Di sebuah harian pagi, ada foto Pak Beye, dalam kunjungannya kerjanya sedang duduk dalam ruang kelas bersama siswa di tempat rehabilitasi. Yang menawan saya bukan keberadaan sang presiden di ruang kelas sederhana yang kecil- kecil ruangan bisa kita duga dari angle foto itu- tapi keseragaman pakaian siswa tempat itu.. mereka memakai baju pramuka!!! (ini kan bukan kejadian hari jumat atau sabtu? batinku.)
Kunjungan ini diadakan pada hari dimana siswa di sekolah formal pemerintah dan swasta, niscaya tidak berseragam pramuka. Jadi yang terpikir adalah... lokasi "korban" kunjungan tersebut hanya memiliki seragam coklat-coklat sebagai kostum terbaik mereka, untuk menerima kunjungan seorang presiden. Tentu pilihan seragam itu tidak dibuat berdasarkan nilai simbolik kepramukaan. Saya tidak tahu apa opsi yang ada, ketika pilihan kostum penyambutan ini dibuat, mungkin karena mereka tak punya seragam putih biru, atau putih abu-abu, mungkin karena tak punya seragam batik, atau olahraga.. tapi inilah pilihan terbaik untuk tampil layak di depan seorang Presiden. Ini pilihan yang lebih baik dari pada ditolak oleh protokol kepresidenan karena berpakaian "tidak layak" seperti yang dialami grup band Ungu.
Kemungkinan ditolak itu selalu ada, anda akan ditolak, atau paling tidak merasa ditolak jika tidak memenuhi kriteria "layak" di ruang publik.
Intimidasi tampil layak ini, datang dengan berbagai dorongan. Saya tidak tahu apa yang mendorong anda untuk tampil layak, atau apa difinisi anda tentang 'tampil layak'. Tapi saya ingin berbagi beberapa perjumpaan dengan "tampil layak".
Pekerjaan saya di Pulau Barrang Lompo, memperkenalkan pada saya riuh rendah di sekitar pernikahan saudara, kemenakan dan seterusnya. Keriuhan dalam tampil berseragam, untuk menandai keterikataan, keterkaitan keluarga, misalnya. Keluarga harus tampil layak dalam seragam. bahan dan warna yang sama, model boleh beda. tapi tampil seragam menjadi trend. teman saya di Pulau itu, mengakui, tak ada pernikahan yang tidak dia hadiri tanpa menjahit baju baru. Jika frekwensi pesta pernikahan keluarga dekat) di pulau adalah seminggu satu (paling sedikit) selama musim pesta, dengan total biaya pembuatan satu kebaya rp.200.000, berapa ongkos tampil layak yang harus diperhitungkan di "wilayah" pulau yang luasnya 5km2?
"Kenapa tidak pakai kebaya yang lama saja?", tanya saya.
"Deh! dihapal mi itu kebayaku... nanti na bilang orang.. sanging itu terus bajuna" (duh... dihapal orang bisa-bisa kebaya saya, nanti dikatain itu melulu bajunya..)
Yang lain lagi: Saya berencana akan menghadiri resepsi pernikahan adik saya di Surabaya, jika saja tidak terjadi beberapa hal yang tak terduga. Diam-diam saya menyimpan rasa bingung akan memakai kostum apa.. bukan semata karena pernikahan adalah salah satu "event" yang paling jarang saya datangi, tapi karena pengantinnya selebriti.. adik saya itu penyanyi, dan istrinya pemain sinetron. Saya tidak bisa menolak rasa terintimidasi untuk tampil layak.. dalam wilayah keselebritisan mereka.
Tampil layak perlu biaya. Tidak seorangpun akan menyangkalinya. Tapi kita toh sama-sama tahu, cost yang kita alokasikan untuk tampil layak itu kemudian tercenderung dipasung pada branding. Atau saya ngawur? Tapi kok ya rasanya ada orang-orang yang saya kenal merasa lebih perlu brandingnya, terkenalnya, ketahuan mahalnya, timbang fungsinya? anak saya punya kecenderungan ada di antara "kok ya ada orang-orang yang saya kenal" itu.
Soal harus branded baru "layak", saya tidak punya sikap. Saya juga suka barang bagus, cenderung fanatik pada merek tertentu. tapi tidak terjebak pada brand. soal pakaian, saya ini penggila cakar*. Saya menyukai sesuatu, dan ngotot memilikinya karena menyukai fungsi, serta melihat kemungkinan kenyamanan yang akan saya dapatkan. Tapi bukan untuk mengukuhkan penampilan. Kata temen saya: "gengsi itu mahal.." tapi untuk saya, nyaman adalah dasar pertimbangan banyak keputusan sederhana dalam hidup saya.
Soal penampilan, secara pribadi, saya ini punya track record yang tergolong mapan perkara 'btb' alias berani tampil beda.
BTB saya sejarah panjangnya diawali oleh rasa terintimidasi dengan lingkungan di luar saya, mainstream katakanlah. saya berkulit gelap, tinggi tubuh saya sejak dulu melampaui rata-rata teman kuliah di angkatan dan kampus (!) .. waktu itu masih langsing, tentu saja. Tekanan bahwa saya berbeda, begitu intimidatif waktu itu, sehingga untuk melawannya saya harus berpikir terbalik. Misalnya: " tidak usahlah berkompetisi di wilayah para 'barbie'.. dalam tekanan untuk menjadi sama dan seragam"
'The barbies' adalah klasifikasi saya untuk kaum saya yang secara fisik 'beyond the other world ' dengan saya. kaum kecil mungil, berkulit terang pula punya dana untuk kemewahan perawatan kulit, rambut, serta pedi- mani. Sesuatu yang asing buat saya, dulu. Dana yang saya miliki, saya habiskan untuk buku, dan sneackers, dulu. Dalam tekanan untuk menjadi sama seperti itu saya mulai membangun sendiri imaji penampilan saya di luar mainstream. Nyentrik , kata yang tepat untuk menggambarkan hasil upaya saya melawan mainstream. Saya pikir saya tumbuh dari nyentrik, ke arah menemukan "tampil nyaman" gaya saya. Dan saya menyukainya, sampai sekarang. Saya berubah, penampilan saya berubah, tapi berjejak. tetap berani tampil beda.
Masih soal penampilan, dan perubahan yang mungkin akan dibawanya ke dalam kehidupan kita.. baru-baru ini, saya bertemu dengan kawan lama. Cara berpakaiannya berubah. sahabat saya itu terlihat lebih casual, seperti juga sikapnya yang lebih cair. Asumsi saya, perubahan penampilannya terpicu oleh pergaulan yang baru dan longgar, dan itu berimbas pada sikapnya yang tidak lagi sekaku dulu. Tapi tidak saya perhatikan apakah dia memakai koas kaki sekarang atau tidak.
Saya tentu saja tidak akan menjahit baju baru, untuk pernikahan yang batal saya hadiri. dan kalau pun akhirnya saya pergi juga.. saya akan memakai "seragam" malam saya: gaun hitam panjang..berlengan panjang atau satu tali. karena saya tidak punya jadwal ketat menghadiri pesta pernikahan, setahun sekali paling banyak. jadi tidak ada kemungkinan ada yang sampai hapal saya pake baju apa. saya masih punya kemerdekaan untuk memilih tidak seragam.
Tampil layak, memang adalah persoalan menghadirkan diri, status, prestasi, pencapaian dalam ruang-ruang publik dan pakaian - penampilan luar, adalah salah satu sarana untuk mengukuhkannya. anda bagaimana? pernah terintimidasi soal pakaian, sampai2 memilih berpakaian "salah"? memakai seragam pramuka di hari selasa, misalnya atas nama "kunjungan bapak presiden" seperti di gambar yang saya sebutkan sebelumnya?
Tapi kelayakan tidak diukur dari brand, saya percaya. Pencapaian tidak diukur dari panjang gelar, misalnya. Malang sekali saya rasa, jika ketika kita memiliki seluruh kemampuan untuk memerdekaan diri menjadi diri sendiri, kemampuan itu justru dimaksimalisasi dalam wilayah-wilayah keterjebakan pada "harus menjadi sama". sama mahal, sama bermerek.. tapi kehilangan jejak, kehilangan keberanian untuk tampil beda. betapa malangnya kita, jika percaya pada ilusi-ilusi keseragaman, dan kehilangan rasa nyaman menjadi diri sendiri.
U r U, kan?
No comments:
Post a Comment