Tanggal 1 February ini Ben berumur enam tahun. Beberapa minggu sebelumnya Ben, si bungsu, telah merencanakan apa yang ingin ia miliki pada saat hari ulang tahunnya tiba. Tiga potong baju baru.
"Kenapa harus tiga? Untuk apa?" tanya saya.
"Untuk Bum, Jo, sama Jay", jawabnya. Di hari ulang tahunnya, dia ingin memberi hadiah baju untuk ke tiga saudaranya? Saya lebih siap untuk permintaan sebuah perayaan ulang tahun di KFC misalnya atau di restoran cepat saji mana saja, seperti beberapa teman TK-nya. Permintaan umum. Mungkin karena itu lebih 'gampang'. Paketperayaan ulang tahun, tanpa harus repot. Tiga baju baru? Saya samar-samar mencium ide bahwa menghadiahi ke tiga kakanya baju baru, adalah ide hasil provokasi salah seorang dari yang akan diberi hadiah.
Tapi saya menyetujui rencana itu. Kami tidak pernah membahasnya lagi. Lalu semakin dekat hari ulang tahun itu, Ben mendapat ide baru. Dia ingin makan Pizza.
"boleh makan pizza,ma?"
Sudah lama kami tidak makan bersama di luar rumah. Kebiasaan kami keluar untuk makan bersama atau membeli buku, belakangan sudah tidak terjadi lagi. Tidak lagi sejak, ayah mereka jatuh sakit dua bulan lalu. Beberapa akhir minggu kami lewatkan di rumah sakit, menungguinya dan ketika ayah mereka sudah pulang ke rumah pun, kami hanya bisa melewatkan akhir pekan bersama di rumah karena Mike tidak boleh terlalu lelah.
Saya tahu, pada pizza Ben, ada kenangan tentang kesempatan bermain di Timezone, memilih buku mewarnai yang baru, membeli crayon baru, lalu kemudian makan es krim sambil menunggu saya berbelanja. Atau ikut memilih t-shirt di box-box discount Matahari.
Tentu saja, Ben boleh makan pizza. Kami lalu sepakat pada rencana, Ben akan merayakan ulang tahun bersama teman-teman TK-nya. Dengan menu pizza. Lalu malamnya kami akan keluar sekeluarga, makan pizza sepuas hati, lalu membeli baju. Batin saya tahu, saya sedang menebus rasa bersalah pada kesempatan-kesempatan yang terabaikan untuk tetap memelihara kegembiraan mereka. Hari itu saya berencana akan mengambil cuti setengah hari, menemaninya merayakan ulang tahun bersama teman-teman di "sekolah". Begitu rencana saya demi membuat hari ulang tahun Ben tetap istimewa.
Dua hari menjelang hari "H", saya diberi tugas untuk pergi mewakili pimpinan program saya menghadiri rapat di Jeneponto. Tepat pada hari ulang tahun Ben. Yang konyol, ketika mengiyakan, saya lupa sama sekali tentang ulang tahun Ben. Saya baru teringat bahwa hari Jumat yang sama, adalah hari ulang tahun Ben, ketika hendak memasang reminder buat rapat itu, menjelang pulang kantor. Dengan jumlah orang yang sedikit dalam program kami, tidak mungkin meminta orang lain menggantikan tugas itu. Jadi saya merencanakan untuk mengatur delivery pizza ke tempat Ben ber-TK. Toh kami akan makan malam bersama dengan menu pilihan Ben: pizza.
Pada hari Jumat itu, pagi-pagi saya sudah dijemput mobil kantor, Ben masih baru bangun. Saya terlalu buru-buru untuk bilang selamat ulang tahun lengkap dengan doa dan pelukan. Lewat telpon, saya memonitor mekanisme pengantaran pesanan pizza dalam perjalanan ke Jeneponto. Kelihatannya, saya telah mengatur semuanya dengan baik. Bum, panggilan Ben untuk si sulung, akan memotret peristiwa itu. Bum yang saya minta tidak pergi ke sekolah. Mike, dalam keadaan drop -hasil pemeriksaan darahnya menunjukkan gejala yang kurang baik untuk kemajuan pemulihannya sehari sebelumnya- akan ada di sana sekedar hadir, seperti arahan saya. Aman. Every single thing, will drop in its place, pikir saya.
Menjelang sore saya sudah berada di jalan pulang. Dalam keadaan demam. Tanpa sebab. Saya tidak punya keinginan untuk memikirkan sebab musabab demam saya . Saya hanya ingin pulang. Sampai di rumah, saya hanya pasrah digotong ke tempat tidur. Ben kembali terlupakan. Juga rencana makan malam keluarga, hancur berantakan. Saya bangun menjelang subuh. Dengan tubuh basah kuyup. Saya keluar dari kamar, lalu duduk di ruang makan.
Ruang makan kami kecil. Dua setengah kali tiga meter. Di antara meja makan dan televisi yang terletak berhadapan, merapat ke dinding ada sebuah mesin jahit. Bukan milik saya. Milik ipar saya. Sudah lama mesin ini rusak. Bahkan seingat saya sejak mesin jahit itu dititipkan, tali putarannya sudah putus. Merek Singer di badan mesin berwarna hitam itu sudah terkelupas. Posisi mesin pun sudah tidak seimbang. Mesin itu, warnanya, jenisnya, persis seperti mesin jahit mamie. Juga tua seperti dalam ingatanku tentang mesin jahit di rumah kami di Jayapura. Sesungguhnya, itulah alas an kenapa mesin jahit itu ada di sana. Kenangan pada rumah. Mesin jahit itu, selalu mengingatkanku pada mamie.
Dalam kesibukannya mengajar, menjadi kepala sekolah sebuah SMP di Jayapura, mamie masih menjahitkan baju gereja untuk saya hingga saya duduk di bangku SMP. Baju-baju yang membuat saya meradang. Karena baju teman-teman sekolah minggu saya adalah baju yang dibelikan dari toko, sedang punyaku baju jahitan. Suatu siang, saya akhirnya meledak menangis tersedu-sedu, ketika mami menawarkan menjahitkan saya celana panjang dengan warna neon yang waktu itu sedang trend, ketimbang membelikannya saja. “Masa saya harus pake celana yang dijahit, padahal semua yang lain membelinya dari kakak si Ratna?”
Mestinya itu ucapan yang telah menghentikan mamie menjahit sendiri baju-bajuku. Setelah kejadian itu, mami tidak lagi pernah menawarkan jasa menjahitkan saya baju. Kecuali untuk satu peristiwa, waktu saya akan lulus SMA. Sebagai bagian dari pendidikan Kristen, saya di sidi, sebelum makan perjamuan kudus saya yang pertama. Gaun putih yang saya kenakan hari itu, dijahit oleh mamie. Dalam posisinya yang guru mata pelajaran, kepala sekolah dan seorang pengawas mamie menjahitkan saya baju itu . Hampir tiga minggu ia habiskan. Biasanya setelah jam makan malam , dan sepanjang sore di hari Minggu mamie akan duduk di mesin jahit dan mulai menyambung-nyambung potongan kain. Bayangan mamie dan kacamatanya membungkuk di depan mesin jahit, menjepit keliman. Mesin jahit mamie, bermotor. Mesin itu berbunyi di benak. Jerrrrrrrrrrrrrrrr. Jerrrrrrrrrrrrrrrrrr.
Udara dingin menyerbu dari kisi-kisi jendela dapur. Di atas mesin jahit di ruang makanku itu, ada sekotak pizza ukuran personal. Di sampingnya topi kerucut dari kertas koran dengan jumbai kasar warna warni dari kertas lipat. Ah. Ulang tahun Ben. Bagaimana tadi?
Saya lalu teringat mamie, duduk di depan mesin jahit menjelang ulang tahunku. Membuatkan baju untukku. Menyiapkan tart ulang tahun, membuatkan kartu . tapi saya toh tetap merasa tak cukup, waktu itu. Selama tak ada pesta disko, apalah artinya ulang tahun? “Kenapa saya tidak bisa bikinin pesta? Kenapa malah kebaktian rumah tangga?, siapa yang ulang tahunka?” Saya ingat kegusaran saya, di salah satu kesempatan hari ulang tahun.
Bersendiri di ruang makan itu, saya bertanya: cukupkah yang saya beri untuk Ben? Cukupkah 5 kotak pizza yang diantarkan untuk merayakan ulangtahunnya? Mengendapkah kenangan pada cinta mama dalam slice pizza? Di sendiri itu, saya gemetar. Bukan karena sisa demam. Tapi karena gentar pada kenangan tentang cinta ibu. Ibu saya. Mamie. Peristiwa, waktu, cinta ibu, kegigihannya untuk menunjukkan betapa saya begitu istimewa, datang menyerbu. Seperti spatula mesin jahit. Perih sekali. Ada yang menjahitku. Lama saya duduk di ruang makan. Hari sudah terang tanah, pakaian kasih ibuku, ternyata tidak pernah berhenti ia jahitkan ke tubuhku.
sajak mesin jahit
Ben's Birthday 2008
No comments:
Post a Comment