Notes On

Thursday, August 30, 2007

Jalan Kecil Ke Rumah

Jalan kecil itu akan mengantarmu ke rumah. Rumahku.
Jalan kecil dengan akasia tua di salah satu sisinya. Si pohon bernyanyi, di musim kemarau.

Jalan kecil itu akan mengantarmu kepada pergiku:
ke SD dengan seragam, ketika sekolah sebelumnya semata adalah kesenangan bermain di halaman luas berumput tebal dipagari pohonan akasia tua. Ke SMP yang kujingkat-jingkati penuh rasa ingin tahu, dengan ketebalan yang sama pada rasa takut. Ke petualangan. Ke debar dan gelisah asmara pertama yang memabukkan. Kepada goda rimbun pohonan di jalan pintas ke pada dewasa.

Juga ke sini, jalan kecil itu akan mengantarmu. Ke kehidupanku. Ke hidup seorang perempuan. Sebuah kamar, dengan satu jendela, suram. Di antara bau pesing, dan lotion import kutulis berlembar-lembar ingatan. Mungkin karena takut dilupakan. Belum banyak yang bisa kukisahkan. Lembar-lembar ingatan itu, menjadi selimut bagi sendiriku yang kadang ngilu. Selimut perca risau, yang pagi-pagi kulipat rapi. Selimut perca itu mungkin cukup untuk menghangatkan rasa ingin tahumu. Atau ketika di luar hujan turun, dan kau terpaksa menunggu di pintu, kau mungkin bisa mengubur jemu dengan membaca sambil berselimut potongan-potongan risauku. Jalan itu licin ketika basah.

Jalan kecil itu akan mengantarmu, ke ruang mataku: ketika kusaksikan bagaimana ia mengusung duka saat kematian keluar dari pintu depan. Mengusung sisa cahaya, membopong kenangan yang meronta memukul-mukul peti mati. Seperti lampu jalan, ketika fajar datang cahaya hidup berangsur redup. Dalam cahaya temaram, aku meneruskan kehidupan
Jalan kecil berbatu-batu itu, akan mengantarku pada kematian. Jalan kecil ke pada pulang. Meski belum lagi. Tapi jalanku menuju ke petang.

Ketika aku menunggu, berjalanlah bersamaku. Menemaniku bertarung dengan takut pada lupa. Melewati kemarau bersama pohon bernyanyi. Aku ingin menunggu petang sambil menyambung potongan perca, dan kau ada di sekitarku sedia menolong memasukkan benang.

Agustus 2007

1 comment:

  1. di jalan itu engkau papas terik matari yang membuat rongga dalammu mengelupas menyisakan ruh dari cinta yang berkilau. juga engkau jumpa sejuk rembulan yang menyebab wilayah rahasiamu nyusup menyisakan rindu yang basah.
    tetapi nasi, nasi, dibuat dari bulir padi, bukan?
    dan nasib, nasib, dianyam dari misteri, 'kan?
    (kalimatmu makin berkilau, saudaraku)

    ReplyDelete