Sehari sebelum berpuasa seorang rekan kerja di kantor mengambil cuti setengah hari. "Mau belanja persiapan sahur pertama nanti," katanya. Sementara teman-teman kantor lainnya yang beragama Islam, tetap bertahan sampai jam kerja usai. Alasannya, karena mereka rata-rata adalah para perantau yang tidak memiliki keluarga di Makassar. Bahkan ada di antara mereka yang juga sudah sering melewati Ramadan dan Lebaran tidak bersama keluarga, karena tidak tinggal di kota yang sama.
Erni dan Emmi, dua pembantu rumah tangga yang selama ini membantu saya, memilih menjalani Ramadan di rumah kami. Keduanya tidak termasuk orang yang berusaha keras menjalankan tradisi “berpuasa di hari pertama di kampung halaman”. Ramadan kali ini bukan yang pertama bagi Erni dimasuki tanpa berkumpul dengan keluarga. Meski saya menawarkan kepada mereka cuti untuk pulang ke kampung, berkumpul bersama anak dan orangtuanya, tapi kata Erni, "Lebaran saja saya pulang, Bu."
Kehadiran Erni dan Emmi yang muslim di tengah-tengah kami membuat saya sekeluarga ikut menyaksikan rutinitas puasa yang mereka jalankan, sekaligus menjadi bagiannya.
Jam Tayang “Berubah”
Perubahan pertama selama puasa adalah terkait jam kerja. Penjualan sayur keliling langganan Erni, Pak Udin tidak menjual di pagi hari selama puasa. Menurut Erni, jam berjualan di bulan puasa berganti ke sore hari menjelang berbuka. Perubahan jam jualan ini, juga diikuti oleh penjual tahu tempe dan penjual ikan. Penjual kue langganan kami, Ibu Hamdan di lorong belakang rumah juga termasuk yang mengubah jam buka toko. Tak ada lagi kue di pagi hari. Kue-kue kampungnya, selama Ramadan akan dijual sore, menjelang buka puasa.
Kelihatannya, perubahan "jam tayang" ini berlaku sampai ke lingkup pemasaran yang lebih luas. Bukan cuma pedagang kecil seperti Pak Udin si tukang sayur atau Ibu Hamdan penjual kue di kawasan Perumnas Tamalate, Makassar. Dalam perjalanan ke kantor, saya perhatikan pasar di dekat rumah pun lengang di pagi hari. Jejeran penjual kue yang biasanya ramai dikunjungi pembeli sejak jam 6.30 , sampai jam 9 tadi belum membuka dagangnya. Saya ingat, biasanya pada bulan Ramadan, pasar pun baru akan ramai oleh penjual menjelang tengah hari, dan semakin disesaki pembeli menjelang sore.
Di hari pertama puasa, Erni bercerita tentang pasar yang penuh sesak dan harga sayur yang melonjak. Harga ayam potong yang masih dijual Rp17.000 per ekor minggu lalu, setelah puasa menjadi Rp20.000-Rp21.000. Penganan khas puasa, seperti cendol dengan warna hijau, merah, bahkan oranye ramai dijajakan. Inilah warna khas yang muncul di bulan puasa, yang mengingatkan saya pada telur-telur berhias pada hari-hari Maulid Nabi Muhammad SAW.
Meski tidak berpuasa, tapi anak-anak saya bersemangat menunggu -nunggu hidangan buka puasa apa yang akan dibuat Erni hari ini. Anak bungsu, tidak berhenti bertanya: "Kakak, mau bikin apa?" , "bikin kue?"
Inilah pertama kali kami ikut merasakan dari dekat ibadah puasa itu karena ada Erni dan Emmi yang menjalankannya di dalam rumah kami. Selama ini, yang membuat terasa datangnya Ramadan adalah hantaran kue atau pisang ijo dari tetangga kami. Atau ramainya penjual kue dan pisang ijo "kaget" di sepanjang jalan utama di depan rumah kami di kawasan Toddopuli Raya dan di lorong belakang rumah kami. Selama Ramadan, setiap sore, kami pun ikut "berbuka" dengan berbagai jajan pasar itu.
Di hari pertama puasa, saya tidak mendapat jatah teh yang biasanya dibuatkan Erni datau Emmi. Selama bulan puasa, saya juga harus pulang lebih cepat, agar Erni dan Emmi bisa ke mesjid untuk shalat tarwih. Selamat datang, Ramadhan. (p!)
*Citizen reporter Luna Vidya dapat dhubungi melalui email lunavidya@gmail.com |
No comments:
Post a Comment