Notes On

Saturday, September 3, 2011

selamat, sekarang giliran menunggu..



Saya sejak lewat tengah malam, lalu kemudian setelah bangun siang tadi, menyempatkan mengirim ucapan selamat ke teman-teman yang merayakan Idul Fitri. Entah merayakan hari ini, atau besok atau lusa itu tidak penting, atau lebih benar lagi, tidak saya pentingkan.

Ketika menulis dengan berbagai pendekatan dan struktur kalimat Selamat Idul Fitri, supaya ucapan itu terasa dikirimkan dengan niat mengucapkan, bukan semata menggugurkan kewajiban dan bentuk "penghargaan" kepada yang merayakannya, saya tiba pada kerinduan untuk mengirimkan ucapan selamat ke seorang teman. Teman yang menandai kisah hubungan yang melapuk.

Hubungan yang lapuk adalah hubungan yang sulur silahturahminya membusuk. Rusak. Baru saja atau sudah mulai disaput debu ketidakpedulian bukan alasan. Kata orang, waktu menyembuhkan.  Time heals.. benarkah? Kayaknya tidak. Selalu dibutuhkan keputusan untuk menanggalkan bagian yang membusuk dari hubungan itu, atau mencoba mengorek keluar ulat dan mnembiarkan alam mengerjakan bagian (pemulihan)nya. Pada kesempatan seperti ini, saya punya pilihan untuk tidak melakukan apa-apa. Tidak mengirimkan ucapan misalnya. Pura-pura lupa. Dalam situasi seperti ini, siapapun akan merasa diselamatkan oleh pesan-pesan broadcasting, atau ucapan yang diproduksi oleh prosedur: select, copy, paste atau forward. Sesaat termasuk saya.

Cukup lama saya mempertimbangkannya. Ketika saya putuskan untuk mengirim ucapan selamat Idul Fitri untuknya, saya lakukan dengan kesungguhan yang sama: "dari LV" dan "untukmu". Ketika mulai menulis pesan itu, saya hanya berkonsentrasi pada kebaikan-kebaikanya yang hilang ketika hubungan kami mulai  melapuk, seiring sulur komunikasi kami membusuk. Saya putuskan membiarkan kerinduan mengalir, dan tidak melawannya.

Saya mengucapkan Selamat Idul Fitri, dan mengucapkan selamat juga untuk kebersamaan yang dicatatnya selama Ramadhan tentang anak-anaknya. Catatan tentang pengalaman menjadi orangtua dan menemani anak-anaknya menjalani Ramadhan. Bagaimana sebagai keluarga mereka menempuh Ramadhan.  Sebagai orang tua, sejak awal, saya pikir itu hal yang luar biasa. Membuat catatan. Tapi tentu lebih dari sekedar catatan kemudian, jika catatan itu lahir dari seorang ayah, atau seorang ibu, ketika menemani putra-putri mereka menanam benih ibadah di ladang kehidupan. 

Ketika menulis untuk menandai Selamat Idul Fitri, ucapan itu merekah, melahirkan visualisasi ini dalam benak saya. Saya bayangkan kaki-kaki kecil anak teman saya menyusur bedeng-bedeng ibadah di sepanjang Ramadhan. Mengisi lubang di bendeng itu dengan kewajiban. Sesekali bertanya.

Tentu saja bayangan itu tidak mucul begitu saja. Ia datang dari pengalaman masa kecil. Menanami halaman belakang rumah kami di Ifar Gunung.  Di sana saya belajar menanam nenas, singkong, keladi. Pengetahuan yang tidak saya gunakan sekarang, dan tak bisa ditularkan ke anak-anak saya. Tapi ia tetap saja, pengetahuan. Mengendap dan "lengkap" mengingat pengalaman yang menyertainya.

Ramadhan adalah ladang, barangkali. Anda diberi kesempatan menggarapnya selama kurang lebih 30 hari. Setiap orang saya bayangkan mengerjakan petak yang sama, setiap kali berkesempatan menjumpainya lagi. tapi seperti pengalaman saya menanam di halaman belakang rumah kami, kita sendiri yang memilih menanami ladang itu dengan benih apa. Seperti stek singkong, anakan nenas, atau bibit keladi.

Teman saya, dari catatan yang ala kadar sebagai orang tua, menyiratkan ia menemani anaknya menanami ladang itu dengan benih spiritualitas yang telah diwajibkan sepanjang Ramadhan. Dengan sukacita dan semangat beribadah.

Dari bayangan berladang itu dan melakukannya selama 30 hari, saya melihat kebiasaan dan pengetahuan yang terbangun. Terbiasa merujuk perilaku kepada keabsahan saum, sujud, perenungan, dan kebersamaan.

Laku yang mestinya tinggal. Pengetahuan yang mengendap. Seperti saya dan pengetahuan berladang.

Hal lain, dari  'meladangi' Ramadhan, adalah kerendahan hati untuk memasuki masa yang lain bernama menunggu. Saya pikir selepas Ramadhan, adalah saat menunggu. menunggu dengan berbagai kecamuk persoalan, bahwa benih itu akan dituai.

Tapi bukankah kita tidak terbiasa menunggu ? Sebagian besar dari kita setuju bahwa menunggu adalah pekerjaan yang membosankan? Kalau harus pun, itu dilakukan sambil. Sambil mengerjakan hal lain, sambil mengomel, sambil kesal. Sambil yang ditepis di hari-hari Ramadhan.

 Apakah begitu nasib 'ladang' Ramadhan setelah usai menelusur hingga ke ujung?

Ketika tak ada lagi "kewajiban", ketika tak ada lagi bonus kesalehan, ketika perjumpaan kita denganNya berbentur dengan kewajiban kita sebagai ibu, sebagai ayah, sebagai mahasiswa, sebagai pegawai, dan di tengahnya tidak ada ruang keistimewaan apapun, kecuali kebiasaan yang terbangun selama 30 hari itu, ketika sujud kita adalah kerinduan semata. Akankah kita nanar oleh kesibukan sehari-hari dan melupakan bedeng, petak kemurahanNya yang kita, atau bersama anggota keluarga, telah tanami?

Apakah kehidupan kita mengaburkan kepastian bahwa ladang Ramadhan itu akan kita panen suatu saat nanti?

Kalau saudara mempertanyakan "kapan?", saya juga tak tahu. Entahlah. Memanen tomat tak sama dengan memanen durian.

Kemenangan orang beriman adalah ketajaman pandangnya tentang benih dan panen. Sehingga menunggu adalah pertaruhan yang sesungguhnya seorang pemenang sejati.

teman, selamat merayakan Idul Fitri.

kalau saya telah dengan tidak tepat beranalogi.. maafkan. Maafkan lahir dan batin.


salam,
LV

30 Agustus 2011

No comments:

Post a Comment