatan, hutan tanpa macan, bertaring suram. menggetarkan. 
tentang sungai, dalam ceruk perbukitan alang tempat aku dibesarkan. Sebuah kampung bernama Ifar Gunung. Tentang halaman rumput yang terbentang luas di depan rumah, dan sebagai orang Ambon, ibuku, di halaman itu, telah mengelantang pakaian, supaya warna terang sprei, taplak meja, tirai tetap cemerlang. 
tentang bunga berwarna biru cerah, juga kembang serupa bunga plastik beragam warna yang mekar di Kurima, kampung orang Dani di Lembah Balim. Akan kutulis untukmu, senja di Kaimana pada musim meti panjang, dan pasir mencatat napas ikan yang mati terdampar karena terlalu jauh berenang ke darat.  atau tentang bunga karang merah muda, anemon yang tumbuh di bawah rumah di Ayau. 

Dari kain-kain yang dikelantang di halaman depan, aku telah berjalan, menemui cerita-cerita jemuran di kampung-kampung lain, di kapal-kapal yang bersandar di beragam pelabuhan, tentang kemungkinan yang disediakan malam, sarung, melihat angin dan matahari meremas BH dan dan celana dalam perempuan sampai kering di bentang tali geladak. Kemungkinan adalah jalan-jalan yang menerabas hutan kampung-kampung tak tercatat
Itulah yang ditawarkan pergi: kemungkinan. 
Kemungkinan adalah ragu yang ditaklukkan sanro pinisi', ketika menakar tebal air dengan lidahnya. Kemungkinan juga yang dilambaikan gerombolan kunang-kunang di pohon asam yang tumbuh di tengah kuburan, bagi nelayan. 
di lidah, dan kunang-kunang, kemungkinan duduk. Kemungkinan untuk menempuh perjalanan lain.
Kemungkinan untuk pulang.  


Tuesday, September 4, 2007

Lalu: Aku Tahu

(1)
Indahnya mencintai
Indahnya mencintaimu Keiku
Seru
meriah
pesta airmata
kaya
limpah
dalam kungkung sunyi dan hampa.
Indahnya

(2)
K:
Separuh hatiku terpaut ke masa lalu mencintaimu,
separuh lagi ke masa depan merindukanmu.
Pada kini:
ada gemuruh hambur laut saat pasang,
gelepar pantai dikilik angin musim
penggal cerita pada potongan kaca buram
yang dibawa laut dari negeri ketidaktahuan
penggal yang kukumpulkan dengan bertelanjang
juga: jemari kita yang bertaut
Gairahnya!

(3)
di tempat bernama esok
akan kukenang dirimu
sebagai pantai
yang kudatangi untuk menghadang badai
dan kau adalah saksi
tentang simpul sanggulku
yang terburai
dalam rumah pasir

ketika itu,
aku akan lupa
betapa aku bahagia
berbaring di sana melihat laut
dengan mata buta.

(4)
Berdiri di pantai rasakan angin aku lalu tahu
telah lama
aku jadi riak kecil luka lautan
pantai berangin bukan rumahku

2004

Monday, September 3, 2007

Tentang Tamu

(1)
ada yang mengetuk pintu beberapa subuh,
menggenggam dingin
yang dibalurkannya di atas perutku.
sambil menatap mataku
mencari-cari
entah apa
lalu berbalik
"aku tidak buru-buru" katanya,
di perut yang terbakar
aku membaca telapak tangan yang sama
tertanda: kesedihan.


(2)
di tanganku ada cawan:
hari ini di depanku bersandar,
kami bersulang: untuk kemestian
yang masih harus diteruskan,
untuk kerelaan yang mesti diihklaskan,
ketika antara keping keinginan binal*
dan sehimpun talkin* ada niscaya
yang tidak selesai.


keping keinginan binal, sehimpun talkin: Muhary WN (Bentang Waktu)

Thursday, August 30, 2007

Sendiriku Di Pagi Itu

sendiri sepagi itu,
melepas kabut ke ujung teluk
ketika semalam kurayu ikan di bawah langit tanpa bulan
pada cahaya strongking yang jatuh dari ujung karang wajahmu meriakkan rindu
.
ketika semalam aku mendekap dingin
kubayangkan hangat kibar kainmu
menunggu di pantai,
lalu patahan arang
lalu pipimu yang memerah
lalu matamu yang meminta
ketika kakimu kupentang

sendiriku di pagi itu
tak ada siapa
tidak juga tiang rumah kita
tidak juga cabik kainmu
pula kabut tak menunggu

sendiriku pagi itu
kabut ke laut surut
kelu dan dingin saling berpagut



untuk lelaki Pante Rheng
2007

Jalan Kecil Ke Rumah

Jalan kecil itu akan mengantarmu ke rumah. Rumahku.
Jalan kecil dengan akasia tua di salah satu sisinya. Si pohon bernyanyi, di musim kemarau.

Jalan kecil itu akan mengantarmu kepada pergiku:
ke SD dengan seragam, ketika sekolah sebelumnya semata adalah kesenangan bermain di halaman luas berumput tebal dipagari pohonan akasia tua. Ke SMP yang kujingkat-jingkati penuh rasa ingin tahu, dengan ketebalan yang sama pada rasa takut. Ke petualangan. Ke debar dan gelisah asmara pertama yang memabukkan. Kepada goda rimbun pohonan di jalan pintas ke pada dewasa.

Juga ke sini, jalan kecil itu akan mengantarmu. Ke kehidupanku. Ke hidup seorang perempuan. Sebuah kamar, dengan satu jendela, suram. Di antara bau pesing, dan lotion import kutulis berlembar-lembar ingatan. Mungkin karena takut dilupakan. Belum banyak yang bisa kukisahkan. Lembar-lembar ingatan itu, menjadi selimut bagi sendiriku yang kadang ngilu. Selimut perca risau, yang pagi-pagi kulipat rapi. Selimut perca itu mungkin cukup untuk menghangatkan rasa ingin tahumu. Atau ketika di luar hujan turun, dan kau terpaksa menunggu di pintu, kau mungkin bisa mengubur jemu dengan membaca sambil berselimut potongan-potongan risauku. Jalan itu licin ketika basah.

Jalan kecil itu akan mengantarmu, ke ruang mataku: ketika kusaksikan bagaimana ia mengusung duka saat kematian keluar dari pintu depan. Mengusung sisa cahaya, membopong kenangan yang meronta memukul-mukul peti mati. Seperti lampu jalan, ketika fajar datang cahaya hidup berangsur redup. Dalam cahaya temaram, aku meneruskan kehidupan
Jalan kecil berbatu-batu itu, akan mengantarku pada kematian. Jalan kecil ke pada pulang. Meski belum lagi. Tapi jalanku menuju ke petang.

Ketika aku menunggu, berjalanlah bersamaku. Menemaniku bertarung dengan takut pada lupa. Melewati kemarau bersama pohon bernyanyi. Aku ingin menunggu petang sambil menyambung potongan perca, dan kau ada di sekitarku sedia menolong memasukkan benang.

Agustus 2007

Wednesday, August 22, 2007

Coklat Sumbawa

bukit-bukit sunyi di antara langit ungu
dan tanah coklat tua
di antara batu angus bukit-bukit telanjang
angin meliukkan debu
di lingkar jalan-jalan padang berujung seribu
rindu membuka tangan seperti ibu
pelataran Tambora dalam telanjang Dompu
merengkuhku dalam-dalam

sedang
aku menyanyikan lagu hujan
lagu kita
di bawah matahari Sumbawa
di mata air tepi pantai lahar tambora terbaring
seperti kenangan tentangmu
meski diselusupkan dalam beratus diam
terus meluapkan rindu
: air tawar, air penawar

di bukit-bukit sunyi
di antara langit ungu dan tanah coklat tua
sedang musim menyanyikan lagu hujan
dan rindu merengkuhku seperti ibu,
kutukar benih
rahim kering Sumbawa
dengan dirimu

2005 - 2010