Lebaran datang lagi, mengantar tulisan lama ini sekali lagi.
Kali ini setengah panci sop saudara, empat ketupat yang dikirim tetangga kami. Bahkan setelah bertahun-tahun hidup bertetangga, saya masih terus belajar hikmah hidup bertetangga dan berterimakasih.
Kehadiran sebuah kata dalam kosa kata suatu etnis, merupakan akumulasi gagasan yang kompleks. Sebelum gagasan kompleks tersebut menemukan 'cangkang'-nya, dalam bentuk kata, benih kata itu diekspresikan dalam berbagai tindakan mulai dari gesture individual sampai kepada berbagai ritual yang bersifat komunal.
Perjalanan menjadi 'kata' itu, kadang selesai, kadang tidak. Kalau selesai, maka jadilah sebuah kata, yang dipahami dan diterima oleh kelompok pemakai bahasa tersebut sebagai cangkang sebuah kompleks ide. Cangkang bagi rangkaian perilaku, gesture. Mungkin pula perjalanan menjadi kata itu tidak selesai. Asumsi saya, perjalanan yang tidak selesai itu dapat terjadi karena dua alasan : Pertama, karena eskpresi yang ada sudah memadai. Artinya, belum terasa mendesak, untuk mewakilkan rangkaian perilaku, gesture, ke dalam sebuah kata. Dua, karena terjadi pertemuan dan pengadopsian dengan bahasa lain, yang telah lebih dulu menyelesaikan perjalanan 'menjadi kata' itu. Ketika oleh para pendukung bahasa tertentu, 'disepakati' bahwa serapan itu secara paralel mewakili gagasan original yang tumbuh di tengah masyarakat dalam wujud non-verbal, maka jadilah ia bagian dari kosa kata pendukung bahasa tertentu.
Barangkali ini yang terjadi dengan kata terimakasih pada beberapa etnis. Etnis Bugis dan Makassar misalnya, adalah etnis yang tidak punya kata terimakasih. Tapi bukan berarti Etnis Bugis dan Makassar tidak tahu ber-terimakasih, tentu saja. Memang tidak muncul dalam percakapan keseharian, tetapi belakangan dalam wacana, diterima bahwa kata "kuru sumange", adalah kata yang bisa digunakan untuk mengekspresikan rasa terimakasih.
Tapi wacana itu pada sisi lain, menegaskan bahwa ketika sebuah komunitas belum menemukan sebuah kata untuk mewakili gesture atau rangkaian tindakan tertentu untuk mengekpresikan rasa terimakasih, maka barangkali itu dapat merupakan pentunjuk bahwa expresi yang ada, sudah memadai. Ekspresi terimakasih Orang Bugis dan Makassar saya pahami dan pelajari lewat keluarga Pak Haji, tetangga kami yang nota bene orang Orang Bugis dari Pinrang. Saya mempelajarinya melalui mekanisme menerima dan mengembalikan piring.
Awalnya, saya mendapat kiriman ikan asin dari kampung, dan merasa ini terlalu banyak hanya untuk kami, jadi saya bagikan. Itu saja. Jadi sebuah kata terimakasih, cukuplah. Tapi seiring waktu, saya belajar bahwa hantaran kue atau apapun yang saya kirimkan, selalu mendapatkan balasan wadah hantaran berisi. Wadah hantaran saya, ketika kembali selalu berisi. Isinya macam-macam: dari kue kering, sampai Jeruk Bali Pinrang ketika musimnya datang.
Saya belajar, bahwa mengembalikan piring hantaran dengan mengisinya kembali, adalah ekspresi gagasan, perilaku, sebuah tindakan original yang kualitasnya tidak bisa dipalsukan, untuk sebuah kata bernama terimakasih.
Saya belajar dari peristiwa menerima dan mengantar piring itu. Saya belajar dimensi berterimakasih, tanpa terimakasih- yang kata. Belajar berterimakasih dengan kualitas yang prima. Bagaimana tidak? Dalam upaya "mengembalikan piring" itu saya dengan serta merta akan membongkar persediaan yang ada. Saya disodorkan pada situasi dimana keputusan dan tindakan harus on the spot. Situasi on the spot, spontan itu, seringkali membuat saya gagap, terus terang. Karena saya sering tidak siap. Situasi on the spot itu, seringkali membuat saya "telanjang". Telanjang, apa adanya, berhadapan dengan kekuatiran saya akan kehidupan, atas dasar "tidak cukup." Telanjang karena ternyata, dalam rumah kami, tidak ada porsi untuk "dibagikan" dengan siapapun. Semua ada porsinya, semua ada amplopnya.
Saya belajar bahwa : kemahiran kita menggunakan ungkapan verbal, bisa saja menjebak kita dalam basa-basi. Kita dengan mudah pula berbasa-basi mengucapkannya. Sehingga -Thanks God- ada kata terimakasih. Terimakasih yang jadi opsi dalam template message di hape saya. Terimakasih pun bisa jadi adalah sebuah kata di layar hape, atau sebuah teks pesan singkat, yang saya kirimkan. Terkadang semata sebuah respon otomatis, yang lahir dari keinginan terlihat berbudaya, tidak selalu ekspresi tulus kemanusiaan saya.
Ketika "kata" terimakasih hadir dalam vocabulary sebuah bahasa, kata itu telah memangkas seluruh rangkaian tindakan yang terkait dengan keinginan dan gagasan untuk "memberi setidaknya setimpal/seimbang/sebanding dengan pemberian yang telah saya terima." Karena sebuah kata telah "ditemukan", lambat-laun semakin menepilah tindakan yang sebelumnya digunakan sebagai cara, untuk mengekspresikan rasa penghargaan dan keinginan untuk memberi setidaknya setimpal/seimbang/sebanding itu.
Saya belajar bahwa orang-orang yang terbiasa dengan ekpresi "terimakasih" secara verbal, akan terlihat canggung atau (malah) menimbulkan kecanggungan bila berada di komunitas gesture dan action. Mediocre, jika tidak palsu sama sekali.
Syukurnya, porsi rangkaian tindakan (tanpa berusaha menjadi sok agamawi) sebagai ekspresi dari action and/or gesture of gratitrude ini tidak bisa tergantikan dengan kata "terimakasih" tok, ketika kita bersujud syukur kepada yang Maha Memberi, misalnya. Kita membutuhkan keluasan ekspresi untuk mengungkapkannya. Kita merasa "cangkang" bernama terimakasih tidak memadai. Kita membutuhkan sujud dan tersungkur. Menangkup tangan dan tafakur. Kita membutuhkannya. Untuk menyampaikan doa yang tak terkatakan. Iya, kan?
Ketika menerima dan mengembalikan wadah hantaran itu, memberi kesempatan kepada saya untuk kembali menjadi hanya "orang." Seorang tetangga, seorang teman, seorang yang mau "bilang" terimakasih. Tapi Lebaran kali ini, saya hanya sanggup mengembalikan panci kosong, yang telah saya cuci bersih. Juga saya terlalu malu hati mengantarkan sendiri panci kosong itu dan bilang: terimakasih. Terimakasih, saya titipkan pada anak saya yang memulangkan panci kosong wadah sop saudara, Pak Haji.
Ternyata memiliki sebuah kata, tidak selalu menjadikan kita lebih unggul. Saya pikir, kualitas tindakan kita bicara lebih keras dari kata yang kita khotbahkan. Meski begitu, "terimakasih" yang terucap, adalah keniscayaan.
Kali ini setengah panci sop saudara, empat ketupat yang dikirim tetangga kami. Bahkan setelah bertahun-tahun hidup bertetangga, saya masih terus belajar hikmah hidup bertetangga dan berterimakasih.
Kehadiran sebuah kata dalam kosa kata suatu etnis, merupakan akumulasi gagasan yang kompleks. Sebelum gagasan kompleks tersebut menemukan 'cangkang'-nya, dalam bentuk kata, benih kata itu diekspresikan dalam berbagai tindakan mulai dari gesture individual sampai kepada berbagai ritual yang bersifat komunal.
Perjalanan menjadi 'kata' itu, kadang selesai, kadang tidak. Kalau selesai, maka jadilah sebuah kata, yang dipahami dan diterima oleh kelompok pemakai bahasa tersebut sebagai cangkang sebuah kompleks ide. Cangkang bagi rangkaian perilaku, gesture. Mungkin pula perjalanan menjadi kata itu tidak selesai. Asumsi saya, perjalanan yang tidak selesai itu dapat terjadi karena dua alasan : Pertama, karena eskpresi yang ada sudah memadai. Artinya, belum terasa mendesak, untuk mewakilkan rangkaian perilaku, gesture, ke dalam sebuah kata. Dua, karena terjadi pertemuan dan pengadopsian dengan bahasa lain, yang telah lebih dulu menyelesaikan perjalanan 'menjadi kata' itu. Ketika oleh para pendukung bahasa tertentu, 'disepakati' bahwa serapan itu secara paralel mewakili gagasan original yang tumbuh di tengah masyarakat dalam wujud non-verbal, maka jadilah ia bagian dari kosa kata pendukung bahasa tertentu.
Barangkali ini yang terjadi dengan kata terimakasih pada beberapa etnis. Etnis Bugis dan Makassar misalnya, adalah etnis yang tidak punya kata terimakasih. Tapi bukan berarti Etnis Bugis dan Makassar tidak tahu ber-terimakasih, tentu saja. Memang tidak muncul dalam percakapan keseharian, tetapi belakangan dalam wacana, diterima bahwa kata "kuru sumange", adalah kata yang bisa digunakan untuk mengekspresikan rasa terimakasih.
Tapi wacana itu pada sisi lain, menegaskan bahwa ketika sebuah komunitas belum menemukan sebuah kata untuk mewakili gesture atau rangkaian tindakan tertentu untuk mengekpresikan rasa terimakasih, maka barangkali itu dapat merupakan pentunjuk bahwa expresi yang ada, sudah memadai. Ekspresi terimakasih Orang Bugis dan Makassar saya pahami dan pelajari lewat keluarga Pak Haji, tetangga kami yang nota bene orang Orang Bugis dari Pinrang. Saya mempelajarinya melalui mekanisme menerima dan mengembalikan piring.
Awalnya, saya mendapat kiriman ikan asin dari kampung, dan merasa ini terlalu banyak hanya untuk kami, jadi saya bagikan. Itu saja. Jadi sebuah kata terimakasih, cukuplah. Tapi seiring waktu, saya belajar bahwa hantaran kue atau apapun yang saya kirimkan, selalu mendapatkan balasan wadah hantaran berisi. Wadah hantaran saya, ketika kembali selalu berisi. Isinya macam-macam: dari kue kering, sampai Jeruk Bali Pinrang ketika musimnya datang.
Saya belajar, bahwa mengembalikan piring hantaran dengan mengisinya kembali, adalah ekspresi gagasan, perilaku, sebuah tindakan original yang kualitasnya tidak bisa dipalsukan, untuk sebuah kata bernama terimakasih.
Saya belajar dari peristiwa menerima dan mengantar piring itu. Saya belajar dimensi berterimakasih, tanpa terimakasih- yang kata. Belajar berterimakasih dengan kualitas yang prima. Bagaimana tidak? Dalam upaya "mengembalikan piring" itu saya dengan serta merta akan membongkar persediaan yang ada. Saya disodorkan pada situasi dimana keputusan dan tindakan harus on the spot. Situasi on the spot, spontan itu, seringkali membuat saya gagap, terus terang. Karena saya sering tidak siap. Situasi on the spot itu, seringkali membuat saya "telanjang". Telanjang, apa adanya, berhadapan dengan kekuatiran saya akan kehidupan, atas dasar "tidak cukup." Telanjang karena ternyata, dalam rumah kami, tidak ada porsi untuk "dibagikan" dengan siapapun. Semua ada porsinya, semua ada amplopnya.
Saya belajar bahwa : kemahiran kita menggunakan ungkapan verbal, bisa saja menjebak kita dalam basa-basi. Kita dengan mudah pula berbasa-basi mengucapkannya. Sehingga -Thanks God- ada kata terimakasih. Terimakasih yang jadi opsi dalam template message di hape saya. Terimakasih pun bisa jadi adalah sebuah kata di layar hape, atau sebuah teks pesan singkat, yang saya kirimkan. Terkadang semata sebuah respon otomatis, yang lahir dari keinginan terlihat berbudaya, tidak selalu ekspresi tulus kemanusiaan saya.
Ketika "kata" terimakasih hadir dalam vocabulary sebuah bahasa, kata itu telah memangkas seluruh rangkaian tindakan yang terkait dengan keinginan dan gagasan untuk "memberi setidaknya setimpal/seimbang/sebanding dengan pemberian yang telah saya terima." Karena sebuah kata telah "ditemukan", lambat-laun semakin menepilah tindakan yang sebelumnya digunakan sebagai cara, untuk mengekspresikan rasa penghargaan dan keinginan untuk memberi setidaknya setimpal/seimbang/sebanding itu.
Saya belajar bahwa orang-orang yang terbiasa dengan ekpresi "terimakasih" secara verbal, akan terlihat canggung atau (malah) menimbulkan kecanggungan bila berada di komunitas gesture dan action. Mediocre, jika tidak palsu sama sekali.
Syukurnya, porsi rangkaian tindakan (tanpa berusaha menjadi sok agamawi) sebagai ekspresi dari action and/or gesture of gratitrude ini tidak bisa tergantikan dengan kata "terimakasih" tok, ketika kita bersujud syukur kepada yang Maha Memberi, misalnya. Kita membutuhkan keluasan ekspresi untuk mengungkapkannya. Kita merasa "cangkang" bernama terimakasih tidak memadai. Kita membutuhkan sujud dan tersungkur. Menangkup tangan dan tafakur. Kita membutuhkannya. Untuk menyampaikan doa yang tak terkatakan. Iya, kan?
Ketika menerima dan mengembalikan wadah hantaran itu, memberi kesempatan kepada saya untuk kembali menjadi hanya "orang." Seorang tetangga, seorang teman, seorang yang mau "bilang" terimakasih. Tapi Lebaran kali ini, saya hanya sanggup mengembalikan panci kosong, yang telah saya cuci bersih. Juga saya terlalu malu hati mengantarkan sendiri panci kosong itu dan bilang: terimakasih. Terimakasih, saya titipkan pada anak saya yang memulangkan panci kosong wadah sop saudara, Pak Haji.
Ternyata memiliki sebuah kata, tidak selalu menjadikan kita lebih unggul. Saya pikir, kualitas tindakan kita bicara lebih keras dari kata yang kita khotbahkan. Meski begitu, "terimakasih" yang terucap, adalah keniscayaan.
saya kira, deskripsi dan penjelasan yang sangat antropologis ini adalah salah satu penjelasan terbaik yang pernah saya temukan untuk menjawab pertanyaan: adakah kata 'terima kasih' dalam bahasa bugis-makassar. saya juga pernah mengkonfirmasi hal ini ke dua pihak yang saya anggap kompeten : alm. Prof. Mattulada dan Daeng Basri. Satunya ilmuan, budayawan dan satunya orang Makassar asli dan seniman. Tetapi melalui penjelasan inilah saya benar-benar puas. Atau mungkin karena ini ditulis "orang luar" yang melongok ke dalam dan mencoba "menjadi bagian" seperti Geertz di Jawa tahun 50-an? Saya tidak tahu. Tetapi, saya kira ini peneguhan nama penulisnya menjadi Daeng Sugi'. Kungai skali, cess.
ReplyDelete