Di lingkungan tempat tinggal saya jalan Toddopuli, Makassar, di rumah ujung jalan halamannya tumbuh pohon matoa. Rumah itu sudah lama kosong. Pemiliknya pindah ke kota lain waktu kami pindah ke lingkungan itu. Daunnya yang khas,mirip-mirip daun Kakao langsung memperkenalkan diri rasanya waktu pertama kali saya melihat kehadirannya (setelah beberapa minggu tinggal di sana): "hai!, saya matoa."
saya lalu memperkenalkannya kepada anak-anak saya: "ini pohon matoa."
Daging buahnya seperti rambutan. Juga sebesar rambutan. Tapi Matoa gundul. Kulitnya lebih tebal, warnanya hijau- coklat kemerahan. Lebih mirip klengkeng soal penampilan botaknya. Ada yang kering, seperti rambutan Rapia, ngelotok. Jenis seperti itu biasanya disebut Matoa kelapa. Ada yang lebih berair. Lalu dengan antusias saya dan anak-anak menunggu bersama musim berbuahnya. Matoa hanya berbuah setahun sekali.
"Menunggu musim buah pohon tetangga, bukan contoh yang baik." kata suamiku. "tapi ini matoa!", saya dan anak-anak sepakat. ngotot.
Waktu musim berbuah akhirnya datang, kami sering datang ke ujung jalan. mengawasinya dari luar pagar. Begitu sering kami ‘memantau’ sampai-sampai tukang-tukang becak yang mangkal di ujung jalan itu, akhirnya tertular pengetahuan tentang Matoa. Bahwa buah pohon itu bisa dimakan. Bahwa pohon itu datang dari Irian, -ketika percakapan kami terjadi, Papua masih di sebut Irian Jaya.
Kumpulan tukang becak itu juga yang mengkonfirmasi dugaan saya, bahwa pohon Matoa itu, dengan sengaja dibawa dan ditanam di sana. “Ooooo, iyo tawwa.. ini bapak lama memang tugas di Irian.”
Musim Matoa tiba, tapi buah yang menjadi tua dan berserakan di dalam halaman tidak pernah bisa kami cicipi. Rumah itu tidak pernah berpenghuni. Saya tidak pernah punya kesempatan, menyambangi tetangga di ujung jalan demi buah matoa. Buah Matoa yang gugur membusuk begitu saja. Sedang ranting yang menjulur keluar halaman, sudah dipanen oleh tukang-tukang becak itu.
Enam musim matoa berlalu, saya tidak pernah kebagian buah jatuh pohon matoa di ujung jalan. Karena setelah musim pertama tiba, kumpulan tukang becak itu tentu lebih mampu memanen tangkai buah masak. “Memang enak ki bu!” beberapa dari mereka berbaik memberitahu, ketika saya kebetulan lewat, dan kepergok memandangi pohon itu.
Pohon matoa ditebang, ketika rumah itu beralih pemilik. Kelihatannya pohon matoa tidak mengakomodir rancang bangun rumah sang pemilik baru. Tempat pohon itu tumbuh dulu, sekarang jadi pelataran beton. Rumah itu tidak menyimpan pohon apapun sekarang. Dulu selain Matoa ada dua pohon mangga. Mungkin pertimbangan estetis disain tumah itu, tidak memperhitungkan halaman dengan beberapa pohon di dalamnya. Jadi pohon harus ditebang.
Pohon Matoa di ujung jalan itu, muncul dalam ingatan saya ketika menemukan postingan foto kawan saya, dengan keterangan: “ULANG TAHUN KOTA JAYAPURA yg ke 50, Gouverneur Plattel plan een MATOA BOOM op het plain voor de HERDEN KINGS MUUR.. (terjemahanannya kira-kira..Gubernur Plattel menanam pohon Matoa di pelataran depan Tembok Herden Kings (Taman Imbi). lalu teman saya menambahkan: " Sayangnya pohon matoa dan tugu Hollandia 50 Jar yg ada di Taman IMBI ini ditebang dan di bongkar kemudian di ganti dengan Patung Mas Yos soedarso.......”
Postingan foto kawan saya itu, menunjukkan pilihan sebuah pemerintahan, yang mewakili kebijakan, kekuasaan, dan kemampuan berbuat lain untuk sebuah kota. Ketika dihadapkan pada sebuah tawaran, pada suatu masa, pemerintah memilih untuk menyingkirkan sebuah pohon matoa sebagai icon kota, menggantikannya dengan sebuah tugu. Itu diikuti oleh keharusan menggantikan kerindangan dengan lantai semen. Rangkaian tindakan ini terlihat sebagai sesuatu yang terelakan.
Beton, gedung tinggi, ruko begitu identik dengan kemajuan, pembangunan. Tapi benarkah begitu? Benarkah semakin luas wilayah pembetonan, pembersihan lahan dari pohonan, semakin dekat kita dengan julukan ‘maju’? 'berkembang'? 'developed'?
Betapa berbeda pilihan itu dengan kebijakan pembagunan berwawasan hijau yang saya lihat di Singapore sebagai pelancong. Tidak jauh, kota itu. Ah, maaf. Negara. Tidak jauh negara itu. Hanya 2 jam terbang dari Makassar, 3 jam kalau singgah di Jakarta.
Dalam perjalanan ke hotel, terkagum-kagum dengan kehijauan kota, di salah satu setopan lampu merah, di sisi kiri jalan sedang berlangsung pekerjaan konstruksi. Dari keterangan sopir taxi kami yang sejak decak kagum pertama saya selepas airport, dengan bangga mempromosikan kebersihan kotanya, saya tahu gedung yang sedang dibangun itu untuk menggantikan gedung tua sebelumnya. gedung yang sudah tidak aman lagi untuk dihuni. Dari jendela taksi saya meihat sebuah pohon besar yang rimbun menyembul dari balik pembatas seng lokasi pembangunan. “ sayang ya, pohon sebesar itu harus ditebang.” Saya berkomentar. Bergumam lebih tepat. Jadi pasti sopir itu tidak menduga bahwa keterangan pelengkap yang ditambahkannya kemudian justru adalah hal yang paling terekam dalam benak. “They have to do the construction without cutting off that tree.” Hah?
Where am I?
Saya tahu di Belanda ada program perawatan pohon, yang pake dokter segala. Gedung ABN AMRO Denhag, dibangun di sekitar sebatang pohon. Cerita teman seorang teman saya. Tapi mentalitas orang jajahan di dalam saya, memakluminya sebagai: “itu di Belanda.” Di tempat dari mana saya datang: lahan sawah diubah jadi realestate. Meninggalkan kegamangan pada para bekas petani. Pohon-pohon ditebang dengan alasan perluasan jalan, atas nama pembangunan.
Membangun dan menyesuaikan diri dengan pohon? Becanda lu!
Tapi itu bukan guyonan. Tidak boleh menebang pohon. Pembangunan dikerjakan dengan menyesuaikan diri dengan pohon. Harus. Ada undang-undangnya.
Lalu dari jendela hotel, saya melihat gedung-gedung berseberangan memiliki teras-teras hijau, green canopy. Bukan sekedar tanaman dalam pot. Tapi benar-benar menanam pohon. Pohon tua dari halaman gedung tua itu wajib terpelihara. Jika tidak punya pohon, maka anda diwajibkan menciptakan teduhan hijau, tidak perduli berapa lantai gedung yang sedang anda bangun. Lagi-lagi: ada undang-undangnya.
Saya sungguh sulit menelan kenyataan, bahwa saya masih di Asia. Hanya 3 jam jauhnya dari kota tempat saya tinggal. Ini bukan Eropa. Begitu dekat. Begitu jauh pilihan kebijakan pemerintahan kota kami. Betapa nelangsa.
Ketika menemukan postingan foto kawan SMP saya tentang perayaan 50 tahun kota Jayapura, ingatan tentang membangun di sekitar pohon di Singapore itu kembali lagi.
Jadi mereka menanam pohon. Pohon Matoa. Bukan Beringin, bukan pohon import lain yang sedang jadi mode sehingga perlu ditelaah lagi apakah pilihan pohon itu sudah tepat. Yang ditanam di hari ulang tahun ke 50 itu, sesuatu yang khas. Rasanya pilihan itu begitu brilian. Untuk memperingati hari ulang tahun kota, baiklah kita menanam sesuatu yang berasal dari tanah sendiri, sesuatu yang khas. menanam icon. Karena pohon tumbuh, hidup. Karena kalau tumbuh bisa besar. Begitu modern. Apa yang kurang, ada nilai keberlanjutan. Begitu Avatar*. Tapi seperti keterangan foto teman saya, pohon itu ditebang kemudian.
Dan apa yang dilakukan untuk merayakan ulang tahun ke 100 kota? Salah satu acaranya: lomba gerak jalan. Akibatnya: seorang sahabat yang terjebak macet,karena lomba gerak jalan itu lewat telpon mengeluhkan jalan-jalan yang kecil di Jayapura, dengan volume kendaraan yang terasa melebihi kapasitas. Perlu jalan baru? Hm, memang kelihatan tak terelakan untuk memperluas wilayah beton dan aspal untuk mengakomodir kemajuan.
Saya sendiri tidak pernah melihat ada pohon Matoa di Taman Imbi. Rekaman gambar tentang taman Imbi di masa kecil saya: patung Yos Sudarso, menghadap ke gedung DPR, bangku-bangku beton dan tersebar di beberapa bagian taman, pohon-pohon palem di sisi dekat gedung Sarinah, sebuah kolam air mancur yang sudah lama tak lagi mancur airnya, lampu-lampu taman yang bulat di sisi setapak beton. Ada pelataran panggung beton rendah di bagian depan patung. Tempat banyak kegiatan lomba kesenian diadakan. Ruang publik yang kumuh, kesan saya ketika kemudian sempat pulang ke Jayapura. Artinya, pohon itu telah ditebang sebelum saya cukup besar untuk mengingat. Saya bahkan tak ngeh soal Herden Kings Muur (Tembok Herden Kings) yang kelihatannya justru adalah elemen penting taman itu. Ya ada tembok di kaki patung itu.
Membayangkan Taman Imbi dengan Pohon Matoa, dengan patung seorang pahlawan bersama-sama, saya bertanya-tanya. Kenapa pembangunan - sebusuk apapun bau yang dipikulnya dari sejarah- di negeri ini, identik dengan menyingkirkan? Kenapa tidak bisa berbagi? Membagi Taman Imbi antara Pohon Matoa dengan patung Yos Sudarso, misalnya. Patung itu tidak harus berada di pusat taman bukan? BIsa saja didirikan di salah satu sudut taman bukan? Apakah karena patung lebih mewakili kemajuan? Apakah karena patung itu lebih mewakili keindonesiaan yang satu? Bahwa ada patung seorang ‘mas’ di ‘alun-alun’ kota Jayapura –seperti yang disebut teman saya itu?
Ketika saat-saat ini Jayapura sedang merayakan ulang tahun ke 100nya, patung itu terus dipertahankan, renovasi Taman Imbi yang direncanakan akan dikerjakan di sekitar patung itu. Apakah pertimbangan ini, dibuat karena merubuhkan patung ongkosnya lebih mahal dari menebang pohon? Apakah karena merubuhkan patung yang notabene seorang pahlawan, akan menimbulkan ketersinggungan yang berdampak politis? Meskipun patung itu –setelah berpuluh-puluh tahun hadir, gagal menjadi icon kota? Tidak seperti patung Marta Tiahahu bagi kota Ambon, misalnya?
Tapi setidaknya, patung itu lebih ramah lingkungan, dari pada pohon-pohon nyiur di Waisai. Waisai, ibukota Kabupaten Raja Ampat menghiasi jalan utamanya dengan nyiur oranye, kuning dan hijau. Pohon nyiur plastik hiasan dalam mall di Jakarta. Pohon plastik berwarna jreng, di tengah-tengah jalan mulus yang membelah kota. Kota yang dibuka dengan menebas hutan lindung.
Buah-buah matoa yang berserakan di halaman tetangga itu terbayang lagi, ketika melihat lagi foto postingan kawan saya. Pun teringat pada loyang-loyang kaleng penuh matoa yang diletakkan di pinggir jalan sepanjang jalan Sentani-Jayapura, ketika musimnya tiba. Musim Matoa. Loyang yang ditinggalkan tanpa dijaga. Ambillah isi loyang, tinggalkan saja uangnya, di dalam loyang. Himpit dengan batu, supaya tidak diterbangkan angin.
Ketika sempat ke Jayapura February lalu, saya merasa terasing di tempat yang saya rindukan sebagai rumah. Meski usia dan semua yang saya miliki sekarang dimulai dari sini. Di tanah ini, tempat ari-ari saya ditanam. Saya tidak yakin kepercayaan mutualisme dalam transaksi loyang kaleng seperti itu masih ada. Tidak sekarang, ketika untuk memotret dengan maksud menyimpan kenangan masa kecil saya harus membayar.
Transaksi loyang kaleng itu, mewakili kepercayaan. Kepercayaan bahwa masing-masing kita punya harga diri. Harga diri kita ditentukan dari apakah kita meninggalkan uang yang pantas, untuk menggantikan satu loyang matoa, setandan pisang, setumbuk petatas, kasbi atau keladi yang ditinggalkan tanpa penjaga. Transaksi Loyang, sebutlah begitu, tidak bicara nominal yang kita pahami dalam transaksi pasar modern. Ia bicara kepantasan. Ia bicara penerimaan. Transaksi loyang adalah salah satu kelas di mana saya belajar bahwa kehidupan adalah barter panjang dari memberi dan menerima. Kualitasnya makin rendah, ketika kita memperkarakan besarnya nominal mata uang.
Ada belahan diri saya yang tak berhenti merasa bagian dari Papua. Anak-anak dan suami saya belum pernah makan buah matoa. Anak-anak saya mungkin tak akan punya kesempatan menyusuri jalan Sentani-Jayapura. Tapi saya berharap mereka akan tumbuh seperti pohon Matoa, dikenali sebagai diri mereka sendiri. Menjadi diri mereka sendiri. Memiliki kepercayaan pada hal-hal yang baik dalam diri orang lain. Pun punya kapasitas untuk terlibat dalam ‘transaksi loyang’ di dalam hidup mereka nanti.
Kepercayaan. Mungkin itu yang hilang. Pupus. Tapi kelihatannya justru itu yang dibutuhkan untuk membangun Papua. Ya. Kepercayaan itu hilang. Bukan tanpa alasan. Tapi perlu punya cara pandang lain, bukannya menjadi tergugu didikte keharusan menjadi sama dalam mengukur keberhasilan.
Tumbuh seperti pohon mungkin itu cara terbaik melihat masa depan Papua. Tapi bukan juga pohon asing, yang kemudian merangsek kehidupan yang sudah begitu tua, yang sudah lebih dulu ada. Seperti kebijakan mengenai sebuah patung yang berakibat tersingkirnya sebatang pohon Matoa di taman Imbi.
Tapi tumbuh seperti pohon dari tanah sendiri: Matoa. Pohon yang dimiliki bersama, kepadanya setiap orang tanpa halangan mengidentifikasikan diri. Melihat kepentingan bersama lebih jauh dari sekedar menuntut hak atas dana otonomi khusus. Atau hak atas tanah ulayat. Melihat Pohon Matoa yang berbuah. Pohon yang bisa dikenali, manusia khas, manusia Papua. Punya jati diri. Karena percaya atau tidak, Matoa budidaya yang dikembangkan di Jawa, jauh berbeda dengan Matoa dari Papua. Daging buahnya tipis, dan hambar. Kalau sudah begitu, bukan Matoa namanya, tentu saja.
Selamat ulang tahun, Jayapura! Tanam iconmu, lagi. Kali ini di seluruh bagian kota, sebelum semuanya jadi aspal dan beton. Sebelum yang bisa ditumbuh di tepi jalanan kota hanya pohon-pohon plastik berwarna jreng, yang diimpor dari Jakarta.
Selalu, saya menyebutmu rumah bagi jiwa. Saya selalu rindu ingin mencecap lagi manis Matoa. Matoa Papua, bukan yang jenis budidaya dari Jawa.
Merayakanmu, Jayapura.