ini refleksi, saya dan diri sendiri berhadapan, dengan kenaturalan -tulisan Onna Tahapary: duta kerajaan, pendengar, penulis, dan pengajar - sebagai cermin.
NATURAL itu APA ADANYA, LIAR. Juga indah. Ya. Setuju. Meski terus terang agak sulit menemukan "keindahan" di dalam ke-apaadanya-an itu. Selain keindahan itu relatif, dan subyektif. Pula betapa sulitnya memahami "keliaran" sebagai keindahan. Atau mari jujur-jujuran: apakah mungkin?
DIKOTOMI MORALITAS DAN NATURALITAS. Saya sering kali takut mengakuinya. Tapi begitulah. Ada dalam benak: hidup, berakar, bahwa moralitas tidak mungkin berjalan sejajar dengan menjadi apa adanya atau menjadi liar. Dari pengalaman menyelam, dan berbagai pertemuan dengan peristiwa alam, saya perhatikan alam, nature, tidak pernah bersikap agresif. Atau sikap agresif tidak hadir tanpa pemicu. Setiap unsur dari sebuah habitat mempunyai wilayah tumbuhnya sendiri. Zona aman, comfort zone. Sikap -yang terbaca agresif- adalah reaksi purba dari rasa terancam, rasa takut, yang melahirkan upaya-upaya mempertahankan diri, di dalam wilayah aman itu. Jadi saya kira, keliaran sama sekali tidak identik dengan sikap-sikap agresif, dan mengancam.
Tapi tidak ada tempat lain untuk menemukan ke-apaadaan, kesejatian selain berada di habitat asal. Berada di tempat, di situasi yang menelanjangi diri saya sedemikian rupa. Memaparkan saya sepenuh-penuhnya kepada: rasa takut, naluri-naluri purba untuk mempertahankan diri.
karena kehidupan tidak hitam-putih, karena kehidupan begitu kompleks, keliaran yang ditawarkan Onna, - keberagaman, bukan keseragaman- adalah pilihan yang sulit untuk diakui bahwa kita memerlukannya. Sama sulitnya memahami bahwa karena kita manusia, sekali lagi, JUSTRU karena kita manusia, “terserah” adalah tantangan terbesar bagi kenaturalan. Sebab meski kenaturalan memiliki hukum-hukumnya sendiri, pada manusia, hukum-hukum itu tidak sekedar “boleh-tidak boleh”, “haram-halal”, tapi juga “terserah.”
Ini membuat ke-apa-adanya-an, dan keliaran dalam ide naturalitas Onna, harus dimulai dan dipahami sebagai , naturalitas seorang yang lahir baru. Tanpa dasar kelahiran baru, being natural, menjadi apa adanya, ada ide yang mengerikan untuk para pencari surga yang mengerangkeng dirinya dalam ritual-ritual atau upacara-upacara keagamaan yang diselenggarakan atas dasar takut berdosa.
Meski saya berpikir demikian, saya tetap menyarankan supaya ide ini perlu dipertimbangkan untuk diperlakukan sebagai “sesat dan menyimpang”: bahwa ada orang yang melakukan ritual-ritual keagamaan karena takut berdosa. Bukan memanfaatkan ritual itu sebagai fasilitas komunikasi. Tempat membangun hubungan. Tempat berkonsolidasi. Sebab, saya tidak lagi yakin ritual-ritual itu dihadirkan semata-mata untuk keperluan transendental antara kita dan Sang Aku adalah Aku. Tapi pada saat yang sama, merasa iba pada mereka yang ragu-ragu untuk segera menceburkan diri ke dalam ide gila ini. Menceburkan diri ke dalam ketersediaan sang Pencipta, yang notabene pemilik blue print hakekat kehadiran seseorang dalam dunia. Kegembiraan yang liar.
Saya teringat pada suatu sore, sekelompok anak-anak di tepi tanggul di belakang sebuah hotel di Baubau.. mereka saling menjatuhkan temannya dari kontruksi kayu , atau menjatuhkan dirinya sendiri, berteriak riuh ketika melayang jatuh ke dalam laut dan tertawa tergelak di dalam air, berlomba naik ke darat, untuk saling mendorong lagi. Kegembiraan itu: apa adanya dan liar -menghitung resikonya-. Tapi berdosakah mereka?
Mungkin naïf, analogi ini, tapi dimerdekaan dalam Kristus, adalah landasan kita untuk tergelak, menikmati kegembiraan didorong dan mendorong orang menikmati “mandi-mandi”.. ini. Takut basah, tidak seharusnya menghalangi seseorang untuk membiarkan “keliaran” lepas, dan mencoba berenang.
Kayaknya, menjadi apa adanya -dalam Kristus- adalah tujuan penciptaan. Kegagalan menerima dan menghargai ide naturalitas-Nya, menggiring orang dengan posisi strategis tertentu, pada tindakan kesewenang-wenangan. Ke-apa-adanya-an, keliaran , tidak sering merupakan sesuatu yang dijadikan "target pembangunan". Dalam konteks komunitas di mana Onna berkubang "target pembangunan" adalah berbagai bentuk upaya, sekali lagi, upaya , atau kerja keras seseorang untuk memaksakan result nilai-nilai yang diyakininya ke dalam kehidupan orang lain. Upaya-upaya yang kalau dianalogi akan seperti bersikeras menyeragamkan usia panen tomat, kepada durian. what an effort kan? Konyol, but some people melihat hal itu sebagai bukti pencapaian, keberhasilan, sukses.
Contoh lain dari kesewenang-wenangan dalam menerima kenaturalan, adalah begitu sering kita -setidaknya saya- tergoda untuk menginterpretasi "kecukupan", sebagai "kemiskinan". Seperti menimbang pohon ketapang di tepi laut, dengan pohon jati yang telanjang tanpa daun di musim kemarau berdasarkan rimbun daun dan kehijauan. Siapa atau apa yang mendorong terbentuknya difinisi "miskin" pada si jati malang itu?
Maksud saya: siapa kita, untuk merasa lebih baik dari orang lain, dan ukuran pencapaian kita, kita pasungkan ke pada orang lain?
Asumsi saya, karena keterjebakan pada ukuran-ukuran materialistis, serta kegagalan melihat beda "cukup dan "serba kekurangan" dalam gambar biru sang Pengendara Musim. Saya harus terus melihat dua hal yang natural itu atas gambar biru. Bukan pada fotocopian kabur yang kita copy dengan mesin fotocopy merek “kata orang”.
Di gambar biru itu, kelihatannya “pas” , “seimbang” adalah salah satu keterangan yang mendampingi ide “diciptakan menurut gambar dan rupa Allah” , sebagai salah satu kata kunci dari kenaturalan, atau menjadi natural..
Para pemuja surga, cenderung bermain di wilayah aman. Para peziarah kebenaran akan berjalan sejauh-jauhnya, tanpa takut kehilangan jalan pulang, seperti Henokh.
Saya setuju, Si. Sebuah pemikiran briliant.
ReplyDeletehmmm...
ReplyDeletejarang aku menemukan pembahasan ini
selamat mbak
bisa mengupasnya dalam bentuk yang mudah dicerna