Sabtu, 20-12-2008 |
Meledakkan Rintihan Sumarah di Tengah Pengembara :: Luna Vidya :: |
”Mari ke Ambang sana, menemani saya menjadi Sumarah!. Foto: Dokumentasi Luna Vidya. Terbang ke Perancis melalui Dubai menjadi semacam berkah tak terduga bagi citizen reporter Luna Vidya yang menyiapkan nomor “Balada Sumarah”untuk pentas monolog dalam perayaan ulangtahun Restoran Indonesia di Paris. Penerbangan Jakarta-Dubai serta obrolan dengan para pahlawan devisa saat menunggu penerbangan lanjutan, membuat Sumarah seolah betul-betul hidup dan siap menemani pementasannya. Cerita pilu TKW yang ayahnya dituduh aktivis PKI itu diledakkan Luna dengan segenap pengalaman yang dipungutnya sepanjang jalan. Sumarah muncul di hadapan penonton yang di antaranya juga mengalami nasib buruk yang sama: dicap PKI dan semua pintu tertutup untuk mereka. (p!) |
Pintu restoran kecil yang beralamat di 12 Rue Vaugirard di jantung kota itu, seperti tangan yang hendak mendekap, siap menghalau udara malam dingin berkabut. Cuaca berkisar 4-5 derajat Celsius. Paris gemerlap dengan hiasan lampu-lampu menyambut Natal. Saat saya melangkah masuk, rasa hangat dan akrab menyergap. Meja-meja makan kecil yang siang tadi memenuhi dua ruang makan di lantai pertama telah dipindahkan. Kursi dijejerkan menyusur sisi ruangan. Di meja terdapat piring berisi kacang, mete dan emping goreng. Di sisi meja yang melekat pada dinding, dijajar buku-buku bergambar lelaki setengah baya. Di dinding, terpasang foto-foto berpigura dengan tema Indonesia. Ada hajatan malam itu, Senin 15 Desember 2008: acara ulang tahun ke-26 Restoran Indonesia, Paris. Acara ulang tahun Restoran Indonesia itu menjadikan "Indonesie " sebagai sentral perayaan. Buku Indonesie, adalah kumpulan karya fotografer Patrick Blanche dengan tema Indonesia. Foto-foto di dinding restoran malam itu, adalah "cuplikan" karya fotonya. Semakin malam, ruang menjadi semakin sempit oleh tetamu. Yang datang sangat beragam. Ada teman-teman sang fotografer, ada komunitas orang Indonesia dalam lingkaran Koperasi Restoran Indonesia, pelanggan mereka, atau pun mahasiswa Indonesia yang tinggal di Paris. Beberapa wajah saya kenali sebagai peminat Indonesia" dalam jaringan Asosiasi Persahabatan Indonesia – Perancis Pasar Malam, yang mengundang saya. Pertemuan Pasar Malam bertajuk 10 Jam Menikmati Sastra Indonesia berlangsung seminggu sebelumnya. Senang rasanya melihat wajah yang "tak asing". Sayang sekali, Johanna Lederer, Ketua Pasar Malam, terhalang datang oleh sakit. Juga hadir para wakil dari Kedutaan Besar Indonesia untuk Perancis. Kemudian saya tahu, keberadaan wakil KBRI di acara malam itu, mencatat sejarah sendiri. Kehadiran resmi seperti itu, baru terjadi pertama kalinya selama 26 tahun kehadiran Restoran Indonesia di Paris. Tetamu yang menghadiri rangkaian ulangtahun ke-26 Restoran Indonesia di Paris. Foto: Dokumentasi Luna Vidya. Acara bergulir santai, meski suasana berubah sedikit formal ketika kepada Atase Pendidikan KBRI Perancis, Sudrajat diberi kehormatan memberikan sambutan. Lalu dilanjutkan dengan sambutan dari Umar Said, yang akrab dipanggil Om Umar, sesepuh koperasi Indonesia, dilanjutkan dengan Pak Yoso, pimpinan Restoran Indonesia. Terus terang, jangan berharap saya menangkap apa yang dikatakan para pemberi sambutan itu. Saya hanya mendengarnya lamat-lamat dari pintu dapur. Suara mereka berdengung, baik sang pemberi sambutan maupun suara Nita, salah seolah pegawai Restoran Indonesia yang malam itu bertindak sebagai pembawa acara, sekaligus penerjemah. Bukan karena terhalang suara lain, tapi karena kegelisahan saya lebih riuh. Suara-suara di dalam kepala saya lebih keras dari gelak gurau dua juru masak yang bertugas malam itu, Mbak Didien dan Kak Yudith. Terduduk di dapur, di atas sebuah wadah plastik, saya mulai mengurai perjalanan Sumarah. Tokoh yang akan saya bawakan dalam monolog. Saya gugup. Bukan hanya karena pementasan yang harus saya jelang dalam hitungan 30 menit ke depan, penuh dengan "pertama kali". Pertama kali pentas sendiri di luar negeri – jika itu penting- adalah salah satunya. Tapi yang terpenting, karena pementasan ini, adalah pementasan pertama Balada Sumarah di mana dalam wilayah mental saya, telah terekam gambar wajah para Tenaga Kerja Wanita (TKW). Wajah-wajah yang saya temui dalam perjalanan menuju Paris. Menuju ke pementasan malam itu. Terlintas wajah-wajah teman sebangku saya dalam perjalanan dari Jakarta menuju Dubai. Wajah Sundari, dari Majalengka, dan Sinar dari Kendari. Mereka yang kita sebut pahlawan devisa. Wajah-wajah mereka yang penuh dengan kelelahan menghadapi kemiskinan, memantul-mantul jelas malam itu. Seperti kata Sumarah: "…jadilah saya Sumarah binti Sulaiman, seorang TKW.. mencoba meraih hidup yang lebih baik dengan menjadi budak di negeri orang." Benak saya juga penuh dengan impresi kegagahan dan sikap berani mereka, yang memilih menjadi TKW yang notabene babu. Seperti yang disuarakan Sumarah: " ya, saya memang babu, tapi karena itu saya hebat. Saya hebat karena berani memilih membuat keputusan menjadi bagian paling bawah dari struktural manusia. Tidak ada orang yang mau jadi manusia di bawahnya manusia. Inilah saya Sumarah, menjadi babu, menjadi budak sudah menjadi pilihan." Tapi dalam obrolan dengan tamu-tamu yang datang pada hajatan malam itu, saya tahu, perjalanan Sumarah adalah juga pecahan cermin perjalanan banyak orang di ruang itu. Perjalanan para pengembara. Perjalanan orang-orang yang tak bisa pulang –karena dicekal dengan alasan politik di masa Orde Baru-- dan kemudian memilih tak pulang. Sedikit banyaknya, di mata saya, para pengembara itu seperti Sumarah. Ketika memberitahu pihak Restoran Indonesia bahwa nomor Balada Sumarah ini yang akan saya tampilkan, saya memilihnya lebih karena relevansi kisah Sumarah sang tokoh, dengan "legenda" di sekitar Koperasi Restoran Indonesia. Latar belakang keduanya yang sama, langsung atau tidak langsung: peristiwa G30S PKI 1965. Tapi pilihan itu tidak menjadi sederhana, ketika saya bertemu dengan "Sumarah-Sumarah" lain, di perjalanan Jakarta- Dubai dan di Restoran Indonesia yang hangat malam itu. Saya gugup, karena paham dengan beragam tamu malam itu, isu yang termuat dalam monolog Balada Sumarah ini, adalah isu yang rawan. Isu yang dapat mengulik luka beberapa orang secara pribadi, beberapa orang secara politis. Tapi saya tidak bisa mundur. Panggung harus saya isi. Sumarah, jadi bagian kisah hidup sejumlah penonton. Foto: Dokumentasi Luna Vidya. Detik-detik Pementasan "Sudah siap?" tanya Nita. Saya tidak punya pilihan lain kecuali mengangguk tentu saja. Di ambang pintu pembatas ruang makan restoran saya berdiri. Lalu saya memberi pengantar pada pementasan Balada Sumarah. Nita menerjemahkan sinopsisnya dalam bahasa Perancis. Sinopsis yang saya tulis ini, jauh lebih baik dari yang saya narasikan di ambang pintu. Kepada semua yang siap menyaksikan Sumarah, saya berkata, “Mari ke sana, ke ambang pintu itu, menemani saya menjadi Sumarah!” Balada Sumarah karya Tentrem Lestari ini pertama kali saya bawakan pada Festival Monolog di Jakarta pada tahun 2006. Kali ini, dengan ruang pentas yang lebih kecil, beban saya justru lebih berat karena akan mengulik-ulik luka lama sejumlah penonton. Kisah ini dibuka degan adegan perempuan bernama Sumarah seorang TKW, di Arab Saudi duduk di bangku terdakwa di sebuah ruang pengadilan. Ia ada di sana karena tuduhan membunuh majikannya. Dari bangku itu, tanpa pembela atau penasehat hukum, ia minta diberi kesempatan untuk menceritakan saja kisahnya. "Ini bukan pembelaan", kata Sumarah. "Karena apapun yang saya katakan, itu adalah merah hitam, putih abu-abu diri saya, belang loreng, gelap cahaya hidup saya." Di ruang pengadilan itu Sumarah yang berani mengambil keputusan menjadi babu, menjadi manusia di bawah manusia, meminta agar ia boleh berbicara, berbicara untuk terakhir kalinya sebelum menjalani hukuman mati. Di bangku pesakitan Sumarah bercerita tentang kehidupannya. Kehidupan sebagai sebagai anak seorang pembuat gula yang kena ciduk karena dianggap anggota PKI. Sulaiman ayah Sumarah, ditangkap karena menjual gulanya kepada koperasi yang dibentuk oleh PKI. Sumarah masih dalam kandungan, ketika ayahnya ditangkap dan seumur hidupnya ia tidak pernah bertemu dengan sang ayah, yang meninggalkan jejak bayang hitam di sepanjang hidupnya. Bayang hitam yang menguntit dan merebut separuh ruang hidupnya. Sedari kecil, dikitari bisik-bisik dan sindiran warga kampung, Sumarah tidak berani mengangkat kepala dan tidak berani bicara. Bicara berarti bencana. Tapi Sumarah yang percaya bahwa pendidikan bisa mengubah nasib, berpikir ijazah dan prestasi akan membawa perubahan. Karena itu dengan gigih ia berusaha untuk terus sekolah. Tapi kemudian, ternyata karena bayang-bayang hitam ayahnya, Sumarah meski lulus dengan nilai tertinggi tidak punya kesempatan untuk menjadi pegawai negeri. Ijazahnya tidak memberi keajaiban apa-apa. Tidak bisa membuka pintu kesempatan. Ia terdepak dari pintu ke pintu, karena bayang-bayang nama ayahnya. Bayang-bayang hitam nama Sulaiman yang terkait PKI membuat Sumarah kehilangan cintanya. Sumarah bercerita tentang bagaimana ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika hak-haknya diselewengkan, tidak berani bicara apa-apa, lagi-lagi karena nama ayahnya yang masuk daftar hitam. Sumarah bercerita tentang betapa mudahnya segala urusan bila disertai amplop berisi lembaran rupiah. Sumarah bercerita tentang harapannya untuk mengubah nasib keluarga dengan menjadi TKW di negeri orang. Harapan yang membungkus kenyataan bahwa ia adalah warga selipan, setengah gelap di negerinya sendiri. Warga yang kepalanya tidak boleh kelihatan di antara kerumunan banyak orang. Harapan itu kandas ketika ia -untuk pertama kalinya- mencoba mempertahankan haknya. Menolak diperkosa terus oleh majikannya. "Bertahun-tahun di negeri saya sendiri, saya hanya diselipkan, setengah gelap, kepala saya tidak boleh kelihatan di antara kerumunan banyak orang. Apakah sekarang di negeri orang saya masih harus dimelatakan...? seperti budak hina yang boleh dibinatangkan?" Ia membunuh majikannya. Sumarah juga memilih untuk tidak diadili di negerinya sendiri, negeri yang belum tentu akan membela hak-haknya. Setelah tidak ada lagi yang bisa diperas darinya: seorang perempuan, TKW, seorang pesakitan. Menonton Penonton Saya bisa menerka Nita, sang pembawa acara, menambahkan keterangan historis pada bagian Partai Komunis Indonesia, untuk memberi penjelasan arti penting organisasi terlarang itu dan dihapuskannya bagian itu dalam kisah Balada Sumarah. Setelah uraian tentang monolog itu, saya "mencuri" kesempatan untuk membacakan sebuah puisi, yang diadaptasi ke dalam Bahasa Perancis oleh Alex Cormanski. Puisi berjudul "Merayakan Lebaran" itu dalam adaptasinya diberi judul "La Fe`te du Pardon" atau "Merayakan Pengampunan". Para tamu berdiri mengitari, juga menyesak di ruang sebelah untuk bisa mengawasi saya. Dua puluh lima menit. Seluruh kegugupan lumer jadi jeritan Sumarah: dengarlah saya! Dengan penonton yang terdekat berdiri dalam jarak jangkauan tangan, dan yang paling jauh hanya berjarak dua meter, selama dua puluh lima menit, saya menonton mata-mata yang menemani Sumarah menyanyikan baladanya. Ada bagian dari rintihan itu yang juga menjadi bagian hidup sejumlah penonton, ya para pengembara. juga para eksil yang masih terang jejaknya di sejumlah kota Eropa. Selama dua puluh lima menit, saya sang pelakon yang justru menjadi penonton, mengikuti perjalanan yang ditempuh beberapa orang dalam ruangan itu ke masa lalu. Saya menyaksikan pedih memancar, ketika mata mereka menyempit ngilu, atau raut yang tiba-tiba melengos, juga kepala yang tertunduk. Atau bahu yang ditarik ke belakang dengan berat supaya kepala tetap tegak. Selama dua puluh lima menit itu, saya menerima empati mereka yang tidak pernah ada di jalan pengembaraan Sumarah: mereka orang-orang yang menjauh dari negeri sendiri, yang menyebut Indonesia sebagai sesuatu yang asing. Sumarah selesai. "Saya siap mati", katanya. Pasrah, seperti artinya namanya.Tapi ada yang tidak selesai. Ada banyak komentar yang saya terima setelah itu. Saya menerima jabat hangat, pelukan dan ciuman pipi seusai pementasan. Pertanyaan seorang bapak yang menemani saya di awal malam ketika belum banyak tamu datang, menghentak saya: "Jadi sekarang boleh membicarakan hal-hal seperti itu di Indonesia?" Pertanyaan itu membuat saya tahu, bahwa untuk banyak orang, perjalanan ke negeri asing terkadang bukan pilihan, tapi keterpaksaan. Malam itu saya merasa sangat beruntung, bisa pulang ke negeri sendiri dan membayangkan tangan-tangan hangat yang siap mendekap. (p!) *Citizen reporter Luna Vidya dapat dihubungi melalui email lunavidya@gmail.com |
| Beri Komentar| Jumlah Komentar (29) |
|
Komentar :24-02-2009 Dari : tentrem lestari | tentrem_smantid @yahoo.com hai luna .saya tentrem lestari penulis naskah monolog Balada Sumarah. beberapa berita pementasan Balada Sumarah ku ikuti. Makasih ya ..atas apresiasinya .Kalo Luna berkenan kirim foto-foto pementasan di emailku .trims 31-01-2009 Dari : tita | titayanto@yahoo.com quite a piece, Non. congratulations! 25-12-2008 Dari : ardadi | diwanua@gmail.com hebat mentongi tauwwa. sukses buat jeng Luna.... 23-12-2008 Dari : ikha | moigreen@yahoo.co.id selamat...selamat kk!!! makin sukses aju ya bu....... bagussssssssss he..he -au revoir- 22-12-2008 Dari : tourist | setelah marsinah, rupanya ada sumarah ya? dan mungkin: 'itu belum yang tak sempat disebut'. negeri ini hebat betul ya? he he 22-12-2008 Dari : halim hd. | halimhade@yahoo.com sms yang saya terima malam ini dari seorang teman di solo, tyas namanya: SUMARAH (bhs. jawa), pasrah kepada tuhan. sms dari suprapto suryodarmo, pendiri dan pengelola padepokan 'lemah putih': SUMARAH adalah pasrah dgn rasa bertanggung jawab, bukan apatis, atau tidak loyo atau mopo (mandeg); melalui sumarah seseorang mengembangkan daya terima lewat kepekaan. 22-12-2008 Dari : rose | ros@gmail.com Congratulations..... 22-12-2008 Dari : rose | ros@gmail.com wooooooooooooooooooo oow 22-12-2008 Dari : Muhammad Ridwan Thahir | info@muhammadridwanthahir.com SUMARAH Su = Soe = (bahasa Jawa) artinya baik Marah = ya, marah jadi Sumarah adalah "marah yang baik" sama dengan SUMARAH itu sendiri yang punya kemarahan yang baik. 22-12-2008 Dari : Muhammad Ridwan Thahir | info@muhammadridwanthahir.com Diralat: SUMARAH bukan SUMIRAH tapi kayaknya mirip ya. Hi...hi...hi. Sekali lagi SALUT buat Luna. Ciao!!!! 22-12-2008 Dari : Muhammad Ridwan Thahir | info@muhammadridwanthahir.com Salut buat Luna! yang berani tampil beda di depan panggung di salah satu Kota Utama Dunia, Paris. Tapi potret Sumirah adalah potret Indonesia itu sendiri. Potret negeri yang terporak-porandakan oleh orang Indonesia sendiri. Sumirah hadir disetiap sudut kehidupan di negeri yang kata ekonom hampir bangkrut. Itulah Kenyataan Hidup yang harus dihadapi bahwa terkadang kita harus HIJRAH dari tanah kelahiran untuk mencari HIDUP yang lebih menjanjikan. Mungkin potret hidup SAYA adalah potret SUMIRAH dengan alur cerita yang lain. Saya merasa sekarang hidup di ANTARA DUA DUNIA yang saling bertolak belakang dalam banyak hal. Satunya Negeri Indonesia yang telah membesarkan saya dan satunya lagi Negeri Belanda yang memanjakan saya. Sekali lagi salut!!! Oh iya Luna, senang bisa ketemu dengan kamu dan famili serta Lily di Amsterdam. Gezellig kata orang sini. Oh iya, apa RED LIGHT DISTRIKNYA AMSTERDAM bisa masuk di PANYINGKUL nggak??? Hi..hi..hi. Kirim dong foto-fotonya ke emailku. Saya tunggu, loch! Salam lagi! 22-12-2008 Dari : Nuntung | daeng.nuntung@gmail.com Penampilannya oke punya Jeng...Kapan kita duet? "duelogi" hahaha. 21-12-2008 Dari : halim hd. | hlimhade@yahoo.com U/ DAEANG RUSLE: masalah sumarah, bagi saya, bukanlah masalah ketiak sendiri yang berbau atau diciumi dengan romantisme. jika kita merasa bahwa masalah sumarah adalah masalah kemanusiaan, maka soalnya bisa kian melebar keberbagai wilayah warga yang bukan hanya di nusantara saja, tapi juga diberbagai penjuru. dan hal itu tidak bis dditutup-tutupi dengan jenis bungkusan apapun juga. missisipi burning, film yang berulangkali saya tonton, adalah bukti dari peristiwa sejatah sosial yang berusaha untuk membongkar lobang hitam sejarah amerika. dan di cina, jerman, india-pakistan dan berbagai negeri lainnya; sangat mungkin di nusantara akan ada banyak bukan hanya pembocoran tapi mengungkap lebih dalam masalah kemanusiaan ini, dalam bentuk jurnalisme, cerpen, novel, biografi dan sejarah. buku john roosa, tentang pembantaian tahun 1965-68 adalah upaya untuk mengungkapkan fakta sejarah sosial politik di negeri kita; dan kita tunggu untuk kesekiana kalinya usaha untuk membongkar lebih dalam ssoal peristiwa pembantaian oleh pasukan westerling di sulsel. dalam suatu obrolan ditahun 1980-an, dalam kunjungan ke rumah pak pram, seorang teman bertanya, bagaimana untuk menuliskan sejarah. pak pram menjawab, kemanusiaan dan keberanian. kemanusiaan tanpa keberanian, katanya hanya melahirkan keluh kesah. saya pikir, hal ini mirip seperti yang dikatakan oleh nelson mandela. dan keberanian nelson mandela adalah bukan hanya mengungkapkan, tapi juga berani untuk memaafkan namun tak melupakan apa yang pernah terjadi. belajarlah dari yang pernah terjadi, katanya, dan mari kita melangkah ke depan untuk rekonsiliasi. 21-12-2008 Dari : jimpe | saintjimpe@gmail.com kerennya! makin lancar ya jeng, ... merebak dan semerbak :-) 21-12-2008 Dari : dirmansaad | sudirmansaad@yahoo.com Luna, kamu HEBAT! Tema ANAK PKI dan TKI sekaligus dalam satu monolog. Bisakah ada apresiasi dari komunitas Panyingkul! Misalnya Panyingkul! Award 2008. 21-12-2008 Dari : syamsoe | syamsoebalha@gmail.com fiuhh.. foto yang hebat 21-12-2008 Dari : rusle | daengrusle@angingmammiri.org Kita sudah sangat terbiasa untuk berusaha menutup hidung dari ketiak orang lain, namun secara sembunyi2 menciumi ketiak sendiri. Seberapa asam dan asin ia ketika berjarak hanya puluhan senti dari hidung. Sumarah mungkin adalah ketiak kita sendiri, kita sering membauinya, terkadang dengan romansa rindu. Tapi kita lebih sering menganggapnya hanya milik sendiri, padahal ia bisa mengganggu orang lain. Mari kita bungkus cerita Sumarah seperti kita menciumi bau ketiak orang lain, yg serta merta kita ingin segera sodorkan deodoran untuk di'sembuh'kan. 20-12-2008 Dari : idha | idhariu@yahoo.com Usah lah kita berhitung secara nurani kemanusiaan, cukup lah dengan hitung-hitungan ekonomi matematika: berjuta Sumarah yang ada membuat perekonomian di negeri asing bernama Indonesia bergerak dengan konsisten. Pertanyaannya: mengapa kita tetap mengesampingkan apa yang telah dihasilkan oleh Sumarah-Sumarah tersebut? Kapan kah kita bisa mengakui apa yang dilakukan para Sumarah merupakan pekerjaan profesional walau pun tanpa ijazah sekolah tinggi? Sumarah yang perempuan, yang terpinggirkan, yang terlecehkan, yang penuh tanggung jawab meluruskan nasib, yang selalu berusaha mematahkan tiang kemiskinan ... yang pekerjaannya tidak pernah tercatat sebagai sebuah 'profesi'. Selamat Sister Luna! 20-12-2008 Dari : nilam indahsari | nilam_indahsari@yahoo.com luvly one :) 20-12-2008 Dari : koko | lekopr@gmail.com ...ayaknya menara eiffel rada-rada goyang and gemetar kali yeee dengar raungannya sumarah ...kapan di makassar (lagi-lagi dengan huruf 'm' kecil) ada pertunjukan yang bisa mentertawakan hidup yang fana ini? yang bisa jadi otokritik dalam keseharian kita? 20-12-2008 Dari : halim hd. | halimhade@yahoo.com bukan maen, luna, anda menuliskan pengalaman, yaaa pengalaman anda, bukan sekedar pementasan, bukan sekedar review. matur sembah nuwun. 20-12-2008 Dari : Armin Hari | artsuru@gmail.com sebenarnya tidak ada komentar untuk tulisan ini. nda ada pi yg kalahki Jeng Luna kalo urusan ini. selalu ada bagian ta yg ia lakonkan dalam monolog. salama ki tue Kak Luna... 20-12-2008 Dari : Ismail Amin | ma_ipa@yahoo.com Saya mau tulis ucapan selamat dalam bahasa parsi, "Barakallah, che qadr kor-e khub anjom dodid, umid woram keh ba'ad mituni behtar az in kor mikunid, muaffaq bosyid dusyton !!! salamat bosyid :-) 20-12-2008 Dari : -ellie- | wairatta@yahoo.com Hoi Ka Lun..welkom thuis en ook dank je voor het verhaal. Heel erg interessant om dat te lezen!! Uitstekend!! 20-12-2008 Dari : iv@n | ... brAAAvOOO ! kapan ya mentas di kantor lurah baranglompo bersama ibu2 penganyam jaring :) 20-12-2008 Dari : Sudirman Nasir | sudirmannasir@yahoo.com selamat luna. selamat. 20-12-2008 Dari : anbhar | andhy2@gmail.com selamat atas pementasan monolognya (rock) 20-12-2008 Dari : Mustamin al-Mandary | Ralat: "Sayang sering geram sendiri..." menjadi "Saya sering geram sendiri...." 20-12-2008 Dari : Mustamin al-Mandary | mustamin.almandary@gmail.com Sebuah cerita perjalanan yang indah Sister Luna. Dan sebuah potret, tentang Samarrah, yang saya yakin masih banyak disana: Samarrah-Samarrah lain yang ditindas dan tidak-di-manusiakan. Sayang sering geram sendiri mengingat penindasan atas nama negara, yang dilakukan oleh penguasa di masa lalu (sekarang juga mungkin masih ada, dgn modus yang lain). Para penindas itu, tidak pernah saya doakan baik-baik. Ingin rasanya kembali ke masa lalu dan juga melempar muka para penguasa itu dengan sepatu sambil berujar, "ini untuk Samarrah". |
sumber: http://www.panyingkul.com/view.php?id=1025