Notes On

Tuesday, July 17, 2012

Petaka Gula

Langit dingin.
Dalam diam sediam tungku batu sedingin tempayan,
dengan tangan telanjang, kukoyak tirai langit.
aku perempuan: tersedia untuk bertahan.

Di bawah langit koyak, menyiang ladang,
harap kuangin-angin.
berkali-kali berganti musim angin
cahaya semakin sayup, harap seperti sisa-sisa api tanpa kayu.

aku perempuan: pemburu 'kenapa?'

sambil terus mengumpulkan kayu,
berupaya mendidihkan getah jadi gula
memaniskan langit-langit yang luka
telah jadi hujan
garam yang ada di penyimpanan.
aku dan diriku
ibarat tempayan dan tungku dingin
tanpa kayu,


tanpa dirimu, aku abu

ketika mata kupaku ke lautan, dari hutan kayu-kayu bakar dihantarkan.

Lihat , olehmu sendiri
Ada api di bawah tungku!
lalu panas untuk mendidihkan tempayan bergetah
darinya gula, untuk langit-langit luka
lalu rumah, rumah getah rumah gula.

Ke langit koyak, ku kirim undangan: langit dingin. 
aku perempuan, tersedia untuk diam saja
berpura-pura lupa
aku tak lupa restu langit  tak hadir di acara pesta.
tapi tanpa restu langit
apa yang dapat menjelma?

ketika sedang memasak gula,
telah tumpah petaka ke dalam getah,
tempayan terjungkal, tiang rumah tersulut angkara.

Sekarang aku tak punya apa,
pada bara tiang-tiang rumah aku berdiang
seorang-orang,
berangin-angin, seorang-orang.
Di atasku langit koyak.
Di mataku laut bergelombang.
Di dalamku malam. Bulan hilang.


2008-2012

No comments:

Post a Comment