Sejak sebelas bulan lalu di paper holder pada meja kerja, kusimpan satu sajakmu. Tidak untuk apa-apa selain menghadirkan dirimu di dekatku. Rasa dekat yang sering terasa menggigit. Terutama ketika sms tak terjawab, atau telpon tak kau angkat. Kepada pemberianmu aku pergi. Tidak bukan pemberian, tapi pada jejakmu, aku pergi.
Bukan cuma sajak itu, yang ada di meja kerja. Ada juga selembar kulit jeruk pemberianmu. Tentu saja bukan kulit jeruk kering dalam tempayan kaca yang kau berikan. Lembar coklat dengan semburat hijau itu adalah jejak buah utuh yang kau antarkan, ketika menjengukku di rumah sakit.
Tentang kulit jeruk itu kutulis puisi ini:
meski kering,masih lentur kulit musim di genggamku
sisa yang kusimpan
ketika sebuah rasa kau kupaskan untukku.
kulepaskan jemari dan membiarkan musim pergi
karena kita telah berdampingandi keluasan entah,
pun kau tak bisa menyangkalinya.
October 2007
Sering kali, kulit jeruk kering itu sengaja kuletakan disebelah mouse pad. Supaya setiap kali tersentuh, akan tersengat ingatan padamu. Pada empat peristiwa kau memegang tanganku. Ya. saya menghitung hal-hal seperti itu, dan setiap kali tersentuh kulit jeruk itu, saya juga ingat pada kenyataan bahwa tangan kita saling menggenggam karena kau tidak mengelak. Wah.Ilusi tumbuh dari sana. Dari hal-hal yang cuma satu dua detik itu. Yang bahkan tidak kau maksudkan, barangkali. Tapi lihat apa yang terjadi padaku: aku merasa kau telah memberikan dirimu, untukku.
Aih.. tangan,ji...* sesekali kebinalan mencela.
Ya. Mungkin cuma 'ji' buat beberapa orang, tapi denganmu, itu sudah segalanya. Tapi diam-diam, dalam ketidakberdayaan yang kudus itu, aku masih berharap ada kecelakaan-kecelakaan kecil seperti kau lupa menarik tanganmu, dan aku menggenggamnya lebih lama dari yang sepatutnya.
Juga kepada jejak di secarik karcis parkir,aku pergi. Karcis parkir yang kau tinggalkan untukku, saat satu malam kau pergi membawa kerinduanmu buru-buru. Meninggalkanku di restoran dengan menu pizza dan pasta itu. Kali itu, kita bertemu untuk ke empat kalinya. Janji bertemu di situ. Janji temu kita lebih sering di warung kaki lima. Untuk sepiring nasi kuning di pagi hari, atau secangkir teh di awal malam.
Ketika esoknya kau menelpon dan bertanya tentang karcis itu, barulah kusadari, ada sesuatu yang istimewa di karcis itu. Karcis parkir yang kusimpan, karena kau pasti telah meninggalkannya untukku. Semalam pikirku untuk memberitahu, bahwa kau telah membayarkan ongkos parkir untukku. Apapun alasan yang membuat secarik karcis itu ada dalam dompet, kenyataannya ia telah kusimpan sebagai jejak. Jejak kebersamaanku denganmu.
Mengambil karcis parkir dari dalam dompet, kutemukan: "Nice 2 meet your eyes" tulisan tanganmu. Ilusi tentangmu melingkarkan sulurnya kembali. Tulisan itu terbaca: 'aku rindu.'
Tapi begitulah, selalu terjadi, kehadiranmu di sekitar meja kerjaku menjadi sesuatu yang lumrah dalam gulungan waktu. Kulit jeruk itu, sudah lama tersimpan di wadah kaca, tempat kukumpulkan batu dan kerang dari perjalanan penyelaman. Setelah beberapa lama tak lagi kutengok puisi itu. Meski selalu ada di depan mataku. Hal yang tak terelak atas sebuah rutinitas. Sampai sesuatu memaksa kita berhenti dan melihatnya kembali. Untuk sajak pemberianmu, plafon yang bocor. Setiap hujan datang, dari bocor di plafon, menetes air. Pada sebuah garis irisan antar sudut jatuh tetes air dengan letak paper folder, satu titik air jatuh menimpa puisimu. Percikannya menebar di atas kertas, melunturkan tinta.
Tinta yang pudar, jejak kebocoran pada puisi itu memberitahu bahwa selalu ada kemungkinan kehilangan dirimu. Terhadap datangnya kemungkinan itu, mestinya aku tidak perlu tersentak. Betapapun biasnya pengertian "kehilangan" itu, aku tahu rasa hampa akan beradu bahu dengan keangkuhanku untuk mencari alasan tetap bertahan.
javascript:void(0)
Selalu berulang. Seperti musim. Hujan akan terus datang, meski telah kusingkirkan paper holder itu dari titik jatuh air, noda pada kertas akan terus ada. Menjejak. Meski aku tak lagi menelusurinya dengan rasa yang sama, jejakmu mengingatkanku kau ada, My.
*ji dalam bahasa Makassar adalah penekanan yang dibuat untuk merendahkan. Seperti 'cuman segitu aja kok'
3 Des 2008
No comments:
Post a Comment