tulisan ini saya persembahkan untuk 'Aku Hendak Pindah Rumah'
M.Aan Mansyur
*dengan revisi :)
Memikirkan Aan hendak pindah rumah, saya menyambanginya dengan semacam truk kosong seperti yang bisa kita sewa untuk keperluan semacam ini. Truk kosong keingintahuan, dan harapan pada "barangkali ada sepotong dua potong perabot yang tidak ingin digunakannya lagi". Perabot terabaikan, yang dapat saya bawa pulang. Kebiasaan saya pula.
Berbekal catatan yang Aan berikan, saya mencari rumah baru itu, pada sebuah potret. Potret dari sebuah rumah di kampung Lassanglassang Jeneponto. Sebuah rumah dengan halaman tak berapa luas, dan beberapa jendela di sisinya. Sebuah rumah di bawah rimbun daun kelapa dan pohonan lain. Dikitari sawah. Langit biru, awan putih. . Kepada dan ke dalam potret itu saya mencari Rumah Lama, Rumah Kenangan . Rumah yang saya kira ingin Aan tinggalkan.
Beberapa waktu menyusuri jalan, saya tidak menemukan rumah seperti di potret itu. Saya menemukan papan petunjuk. Taman Depan. Rumah Lama, Rumah Kenangan. Rumah Hati, Rumah Persembunyian. Rumah Baru, Rumah Kegaduhan. Rumah Waktu, Rumah Perjalanan.Taman Belakang. Dipancang seperti tanda nama jalan. Pada sebentuk pintu. Tapi rumah seperti pada potret yang saya miliki, yang saya jadikan peta menemukan rumah baru Aan, sama sekali tidak saya temukan. Plang – plang yang diletakkan begitu rupa sehingga kau merasa dikitari sekaligus mengitari. Perasaan yang sama ketika berada di sepotong kecil wilayah Raja Ampat.
Ke dalam semacam pintu itu, saya perlu melongok. Bukan sekedar melintasinya. Jadi saya pun berhenti, di Pintu hati, Pintu persembunyian. Melongokan kepala lewat pintu itu, yang mestinya terkatup senyap- sebagaimana seharusnya tempat persembunyian- saya mendengar percakapan yang riuh. Pintu itu mengantar saya pada semacam ruang tunggu. Berdinding cermin. Ada sepasang kekasih, ada seorang ibu, ada seorang anak kecil, ada seorang lelaki yang terus mengamati pintu, dan jendela di sekitarnya serta mencatat. Ia membuat catatan pada cermin.
Barangkali tidak banyak orang dalam ruang tunggu itu, pun tidak luas. Tapi cermin pada dinding telah melipatgandakan jumlah orang dan luas ruang itu. Barangkali lelaki itu adalah semuanya, sepasang kekasih, seorang ibu, anak kecil yang ulang berulang mengejar bayang seseorang yang dipanggilnya ayah, ke pintu. Barangkali ia memang tidak mencatatkan peristiwa sepetak sawah hijau, rumah di bawah rimbun pohonan, awan putih, langit biru seperti potretku. Tapi ia telah mencatatkan peristiwa bertanya dan mempertanyakan, milikku. Barangkali semua peristiwa itu, yang saya lihat pada cermin, sebenarnya terjadi di sini, di luar pintu ini. Di dalam diriku. Lelaki dalam ruang itu telah mencatatkannya untukku.
"saat dibaca, kata-kata berkaca pada telaga mata penyair. Ia melihat dirinya berubah menjadi puisi.." (Puisi yang mencintai dirinya sendiri)
Pergi ke plang terdekat, terpikir barangkali saya seharusnya meninggalkan potret rumah di Lassanglassang dalam kepalaku di halaman depan. Potret yang sama sekali asing. Meninggalkan pintu persembunyian itu, di cermin, melintas plang Taman Depan, berhimpit punggung dengan Taman Belakang. Seperti kembar siam, yang tidak identik.
Di Rumah Baru, Rumah Kegaduhan saya berhenti. Pintu menguak yang sepi. Seorang lelaki yang digerakkan gelisah bergerak dari pintu ke jendela. Dari jendela ke jendela. Ada banyak jendela. Berdinding cermin. Di cermin itu, saya membayangkan antrian panjang orang di depan toilet umum, kebelet mau beol. Atau antrian panjang orang lapar di depan pantri sebuah kapal penumpang untuk mendapat jatah makan pagi . Sepotong telur dadar yang terlalu tipis dan terlalu sedikit. Ada jendela yang membentang ke arah kota, ada jendela yang mengirim suara perang. Kemarahan, kobar api. Jendelajendela itu, mengantar rasa lucu yang sengsara.
"Maka begitulah: kita tak bisa bercerai meski kita terus saja berkelahi". Lucu bukan? Pun sengsara.
Kupikir, tentunya ia lelaki yang sama. Lelaki dari rumah yang gaduh itu. Karena lelaki ini pun, mencatat peristiwa mempertanyakan dan bertanya. Mencatatnya pada cermin di dinding. Hanya kali ini antara ia, peristiwa dan pertanyaannya. Juga berusaha menambahkan asumsi disana sini. Begitu sepi ruang itu. Meski pada cermin, siapa pun bisa menangkap kegaduhan gelisah yang ditulis lelaki itu. Ia sampai-sampai berencana pindah rumah.
"Aku hanya menginginkan sebuah rumah yang penuh dengan kalimat gaduh atau kalimat rusuh. Sungguh!, " katanya.
Pikir saya, "pindah rumah?." Terdengar seperti rencana Aan. Lelaki yang mencatat itu, Aankah dia? sudah sampaikah saya di tujuan? Saya menegok sekeliling, tak ada tembok atau papan yang ada cermin. Cermin yang mengaburkan batas dan kapasitas ruang. Melalui cermin itu saya melihat laut, sungai, pohon, ladang, padang, langit, laut, jalan, langit lagi, bulan, ruang-ruang, atap kota-kota, pohon. Juga bayangku.
Saya lalu membalik kembali catatan tentang petunjuk yang telah diberikan. Saya tahu saya punya pilihan, untuk sampai ke pintu berikut . Menyusur jalan di depan atau menerobos masuk lebih jauh ke balik pintu. Saya hampir yakin, dengan menerobos saya akan sampai di pintu berikut. Pintu mana saja. Bahkan kepada ke dua taman.
Dengan berandai-andai, lelaki yang menulisi dinding itu adalah Aan, saya membuat catatan kasar. Catatan yang saya buat tentang apa yang saya temukan, alami, ketika berada di kesempatan mencoba menemukan rumah baru Aan. Bukan dari kesan terhadap sebuah potret asing. Saya perlu menulisnya sebelum menerobos ruang kegelisahan lelaki yang menulisi cermin itu. Barangkali karena saya takut pada kemungkinan hilang di dalamnya. Di dalam dan di antara cermin.
Pada dugaan bahwa kegelisahan ini sebenarnya adalah jalan buntu, tapi juga sebuah kemungkinan bahwa saya bisa sampai ke mana saja, saya seakan berhadapan dengan gerumbul belukar. Gerumbul belukar di pekarangan rumah masa kecil. Sebuah "hutan" dalam ingatan kanak-kanak saya. Meski untuk ke tiga saudara tuaku, wilayah itu cuma gerumbul semak. Di "hutan" itu, tinggal banyak ular coklat muda tanpa bisa dan buta, biawak, segala macam serangga , pula beberapa jenis burung bersarang disana. Di antara ilalang yang memenuhi lantai "hutan", di antara batang-batang limabelasan pohon lamtoro. Gerombol semak itu adalah undangan kepada petualangan yang terus mengikuti keingintahuan saya, hingga sekarang. Undangan kepada petualangan. Undangan untuk melakukan perjalanan.
Petualangan dan perjalanan. Keduanya berputar pada poros waktu, seperti ketika hendak menyambangi Aan di rumah barunya. Ketika menyusurinya, saya tidak ingin lagi menyelesaikannya. Menyelesaikan perjalanan itu dengan keinginan seorang pemburu. Saya memang, sampai di halaman belakang. Keterangan tentang taman belakang itu, beradu punggung dengan halaman depan. Saya benar, rupanya. Rumah lelaki yang menulisi dinding itu, pintunya menguak ke mana saja, dapat dimasuki dari mana saja. Rumah yang kupikir akan selalu baru, karena ia tumbuh. Saya tinggalkan pintu itu. Pintu tak berbatas.Sebuah pintu putar, yang menguak kemana saja.
Kemana? Seperti kata lelaki ikan di balik pintu persembunyian itu: ada saja pertanyaan ditakdirkan sia-sia. Hanya saya mungkin perlu membuat janji temu dengan Aan, untuk bertanya.
"Lelaki di rumah tumbuh, dengan pintu putar, dan dinding cermin itu, engkaukah An?"