Notes On

Thursday, September 2, 2010

Long March, Papua

1:08 pm.
Lokasi : Kotaraja, Jayapura

Siang 7 Juli, di kantor, saya diberi informasi: “besok (8 Juli) akan ada demo besar.” Siapa saja akan menangkap nada peringatan untuk waspada dalam sebuah informasi seperti itu. Tapi saya berasal dari kota di mana aksi demo, orasi dan bergerombol adalah makanan sehari-hari media, sehingga terkesan hanya ada demo di Makassar, kota dari mana saya datang. Jadi saya bertanya, menyoalkan kenapa. Kenapa harus waspada?
“Macet.”

Melihat kening saya yang agak terangkat , Luis, teman saya melanjutkan: “Macet total. Dari sini sampai Jayapura.”

Demo yang dibicarakan adalah aksi long march, masyarakat Papua pro Referendum, yang juga disebut Pro “M(erdeka)” -yang disebutkan dengan berbisik. Rencananya, akan start dari gedung Majelis Rakyat Papua, di Kotaraja, menuju gedung DPR di Jayapura.

Rumah kakak, tempat saya menginap ada di dok V, Jayapura dan Kantor tempat saya sedang bekerja terletak di Kotaraja, sekitar satu kilo meter jaraknya dari gedung MRP. Sehingga saya punya resiko terjebak dalam kemacetan jika datang ke kantor. Jarak rumah –kantor saya sekitar 40an km, itu membuat long march ini akan menempuh jarak sekitar 30km. Dalam jarak 30km itu, tidak ada jalur alternatif.

Sepanjang pagi saya bertahan untuk bekerja dari rumah, tapi karena terlanjur membuat rencana memotret kota Jayapura malam ini, saya harus ke kantor untuk mengambil tripod yang saya tinggalkan di sana. Sudah lewat jam 11, ketika meninggalkan rumah. Matahari menyengat. Sambil terus mempertimbangkan apakah perjalanan ini pantas ditempuh dengan resiko terjebak sejauh 30 km dalam arus longmarch, saya sampai juga di kantor dalam waktu kurang dari setengah jam dengan sepeda motor. Tidak ada halangan. Jalan cenderung lengang, atau karena saya biasanya pergi lebih pagi dan arus kendaraan lebih padat pada pagi hari? Entahlah.

Setelah mencopot helm, saya mendengar sayup-sayup orasi. Long march belum mulai, rupanya.
“Kenapa kita diam saja ketika lapar?” Suara seorang perempuan. “Sekarang ada masyarakat Papua yang hanya makan 4 hari dalam satu minggu.” Sesaat saya berhenti dan mencoba mendengar dari lapangan parkir.

Ruang kantor berbentuk U dengan 6 meja, dua meja di tiap sisi lengang. Biasanya ke lima meja terisi, tapi hari ini hanya ada office boy dan seorang rekan kerja. Yang lain?
“Tidak masuk karena ada demo.” Kata Hardi teman kerja.
Dari lantai dua kantor, orasi itu terdengar lebih jelas. Orator kali ini seorang pria, dan kelihatannya berlatar belakang gereja. Mempersoalkan dana OTSUS yang dinilainya telah gagal dimanfaatkan, ia juga menyinggung soal janji 80-20 antara masyarakat Papua dan Pusat, yang tidak terwujud.
Dalam orasi itu dia menekankan, bahwa pergerakan ini adalah pergerakan tanpa kekerasan. Papua hanya menuntut haknya sebagai manusia yang layak diperlakukan sederajat. Karena itu, perjalanan ini bukan hanya akan dikawal oleh pihak luar (polisi) tapi juga dari dalam.
“Jadi mama, bapa, kitorang jalan ini jangan sampai ada gerakan tambahan. Kalau ada yang mau bikin gerakan tambahan, tegur. Biar dia kakaka, ato adeka, tegur.” (jadi mama, bapa –sapaan, jangan sampai gerakan ini ditunggangi. Kalau ada yang kelihatannya mau mengacau, tegur. Meskipun dia lebih tua, atau lebih muda, tegur, halangi)
Orasi itu ditutup dengan doa. Di doa itu sang orator meminta penyertaan Tuhan, untuk memberkati gerakan yang dibuat bersama di berbagai tempat pada hari ini, Di Indonesia, Amerika, Eropa dan Australia. Di dalam doa itu, saya mendengar kalimat-kalimat ini: “ Tuhan, kami akan berjalan sambil berdansa, sertai perjalanan kami..”
Matahari di atas ubun-ubun, ketika rombongan itu tua muda besar kecil, laki perempuan, mulai berdansa, menuju Jayapura.

1.43 pm
Perempuan itu duduk di bawah rindang pohon, keriput di sudut matanya berdenyut. Wajahnya basah oleh keringat. Wajar saja, matahari sudah di ubun-ubun.
“Mama juga mau jalan ke Jayapura?”
Perempuan itu tersenyum, mengangguk. Membaca keraguan di mataku, dia menjelaskan: “kalau cape, sa duduk dulu. Sa su jalan dari Waena, jadi sekarang saya duduk dulu.”
Saya berdiri ragu di sampingnya. Ingin, tapi sungkan menanyakan kenapa. Kenapa harus ada di jalan dalam umur seperti itu.
Kami saling memandang, lalu katanya: “ sap u anak-anak su jalan ke muka. Jadi sa harus ikut dorang.” (anak-anak saya sudah jalan lebih dulu, jadi saya harus ikut mereka).
Ya, saya paham. Saya juga ibu. Saya pun pasti akan menemani perjuangan anak-anak saya.
Seorang wanita yang lebih muda datang dengan sepeda motor. Kemenakannya. Sang kemenakan menyarankan supaya perempuan paruh baya itu naik ojek saja. Dia setuju. Menyetop sepeda motor yang lewat. Lalu pergi menyusul rombongan yang menjauh.

Saya masih termangu melihat kepergian perempuan paruh baya tadi. Ketika menengok ke lain arah, mata kami bersirobok. Topi hitamnya berlogo burung cendrawasih. Dari sisi-sisi topi, keriting kecil rambutnya mengintip. Putih. Polo-shirtnya berwarna biru muda. Bersih tapi terlihat tua. Matanya tajam, tapi tidak mengancam.
Saya tersenyum. Dia membalasnya.
“Bapa mau jalan ke Jayapura?” Dia mengangguk. Lalu sambil menatap langsung mataku, lelaki tua itu mengucapkan beberapa baris kalimat dalam bahasa yang tidak saya kenal. Tidak ada bunyi “oi” yang mendominasi bahasa keret–keret (klan)di Sentani, atau kata-kata dengan bunyi “g” yang menandai bahasa dari daerah Pegunungan Tengah. Tapi saya tahu, lelaki itu sedang mendoakan saya. Karena saya mendengar kata “Yesus” di sebut beberapa kali dalam kalimat-kalimat itu.
Setelah doa itu, dia berkata “Saya Pendeta, Jemaat Sion di Waena.”
Apakah dia melihat pikiran di kepala saya, seperti orang membaca running text? ketika berdiri di pinggir jalan, di tengah massa, bertanya siapa mereka?
Apakah bapa tahu, adalah “tabu” menyatakan identitas diri ketika sedang demo? Karena bapak pasti akan diseret masalah, jika dikenali. Setidaknya saya pikir begitu, makanya para pendemo suka menutup separuh wajah mereka?
Ah. Airmata mengambang di pelupuk mata saya. Dia tersenyum, menepuk bahu saya sebelum pergi.
Terimakasih untuk doamu, apa pun itu. Terimakasih untuk matahatimu, yang menemukan saya di tepi jalan itu dan menjamin, saya aman ada di sini. Saya juga mencintai tanah ini, Bapa.
Pesannya: “Jangan sedih, kerjakan apa yang harus kau kerjakan saja.”

Umur mereka rasanya sebaya dengan Jay, anak saya yang ke tiga. Wajah lelah bersimbah keringat. Ketika sedang berbicara dengan perempuan pertama itu, mereka sedang beristirahat di bawah rindang pohon, menyender ke pagar. Yang satu berkaos putih polos. Yang satu berkaos bola garis-garis merah hitam. Sandal jepit mereka berwarna merah dan hijau, berabu. Salah satu dari antara mereka, rupanya baru saja membasuh muka dengan air dari botol palstik yang ada di tanggannya. Mukanya basah.
“Mau ke Jayapura juga?”
Bocah lelaki berkaos polos dengan ragu memandang temannya, lalu menggeleng.
“kami mau pulang saja, takut nanti sampe malam”
“rumah di mana ka? Tanya saya.
“Perumnas III"
"Waena?” mereka berdua mengangguk.
“jadi ini mau jalan kaki sampai waena?” di kepala saya terbayang 5 km tanpa pohonan dari kotaraja ke Waena.
Lagi-lagi mereka saling bertukar pandang dengan ragu-ragu.
“Tidak. Sampai di Abe saja, dari sana baru naik taksi.” Si kaos merah hitam memberi keterangan.
Taksi adalah sebutan untuk angkutan umum di Jayapura.
Saya teringat anak-anak saya. Anak-anak yang tumbuh di kota “besar”. Menikmati semua kemudahan. Saya teringat saya, yang seringkali mengeluhkan terik matahari. Yang selalu merasa berkorban menempuh 3 kilometer dengan jalan kaki. Apakah kemampuan membeli kenyamanan ini telah membuat kami lemah? telah membuat saya menutup mata, dan sebuah “ya, namanya juga usaha” semata kepada ketidakadilan?
“Iyo, kam dua pulang suda” kata saya.

Tiba-tiba saya ingin menjadi anak kecil yang tidak punya keharusan memilih. Pun kalau memilih, saya memilih karena waktu harus diperlakukan dengan bijak. Seperti ke dua bocah itu, yang takut pada malam.

Saya menduga-duga apakah di jalan pulang saya masih akan menemukan rombongan tadi menempuh jalan panjang sambil berdansa? Yang pasti, ada ibu yang akan menemani anak-anaknya. ada pendeta yang menabur doanya, dan anak-anak kecil yang memutuskan untuk pulang telah mematri diri mereka di hidup saya. Meski tak bernama.

Kotaraja, 8 Juli 2010

No comments:

Post a Comment