Notes On

Wednesday, May 21, 2008

Menjauh Darimu


Sabtu:
Ada rasa gamang.
Kesedihan menggantung seperti kabut di antara pohonan pinus malino. Dan oleh sedikit angin saja, rasa pilu itu telah ada di depanku, menyungkupku. Seperti bossara pada sajian . Seluruh. Sedikit angin dan aku terhidang, tak berdaya, ada dalam deret pilihan. Di sana, di jamuan pernikahan yang di bawah tendanya aku tergeletak terpanggang.

Seperti pagi-pagi musim kering, kabut akan tinggal lebih lama di antara pohonan pinus di halaman penginapan. Di jalan. Kau tahu, seperti aku berandapun pekat oleh kabut. Di depan jendela, menggumamkan namamu, kuusir-usir ragu. Sebagaimana tanganmu biasa melingkari pinggangku, dari belakang pilu yang menggigilkan memelukku, rapat, ketat, menawarkan kehangatan: “menyerah saja, kau menunggu yang tak akan datang. Bersamaku saja.”
Aku berdesir, dengan jemari goda kusisir. “aku ingin menunggu kabut pergi, karena matahari. Dingin ranjang ini, kekasihku yang akan menghardikmu pergi.”

Dengan tak perduli, pilu duduk di meja makanku tertawa. “Jangan pura-pura tak kau lihat”, katanya. “Ada bayang-bayang berkelebat di antara pohonan, dalam kabut. Mengintip dan mengendap. Lalu siapa akan bersaksi, bukan waktu yang akan menikammu di halaman depan? Kau tak akan dibiarkannya mati, seketika. Percayalah. Tapi karena itu, kau tahu: seperti pada luka damak beripuh, nadimu hanya bisa mengalirkan racunnya ke jantung. Tidak memuntahkannya."

Dan matahari masih tumpul hingga kini. Kabut terus menggantung. Jantungku terus memompakan namamu.

Waktu, kau kah itu?

Ingin sekali memburu bayang berkelebat, yang mengintipkan derita di sudut-sudut mata. Mencengkramnya di bahu dan berkata: “Katakan siapa dirimu. Jangan mengendap-endap dalam kabut sungai. Atau bersembunyi di rimbun pohonan. Ke rumah ibuku, naiklah bertelanjang dada. Di rumahku, tinggallah.”

Minggu:

1/
Seperti haluan perahu kau merobekku.
Meninggalkan busa diburitan
Tanpa sempat merasa sendirian , aku hilang.

2/
Selaut lukaku
Menjelma kemaluan pelacur.
Tak ada rahasia , segala bisa menyelam di sana.

Juga putus asa.

2008

Saturday, May 17, 2008

Tentang Tangan Tunggu

suatu hari
kita duduk di depan jendela
berdampingan,
melepaskan angan-angan
seperti angin melepaskan bau laut
"anyir", kataku. "harum", katamu.


matamu menjelma laut di hari yang surut
melihat apa hati dr jendela imaji?
tangan yang melambai?
Temanmu? Teman lama? Yang mana?
khianat atau rasa bosan?
sejauh apa dia dari kita?
3 hari perjalanan, musim panas yang akan datang, atau akhir tahun
atau berdiri di jendela
kau sedang menanti saat ia menjemputmu
semata menunggu ketukan di pintu?
di jendela,
jendela yang sama:
menjalin jemari menakar waktu
aku mencium lagi bau angin laut. Baunya pilu.

kau akan meninggalkanku akhirnya.
tapi siapa yang bisa mengelakkan perpisahan
mari berpesta!
lalu lupa.
memang hanya perahu karam yang tinggal dekat dermaga
dilapukkan waktu di pantai landai
pula dengan segala yang kau punya
sungguh patut jika laut jua
yang memeluk kibar layarmu
yang merengkuh gelisah kembaramu.
di depan kaca kesedihan berdandan
menunggu waktu itu tiba.

tapi jangan pergi diam-diam
kau akan kuantar sampai ke pekarangan
membenahi letak topi yang kau kenakan
sebelum lepas menyelamlah di mataku
kau tahu
nanti aku akan baik-baik saja
pula luka niscaya kukebas lepas bagai debu
di depan pintu masa lalu

tangan tunggu, kukuh merengkuhku.
ketika bibir gemetar menyebut namamu
dan wajah kubenam dalam sepi yang ngilu


2008