Pintu restoran kecil yang beralamat di 12 Rue Vaugirard di jantung kota itu, seperti tangan yang hendak mendekap, siap menghalau udara malam dingin berkabut. Cuaca berkisar 4-5 derajat Celsius. Paris gemerlap dengan hiasan lampu-lampu menyambut Natal.
Saat saya melangkah masuk, rasa hangat dan akrab menyergap. Meja-meja makan kecil yang siang tadi memenuhi dua ruang makan di lantai pertama telah dipindahkan. Kursi dijejerkan menyusur sisi ruangan. Di meja terdapat piring berisi kacang, mete dan emping goreng. Di sisi meja yang melekat pada dinding, dijajar buku-buku bergambar lelaki setengah baya. Di dinding, terpasang foto-foto berpigura dengan tema Indonesia. Ada hajatan malam itu, Senin 15 Desember 2008: acara ulang tahun ke-26 Restoran Indonesia, Paris.
Acara ulang tahun Restoran Indonesia itu menjadikan "Indonesie " sebagai sentral perayaan. Buku Indonesie, adalah kumpulan karya fotografer Patrick Blanche dengan tema Indonesia. Foto-foto di dinding restoran malam itu, adalah "cuplikan" karya fotonya.
Semakin malam, ruang menjadi semakin sempit oleh tetamu. Yang datang sangat beragam. Ada teman-teman sang fotografer, ada komunitas orang Indonesia dalam lingkaran Koperasi Restoran Indonesia, pelanggan mereka, atau pun mahasiswa Indonesia yang tinggal di Paris. Beberapa wajah saya kenali sebagai peminat Indonesia" dalam jaringan Asosiasi Persahabatan Indonesia – Perancis Pasar Malam, yang mengundang saya. Pertemuan Pasar Malam bertajuk 10 Jam Menikmati Sastra Indonesia berlangsung seminggu sebelumnya. Senang rasanya melihat wajah yang "tak asing". Sayang sekali, Johanna Lederer, Ketua Pasar Malam, terhalang datang oleh sakit.
Juga hadir para wakil dari Kedutaan Besar Indonesia untuk Perancis. Kemudian saya tahu, keberadaan wakil KBRI di acara malam itu, mencatat sejarah sendiri. Kehadiran resmi seperti itu, baru terjadi pertama kalinya selama 26 tahun kehadiran Restoran Indonesia di Paris.
Tetamu yang menghadiri rangkaian ulangtahun ke-26 Restoran Indonesia di Paris. Foto: Dokumentasi Luna Vidya.
Acara bergulir santai, meski suasana berubah sedikit formal ketika kepada Atase Pendidikan KBRI Perancis, Sudrajat diberi kehormatan memberikan sambutan. Lalu dilanjutkan dengan sambutan dari Umar Said, yang akrab dipanggil Om Umar, sesepuh koperasi Indonesia, dilanjutkan dengan Pak Yoso, pimpinan Restoran Indonesia.
Terus terang, jangan berharap saya menangkap apa yang dikatakan para pemberi sambutan itu. Saya hanya mendengarnya lamat-lamat dari pintu dapur. Suara mereka berdengung, baik sang pemberi sambutan maupun suara Nita, salah seolah pegawai Restoran Indonesia yang malam itu bertindak sebagai pembawa acara, sekaligus penerjemah. Bukan karena terhalang suara lain, tapi karena kegelisahan saya lebih riuh. Suara-suara di dalam kepala saya lebih keras dari gelak gurau dua juru masak yang bertugas malam itu, Mbak Didien dan Kak Yudith.
Terduduk di dapur, di atas sebuah wadah plastik, saya mulai mengurai perjalanan Sumarah. Tokoh yang akan saya bawakan dalam monolog. Saya gugup.
Bukan hanya karena pementasan yang harus saya jelang dalam hitungan 30 menit ke depan, penuh dengan "pertama kali". Pertama kali pentas sendiri di luar negeri – jika itu penting- adalah salah satunya. Tapi yang terpenting, karena pementasan ini, adalah pementasan pertama Balada Sumarah di mana dalam wilayah mental saya, telah terekam gambar wajah para Tenaga Kerja Wanita (TKW). Wajah-wajah yang saya temui dalam perjalanan menuju Paris. Menuju ke pementasan malam itu.
Terlintas wajah-wajah teman sebangku saya dalam perjalanan dari Jakarta menuju Dubai. Wajah Sundari, dari Majalengka, dan Sinar dari Kendari. Mereka yang kita sebut pahlawan devisa.
Wajah-wajah mereka yang penuh dengan kelelahan menghadapi kemiskinan, memantul-mantul jelas malam itu. Seperti kata Sumarah: "…jadilah saya Sumarah binti Sulaiman, seorang TKW.. mencoba meraih hidup yang lebih baik dengan menjadi budak di negeri orang." Benak saya juga penuh dengan impresi kegagahan dan sikap berani mereka, yang memilih menjadi TKW yang notabene babu.
Seperti yang disuarakan Sumarah: " ya, saya memang babu, tapi karena itu saya hebat. Saya hebat karena berani memilih membuat keputusan menjadi bagian paling bawah dari struktural manusia. Tidak ada orang yang mau jadi manusia di bawahnya manusia. Inilah saya Sumarah, menjadi babu, menjadi budak sudah menjadi pilihan."
Tapi dalam obrolan dengan tamu-tamu yang datang pada hajatan malam itu, saya tahu, perjalanan Sumarah adalah juga pecahan cermin perjalanan banyak orang di ruang itu. Perjalanan para pengembara. Perjalanan orang-orang yang tak bisa pulang –karena dicekal dengan alasan politik di masa Orde Baru-- dan kemudian memilih tak pulang. Sedikit banyaknya, di mata saya, para pengembara itu seperti Sumarah.
Ketika memberitahu pihak Restoran Indonesia bahwa nomor Balada Sumarah ini yang akan saya tampilkan, saya memilihnya lebih karena relevansi kisah Sumarah sang tokoh, dengan "legenda" di sekitar Koperasi Restoran Indonesia. Latar belakang keduanya yang sama, langsung atau tidak langsung: peristiwa G30S PKI 1965. Tapi pilihan itu tidak menjadi sederhana, ketika saya bertemu dengan "Sumarah-Sumarah" lain, di perjalanan Jakarta- Dubai dan di Restoran Indonesia yang hangat malam itu.
Saya gugup, karena paham dengan beragam tamu malam itu, isu yang termuat dalam monolog Balada Sumarah ini, adalah isu yang rawan. Isu yang dapat mengulik luka beberapa orang secara pribadi, beberapa orang secara politis. Tapi saya tidak bisa mundur. Panggung harus saya isi.
Sumarah, jadi bagian kisah hidup sejumlah penonton. Foto: Dokumentasi Luna Vidya.
Detik-detik Pementasan "Sudah siap?" tanya Nita. Saya tidak punya pilihan lain kecuali mengangguk tentu saja.
Di ambang pintu pembatas ruang makan restoran saya berdiri. Lalu saya memberi pengantar pada pementasan Balada Sumarah. Nita menerjemahkan sinopsisnya dalam bahasa Perancis.
Sinopsis yang saya tulis ini, jauh lebih baik dari yang saya narasikan di ambang pintu. Kepada semua yang siap menyaksikan Sumarah, saya berkata, “Mari ke sana, ke ambang pintu itu, menemani saya menjadi Sumarah!”
Balada Sumarah karya Tentrem Lestari ini pertama kali saya bawakan pada Festival Monolog di Jakarta pada tahun 2006. Kali ini, dengan ruang pentas yang lebih kecil, beban saya justru lebih berat karena akan mengulik-ulik luka lama sejumlah penonton.
Kisah ini dibuka degan adegan perempuan bernama Sumarah seorang TKW, di Arab Saudi duduk di bangku terdakwa di sebuah ruang pengadilan. Ia ada di sana karena tuduhan membunuh majikannya. Dari bangku itu, tanpa pembela atau penasehat hukum, ia minta diberi kesempatan untuk menceritakan saja kisahnya. "Ini bukan pembelaan", kata Sumarah. "Karena apapun yang saya katakan, itu adalah merah hitam, putih abu-abu diri saya, belang loreng, gelap cahaya hidup saya."
Di ruang pengadilan itu Sumarah yang berani mengambil keputusan menjadi babu, menjadi manusia di bawah manusia, meminta agar ia boleh berbicara, berbicara untuk terakhir kalinya sebelum menjalani hukuman mati.
Di bangku pesakitan Sumarah bercerita tentang kehidupannya. Kehidupan sebagai sebagai anak seorang pembuat gula yang kena ciduk karena dianggap anggota PKI. Sulaiman ayah Sumarah, ditangkap karena menjual gulanya kepada koperasi yang dibentuk oleh PKI. Sumarah masih dalam kandungan, ketika ayahnya ditangkap dan seumur hidupnya ia tidak pernah bertemu dengan sang ayah, yang meninggalkan jejak bayang hitam di sepanjang hidupnya. Bayang hitam yang menguntit dan merebut separuh ruang hidupnya. Sedari kecil, dikitari bisik-bisik dan sindiran warga kampung, Sumarah tidak berani mengangkat kepala dan tidak berani bicara. Bicara berarti bencana.
Tapi Sumarah yang percaya bahwa pendidikan bisa mengubah nasib, berpikir ijazah dan prestasi akan membawa perubahan. Karena itu dengan gigih ia berusaha untuk terus sekolah. Tapi kemudian, ternyata karena bayang-bayang hitam ayahnya, Sumarah meski lulus dengan nilai tertinggi tidak punya kesempatan untuk menjadi pegawai negeri. Ijazahnya tidak memberi keajaiban apa-apa. Tidak bisa membuka pintu kesempatan. Ia terdepak dari pintu ke pintu, karena bayang-bayang nama ayahnya. Bayang-bayang hitam nama Sulaiman yang terkait PKI membuat Sumarah kehilangan cintanya.
Sumarah bercerita tentang bagaimana ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika hak-haknya diselewengkan, tidak berani bicara apa-apa, lagi-lagi karena nama ayahnya yang masuk daftar hitam. Sumarah bercerita tentang betapa mudahnya segala urusan bila disertai amplop berisi lembaran rupiah. Sumarah bercerita tentang harapannya untuk mengubah nasib keluarga dengan menjadi TKW di negeri orang. Harapan yang membungkus kenyataan bahwa ia adalah warga selipan, setengah gelap di negerinya sendiri. Warga yang kepalanya tidak boleh kelihatan di antara kerumunan banyak orang. Harapan itu kandas ketika ia -untuk pertama kalinya- mencoba mempertahankan haknya. Menolak diperkosa terus oleh majikannya.
"Bertahun-tahun di negeri saya sendiri, saya hanya diselipkan, setengah gelap, kepala saya tidak boleh kelihatan di antara kerumunan banyak orang. Apakah sekarang di negeri orang saya masih harus dimelatakan...? seperti budak hina yang boleh dibinatangkan?"
Ia membunuh majikannya.
Sumarah juga memilih untuk tidak diadili di negerinya sendiri, negeri yang belum tentu akan membela hak-haknya. Setelah tidak ada lagi yang bisa diperas darinya: seorang perempuan, TKW, seorang pesakitan.
Menonton Penonton Saya bisa menerka Nita, sang pembawa acara, menambahkan keterangan historis pada bagian Partai Komunis Indonesia, untuk memberi penjelasan arti penting organisasi terlarang itu dan dihapuskannya bagian itu dalam kisah Balada Sumarah.
Setelah uraian tentang monolog itu, saya "mencuri" kesempatan untuk membacakan sebuah puisi, yang diadaptasi ke dalam Bahasa Perancis oleh Alex Cormanski. Puisi berjudul "Merayakan Lebaran" itu dalam adaptasinya diberi judul "La Fe`te du Pardon" atau "Merayakan Pengampunan".
Para tamu berdiri mengitari, juga menyesak di ruang sebelah untuk bisa mengawasi saya. Dua puluh lima menit. Seluruh kegugupan lumer jadi jeritan Sumarah: dengarlah saya! Dengan penonton yang terdekat berdiri dalam jarak jangkauan tangan, dan yang paling jauh hanya berjarak dua meter, selama dua puluh lima menit, saya menonton mata-mata yang menemani Sumarah menyanyikan baladanya. Ada bagian dari rintihan itu yang juga menjadi bagian hidup sejumlah penonton, ya para pengembara. juga para eksil yang masih terang jejaknya di sejumlah kota Eropa. Selama dua puluh lima menit, saya sang pelakon yang justru menjadi penonton, mengikuti perjalanan yang ditempuh beberapa orang dalam ruangan itu ke masa lalu.
Saya menyaksikan pedih memancar, ketika mata mereka menyempit ngilu, atau raut yang tiba-tiba melengos, juga kepala yang tertunduk. Atau bahu yang ditarik ke belakang dengan berat supaya kepala tetap tegak. Selama dua puluh lima menit itu, saya menerima empati mereka yang tidak pernah ada di jalan pengembaraan Sumarah: mereka orang-orang yang menjauh dari negeri sendiri, yang menyebut Indonesia sebagai sesuatu yang asing.
Sumarah selesai. "Saya siap mati", katanya. Pasrah, seperti artinya namanya.Tapi ada yang tidak selesai. Ada banyak komentar yang saya terima setelah itu. Saya menerima jabat hangat, pelukan dan ciuman pipi seusai pementasan. Pertanyaan seorang bapak yang menemani saya di awal malam ketika belum banyak tamu datang, menghentak saya: "Jadi sekarang boleh membicarakan hal-hal seperti itu di Indonesia?"
Pertanyaan itu membuat saya tahu, bahwa untuk banyak orang, perjalanan ke negeri asing terkadang bukan pilihan, tapi keterpaksaan.
Malam itu saya merasa sangat beruntung, bisa pulang ke negeri sendiri dan membayangkan tangan-tangan hangat yang siap mendekap. (p!)
*Citizen reporter Luna Vidya dapat dihubungi melalui email lunavidya@gmail.com
|