Notes On

Friday, September 12, 2008

On Jo's Being Radical, The Balance of Power and Character

Dear Jo,
Let my earthly thought speak out, on your "The Balance of Power and Character"

Yes, reading you, I agree we cannot deny that the “stock” of power promised within the calling, is not parallel “utilized” with the character of a person who respond the call.
Why then the power should be promise at all if there is a risk of character conflict within, that might follow the person along the way. Is He not wise enough to offer such a “call”?
Let me try my “spiritual” thoughts on these..

It seems like I might need to go around the corner and see, what is so important for being radical. I've hear it for so many years.
“We need to be radical for Christ,” said a preacher.
“Amen”, answered the congregation.
The “amen” for years, has shut up the pop up question of mine: “for what, on what purpose?”
We never go far enough to explore the reason why we can hear the call. Far enough to see the scene: God himself plant the seed of faith in us.
There, for he has plant a seed in us, we need to be radical. Be with radix.

So why does it so important to be radical, and on what purpose?
I think because "being radical" logically means, being with radix or root. I feel a need to be with root in the world where counterfeit and EZ (ez pay, ez money) are accepted as a must. I think it would be cool stuff to have a “root” on something.

Being radical then would be being different. You will stand up, you will speak up, when everything around you are floating, carried away with the mass, by the mass.
By having a root, then we can carry on with life, as we are destined to live. No dead seed needs root. By having root, and only by having root we can fulfill our destiny.
Moreover, my radix, the root, on which I am standing, is Jesus. Christ. What a thought!

And what an interesting part to add on the idea of “it’s cool” of being within Christ: is the power. But, why is it important to have the power "..to cast out demons and to heal all sickness and illness.." as said in the Book of Matthew.

Actually, we all glance on the same scripture also: the power is within you. But comically, it seems like we are all waiting for a dramatically scene where the lightning tear up the sky before the power then is installed in us.

In my simple thought: the power must be understand as some kind of “tool” that meant to facilitates the nature of being radical, the nature of the calling. Just like a plant reacts to the power of growth within it, and then give out leaves, branch, and buds, so a radical one will facilitate the healing, the deliverance. It should be comes out just like that. It can’t be stopped, as no one can’t stop the growth of a plant, which is plant properly.

So where does the character go wrong?
Friend of mine, I Nuntung make an interesting tag line on his facebook page, .. tiada akar, batangpun pasti tak ada.."
In line with the idea, within my simple thought the character went wrong because when the seed of new creation was planting (even more, which did God himself plant), the seed was “not allow” to get it roots rooted by so called ”success”; which is come to us with so many different faces and names. The pursuing of success of manifesting (it is no longer facilitating) power, slow down and even stop the process of being radical. the process of to be with radix, be with root. Because the nature to produce root has been allocated to the achievement of success parameter.


I might be wrong. I might be the one without power. Nevertheless, I understand a lesson on being a person with character, and even more, being empowered by grace.

Thanks Jona. Again what a thought!!

Sunday, September 7, 2008

Mengupas Keindahan Naturalistas

ini refleksi, saya dan diri sendiri berhadapan, dengan kenaturalan -tulisan Onna Tahapary: duta kerajaan, pendengar, penulis, dan pengajar - sebagai cermin.

NATURAL itu APA ADANYA, LIAR. Juga indah. Ya. Setuju. Meski terus terang agak sulit menemukan "keindahan" di dalam ke-apaadanya-an itu. Selain keindahan itu relatif, dan subyektif.  Pula betapa sulitnya memahami "keliaran" sebagai keindahan. Atau mari jujur-jujuran:  apakah mungkin? 

DIKOTOMI MORALITAS DAN NATURALITAS. Saya sering kali takut mengakuinya. Tapi begitulah. Ada dalam benak: hidup, berakar, bahwa moralitas tidak mungkin berjalan sejajar dengan menjadi apa adanya atau menjadi liar. Dari pengalaman menyelam, dan berbagai pertemuan dengan peristiwa alam, saya perhatikan alam, nature, tidak pernah bersikap agresif. Atau sikap agresif tidak hadir tanpa pemicu. Setiap unsur dari sebuah habitat mempunyai wilayah tumbuhnya sendiri. Zona aman, comfort zone. Sikap -yang terbaca agresif- adalah reaksi purba dari rasa terancam, rasa takut, yang melahirkan upaya-upaya mempertahankan diri, di dalam wilayah aman itu. Jadi saya kira, keliaran sama sekali tidak identik dengan sikap-sikap agresif, dan mengancam.
Tapi tidak ada tempat lain untuk menemukan ke-apaadaan, kesejatian selain berada di habitat asal. Berada di tempat, di situasi yang menelanjangi diri saya sedemikian rupa. Memaparkan saya sepenuh-penuhnya kepada: rasa takut, naluri-naluri purba untuk mempertahankan diri.

karena kehidupan tidak hitam-putih, karena kehidupan begitu kompleks, keliaran yang ditawarkan Onna, - keberagaman, bukan keseragaman- adalah pilihan yang sulit untuk diakui bahwa kita memerlukannya. Sama sulitnya memahami bahwa karena kita manusia, sekali lagi, JUSTRU karena kita manusia, “terserah” adalah tantangan terbesar bagi kenaturalan. Sebab meski kenaturalan memiliki hukum-hukumnya sendiri, pada manusia, hukum-hukum itu tidak sekedar “boleh-tidak boleh”, “haram-halal”, tapi juga “terserah.”

Ini membuat ke-apa-adanya-an, dan keliaran dalam ide naturalitas Onna, harus dimulai dan dipahami sebagai , naturalitas seorang yang lahir baru. Tanpa dasar kelahiran baru, being natural, menjadi apa adanya, ada ide yang mengerikan untuk para pencari surga yang mengerangkeng dirinya dalam ritual-ritual atau upacara-upacara keagamaan yang diselenggarakan atas dasar takut berdosa. 
Meski saya berpikir demikian, saya tetap menyarankan supaya ide ini perlu dipertimbangkan untuk diperlakukan sebagai “sesat dan menyimpang”: bahwa ada orang yang melakukan ritual-ritual keagamaan karena takut berdosa.  Bukan memanfaatkan ritual itu sebagai fasilitas komunikasi. Tempat membangun hubungan. Tempat berkonsolidasi. Sebab, saya tidak lagi yakin ritual-ritual itu dihadirkan semata-mata untuk keperluan transendental antara kita dan Sang Aku adalah Aku. Tapi pada saat yang sama, merasa iba pada mereka yang ragu-ragu untuk segera menceburkan diri ke dalam ide gila ini. Menceburkan diri ke dalam ketersediaan sang Pencipta, yang notabene pemilik blue print hakekat kehadiran seseorang dalam dunia. Kegembiraan yang liar.
Saya teringat  pada suatu sore, sekelompok anak-anak di tepi tanggul di belakang sebuah hotel di Baubau.. mereka saling menjatuhkan temannya dari kontruksi kayu , atau menjatuhkan dirinya sendiri, berteriak riuh ketika melayang jatuh ke dalam laut dan tertawa tergelak di dalam air, berlomba naik ke darat, untuk saling mendorong lagi. Kegembiraan itu: apa adanya dan liar -menghitung resikonya-. Tapi berdosakah mereka?

Mungkin naïf, analogi ini, tapi dimerdekaan dalam Kristus, adalah landasan kita untuk tergelak, menikmati kegembiraan didorong dan mendorong orang menikmati “mandi-mandi”.. ini. Takut basah, tidak seharusnya menghalangi seseorang untuk membiarkan “keliaran” lepas, dan mencoba berenang.

Ya.Saya juga setuju bahwa menjadi apa adanya, punya resiko besar. Resiko itu adalah menjadi bagian dari berbeda. Tidak semua orang bersedia menjadi berbeda atau menghargai perbedaan. Mudah dipahami betapa sulit menerima ide bahwa berbeda adalah ide otentik Sang Aku adalah Aku. Terbiasa dengan “copy-paste”, dan hidup dimasa “copyright” diterjemahkan sebagai “my right to copy” , beberapa orang – saya, maksudnya- sering lupa membayar “franchise fee” kepada yang punya ide. In short, ada sejumlah besar orang yang tidak punya rasa segan/respect/ hormat pada originalitas. Buat saya itu tindakan mungkar: ketika kita berlomba-lomba menjadi sama. Sama disorientasinya, sama dangkalnya. Kira-kira itu barangkali alasan Yesus bilang: "lebar jalan menuju kebinasaan"

Kayaknya, menjadi apa adanya -dalam Kristus- adalah tujuan penciptaan. Kegagalan menerima dan menghargai ide naturalitas-Nya, menggiring orang dengan posisi strategis tertentu, pada tindakan kesewenang-wenangan. Ke-apa-adanya-an, keliaran , tidak sering merupakan sesuatu yang dijadikan "target pembangunan". Dalam konteks komunitas di mana Onna berkubang  "target pembangunan" adalah berbagai bentuk upaya, sekali lagi, upaya , atau kerja keras seseorang untuk memaksakan result nilai-nilai yang diyakininya ke dalam kehidupan orang lain. Upaya-upaya yang kalau dianalogi akan seperti bersikeras menyeragamkan usia panen tomat, kepada durian. what an effort kan? Konyol, but some people melihat hal itu sebagai bukti pencapaian, keberhasilan, sukses.

Contoh lain dari kesewenang-wenangan dalam menerima kenaturalan, adalah begitu sering kita -setidaknya saya- tergoda untuk menginterpretasi "kecukupan", sebagai "kemiskinan". Seperti menimbang pohon ketapang di tepi laut, dengan pohon jati yang telanjang tanpa daun di musim kemarau berdasarkan rimbun daun dan kehijauan. Siapa atau apa yang mendorong terbentuknya difinisi "miskin" pada si jati malang itu?

Maksud saya:  siapa kita, untuk merasa lebih baik dari orang lain, dan ukuran pencapaian kita, kita pasungkan ke pada orang lain?

Asumsi saya, karena keterjebakan pada ukuran-ukuran materialistis, serta kegagalan melihat beda "cukup dan "serba kekurangan" dalam gambar biru sang Pengendara Musim. Saya harus terus melihat dua hal yang natural itu atas gambar biru. Bukan pada fotocopian kabur yang kita copy dengan mesin fotocopy merek “kata orang”.

Di gambar biru itu, kelihatannya “pas” , “seimbang” adalah salah satu keterangan yang mendampingi ide “diciptakan menurut gambar dan rupa Allah” , sebagai salah satu kata kunci dari kenaturalan, atau menjadi natural..

Para pemuja surga, cenderung bermain di wilayah aman. Para peziarah kebenaran akan berjalan sejauh-jauhnya, tanpa takut kehilangan jalan pulang, seperti Henokh.