Notes On

Tuesday, July 1, 2008

Ketika Menunggu Di Pelabuhan

Prolog:

Perjalananmu, tentulah jauh melebihi pengalamanku. Kalau mencatatnya seperti ini, itu hanya supaya tidak lupa dan semata ingin bercerita. Dalam ketidaktahuan, dan kedunguanku terhadap apa, siapa yang telah kau temui dalam perjalanan.

Semalam Ariel -si sulung- berangkat ke Surabaya, dengan kapal laut. Fasilitas angkutan umum di mana orang diperlakukan tidak berbeda dengan barang oleh buruh-buruh angkut. Mengiringnya dengan mata, melihatnya terhimpit diantara penumpang lain, didesak didorong oleh buruh angkut di tangga kapal dengan backpack sepanjang punggungnya, saya terharu melihat senyum kemenangannya ketika dia melambai dari koridor kapal setelah berhasil mencapai puncak tangga.

Rasa haru ini, membersitkan rasa bangga, ketika Dantje, person in charge dalam rombongan yang diikuti Ariel, menelpon Nonie, ibu Nathan -teman serombongan Ariel- “mengeluh”: “kalau pulang nanti, pakai pesawat saja, ci Non.Ededeee, perempuan menggendong bayi saja tidak dianggap.”

Komentar saya: “tidak apa-apa. Ini kesempatan untuk belajar.”

Saya tahu, saya hanya bisa berharap Ariel akan memakai kesempatan ini untuk belajar. Belajar bagaimana survive. Belajar berada di posisi “tidak istimewa, hanya salah satu.” Belajar menguji nilai-nilainya sendiri. Bukankah hidup memang begitu?

Kita , saya setidaknya, semalam pada saat menunggu, melihat “tidak apa-apa. Ini kesempatan untuk belajar”-ku itu seperti ini: usaha saya menyingkirkan rasa terhimpit dan tertindas yang semakin meningkat seiring kemampuan capital saya membeli kenyamanan. Membeli ruang-ruang kenyamanan yang saya ukur dari pengalaman masa lalu.

Dengan kata lain -tanpa bermaksud menggurui-: kalau dulu saya naik kapal kelas ekonomi, tidur di emperan lorong, karena dana yang pas-pasan untuk pergi ke Jawa, anak saya harusnya tidak usah mengalami hal-hal itu. Pengalaman saya dulu, saya jadikan ukuran “nyaman-tidak nyaman”, sehingga ketika sekarang mau bepergian, ukuran itu saya jadikan pertimbangan. Pertimbangannya tidak menghitung kenyataan, betapa tak ternilainya pelajaran yang saya timba di perjalanan, betapa tak ternilainya pengalaman kebersamaan. Atau hal-hal lain yang kemudian membuat semua kita menyimpan rasa terimakasih pada kelas-kelas kehidupan yang telah kita masuki, dan memberi kita cukup alasan untuk stand up and sing: "let's celebrate life, i'm prosper!!"

Pertimbangannya lebih pada, dulu tidak ada uang, sekarang ada. Pada gengsi yang disamar-samarkan sebagai “mo libur kok malah susah,” “harus yang nyaman dong”, “itu jaman kesusahan, sekarang kan beda”. Pertimbangan “nyaman” itu, akhirnya membuat peristiwa “pergi bersama” menjadi semakin sempit, dan secara otomatis peluang untuk melakukannya semakin tipis. Setidaknya itu cara saya menghitung, sekarang.

Sebenarnya, kalimat panjang ini, hanya untuk bilang: saya telah berubah. saya hampir lupa, saya pernah ada di antara para penumpang kapal PELNI itu bertahun lalu. Berselonjor diatas kertas koran, menunggui ransel bawaan seperti induk ayam membentangkan sayapnya, tapi gembira, penuh gairah. Bukan saya yang sekarang, memilih kenyamanan diatas segalanya, dan lelah secara emosional oleh rutinitas.

Padahal, berapa banyak sebenarnya yang mampu saya beli? Saya bahkan tidak bisa membeli subtitusi dari kerendahan hati. Ketika kembali berada di tengah bau keringat, ruang pengap, saya mual. Padahal, ada ratusan orang lain di ruang tunggu itu, dan mereka menunggu dengan kepasrahan yang mengigilkan pada system yang begitu korup. Saya bertahun lalu ada di antara mereka. Dengan idealisme yang menggigilkan ttg masyarakat sejahtera, dengan kemarahan berbuncah pada ketidakadilan dan kesewenangan, juga empati pada kemiskinan, yang saya potret di pelabuhan. Potretnya sama. Saya tidak ada lagi ada disana.

Mungkin tidak perlu ada, tapi saya merasa dengan ruang yang lebih luas yang sekarang saya miliki, saya tidak seharusnya membuang hal-hal yang saya rekam dan saya alami, seburuk apapun itu. Mestinya, idealisme itu tidak hilang, mestinya buncah kemarahan itu tidak mereda lalu dingin, mestinya empati tidak perlu saya tukar dengan gengsi.

“Tidak ada di sana”, juga menjadi jembatan kepada hal lain mengenai Ariel, ketika menunggu itu. Dia akan bertualang. Dan sendirian. Maksudku, tanpa saya. Sebelum itu, ketika memelukku di pelataran pelabuhan, saya bilang: “have fun”, dan sambil melangkah, Ariel memberi tanda OK dengan jemarinya

Melihatnya menghilang ke lambung kapal, rasanya seperti melepas seorang sahabat. Kami sama tahu, kami akan saling merindukan, tapi perpisahan ini adalah kegairahan tersendiri. Sebuah perjalanan , sebuah kesempatan, yang sering kali harus ditempuh masing-masing orang, semata dengan dirinya sendiri. Kali ini, Ariel tidak melakukannya bersamaku. Itu saja. Ada kegairahan lain, ada kesempatan lain, yang akan disodorkan waktu untuk kami tempuh berdua. Yang perlu saya lakukan adalah menunggu.

Bagaimana saya akan menunggu, adalah sebuah pilihan sikap hati. Sikap hati yang baru akan terbaca kemudian, tapi direkam oleh "sekarang". seperti potret menunggu di pelabuhan. Potretku, menunggu di pelabuhan.

Ketika “tidak ada disana” itu hadir, berelasi dengan orang-orang terkasih: anak, suami dan sahabat saya ingin berterimakasih. Karena “tidak ada disana” adalah sebuah dimensi saja, dimensi fisik. Kehadiranmu ( "-mu" baca: orang-orang terkasih) memenuhi setiap ruang, ruangku sebagai ibu, sebagai istri, lebih dari itu sebagai orang.

Semalam ketika menunggu Ariel pergi, saya penuh ingatan padamu. Pada kesediaanmu menemani. Kesediaanmu menelan sendiriku yang sering tanpa hati.


2008
last day with IFC-AS Indonesia.

1 comment:

  1. #usi luna
    usi.. beta pung ada 3 buah buah,
    - Gandonge - daniel sahuleka (akustik)
    - Gandong - Lex Trio Ft. Yopie Latul (keroncong)
    - Gandong - Foco
    Ups.. kayaknya lagunya Massada yang Arumbai mantap juga tu usi buat baca puisi... instrumen dan warna ambonnya keren sekale...selain itu
    ntar beta kirim lewat email jua usi e..

    ReplyDelete