sendiri sepagi itu,
melepas kabut ke ujung teluk
ketika semalam kurayu ikan di bawah langit tanpa bulan
pada cahaya strongking yang jatuh dari ujung karang wajahmu meriakkan rindu.
ketika semalam aku mendekap dingin
kubayangkan hangat kibar kainmu
menunggu di pantai,
lalu patahan arang
lalu pipimu yang memerah
lalu matamu yang meminta
ketika kakimu kupentang
sendiriku di pagi itu
tak ada siapa
tidak juga tiang rumah kita
tidak juga cabik kainmu
pula kabut tak menunggu
sendiriku pagi itu
kabut ke laut surut
kelu dan dingin saling berpagut
untuk lelaki Pante Rheng
2007
Thursday, August 30, 2007
Jalan Kecil Ke Rumah
Jalan kecil itu akan mengantarmu ke rumah. Rumahku.
Jalan kecil dengan akasia tua di salah satu sisinya. Si pohon bernyanyi, di musim kemarau.
Jalan kecil itu akan mengantarmu kepada pergiku:
ke SD dengan seragam, ketika sekolah sebelumnya semata adalah kesenangan bermain di halaman luas berumput tebal dipagari pohonan akasia tua. Ke SMP yang kujingkat-jingkati penuh rasa ingin tahu, dengan ketebalan yang sama pada rasa takut. Ke petualangan. Ke debar dan gelisah asmara pertama yang memabukkan. Kepada goda rimbun pohonan di jalan pintas ke pada dewasa.
Juga ke sini, jalan kecil itu akan mengantarmu. Ke kehidupanku. Ke hidup seorang perempuan. Sebuah kamar, dengan satu jendela, suram. Di antara bau pesing, dan lotion import kutulis berlembar-lembar ingatan. Mungkin karena takut dilupakan. Belum banyak yang bisa kukisahkan. Lembar-lembar ingatan itu, menjadi selimut bagi sendiriku yang kadang ngilu. Selimut perca risau, yang pagi-pagi kulipat rapi. Selimut perca itu mungkin cukup untuk menghangatkan rasa ingin tahumu. Atau ketika di luar hujan turun, dan kau terpaksa menunggu di pintu, kau mungkin bisa mengubur jemu dengan membaca sambil berselimut potongan-potongan risauku. Jalan itu licin ketika basah.
Jalan kecil itu akan mengantarmu, ke ruang mataku: ketika kusaksikan bagaimana ia mengusung duka saat kematian keluar dari pintu depan. Mengusung sisa cahaya, membopong kenangan yang meronta memukul-mukul peti mati. Seperti lampu jalan, ketika fajar datang cahaya hidup berangsur redup. Dalam cahaya temaram, aku meneruskan kehidupan
Jalan kecil berbatu-batu itu, akan mengantarku pada kematian. Jalan kecil ke pada pulang. Meski belum lagi. Tapi jalanku menuju ke petang.
Ketika aku menunggu, berjalanlah bersamaku. Menemaniku bertarung dengan takut pada lupa. Melewati kemarau bersama pohon bernyanyi. Aku ingin menunggu petang sambil menyambung potongan perca, dan kau ada di sekitarku sedia menolong memasukkan benang.
Agustus 2007
Jalan kecil dengan akasia tua di salah satu sisinya. Si pohon bernyanyi, di musim kemarau.
Jalan kecil itu akan mengantarmu kepada pergiku:
ke SD dengan seragam, ketika sekolah sebelumnya semata adalah kesenangan bermain di halaman luas berumput tebal dipagari pohonan akasia tua. Ke SMP yang kujingkat-jingkati penuh rasa ingin tahu, dengan ketebalan yang sama pada rasa takut. Ke petualangan. Ke debar dan gelisah asmara pertama yang memabukkan. Kepada goda rimbun pohonan di jalan pintas ke pada dewasa.
Juga ke sini, jalan kecil itu akan mengantarmu. Ke kehidupanku. Ke hidup seorang perempuan. Sebuah kamar, dengan satu jendela, suram. Di antara bau pesing, dan lotion import kutulis berlembar-lembar ingatan. Mungkin karena takut dilupakan. Belum banyak yang bisa kukisahkan. Lembar-lembar ingatan itu, menjadi selimut bagi sendiriku yang kadang ngilu. Selimut perca risau, yang pagi-pagi kulipat rapi. Selimut perca itu mungkin cukup untuk menghangatkan rasa ingin tahumu. Atau ketika di luar hujan turun, dan kau terpaksa menunggu di pintu, kau mungkin bisa mengubur jemu dengan membaca sambil berselimut potongan-potongan risauku. Jalan itu licin ketika basah.
Jalan kecil itu akan mengantarmu, ke ruang mataku: ketika kusaksikan bagaimana ia mengusung duka saat kematian keluar dari pintu depan. Mengusung sisa cahaya, membopong kenangan yang meronta memukul-mukul peti mati. Seperti lampu jalan, ketika fajar datang cahaya hidup berangsur redup. Dalam cahaya temaram, aku meneruskan kehidupan
Jalan kecil berbatu-batu itu, akan mengantarku pada kematian. Jalan kecil ke pada pulang. Meski belum lagi. Tapi jalanku menuju ke petang.
Ketika aku menunggu, berjalanlah bersamaku. Menemaniku bertarung dengan takut pada lupa. Melewati kemarau bersama pohon bernyanyi. Aku ingin menunggu petang sambil menyambung potongan perca, dan kau ada di sekitarku sedia menolong memasukkan benang.
Agustus 2007
Wednesday, August 22, 2007
Coklat Sumbawa
bukit-bukit sunyi di antara langit ungu
dan tanah coklat tua
di antara batu angus bukit-bukit telanjang
angin meliukkan debu
di lingkar jalan-jalan padang berujung seribu
rindu membuka tangan seperti ibu
pelataran Tambora dalam telanjang Dompu
merengkuhku dalam-dalam
sedang
aku menyanyikan lagu hujan
lagu kita
di bawah matahari Sumbawa
di mata air tepi pantai lahar tambora terbaring
seperti kenangan tentangmu
meski diselusupkan dalam beratus diam
terus meluapkan rindu
: air tawar, air penawar
di bukit-bukit sunyi
di antara langit ungu dan tanah coklat tua
sedang musim menyanyikan lagu hujan
dan rindu merengkuhku seperti ibu,
kutukar benih
rahim kering Sumbawa
dengan dirimu
2005 - 2010
dan tanah coklat tua
di antara batu angus bukit-bukit telanjang
angin meliukkan debu
di lingkar jalan-jalan padang berujung seribu
rindu membuka tangan seperti ibu
pelataran Tambora dalam telanjang Dompu
merengkuhku dalam-dalam
sedang
aku menyanyikan lagu hujan
lagu kita
di bawah matahari Sumbawa
di mata air tepi pantai lahar tambora terbaring
seperti kenangan tentangmu
meski diselusupkan dalam beratus diam
terus meluapkan rindu
: air tawar, air penawar
di bukit-bukit sunyi
di antara langit ungu dan tanah coklat tua
sedang musim menyanyikan lagu hujan
dan rindu merengkuhku seperti ibu,
kutukar benih
rahim kering Sumbawa
dengan dirimu
2005 - 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)