Kenapa rasa ngilu ini?
Saya ingin mengingatnya seperti ini:
22.3
Betapa asingnya dirimu. Betapa cerobohnya saya mengartikan keramahanmu dan pertolonganmu. Itu sama sekali belum berarti seluruh sembuh lukamu. Sama sekali tidak berarti kau merelakan pengampunan. Seperti yang kau "minta" dalam emailmu bahkan.
Saya ingin mengingatnya seperti ini:
Rasa ngilu itu, mendengarmu membisikan luka yang kutoreh ke hatiku. Karena melukaimu. Kata-kata yang mengalir lancar, dengan nada-nada rendah. Kekecewaanmu.
Lalu kemarahan yang melata diam itu, tanpa pengampunan. Bahwa kau melakukannya untukkku, hal terakhir yang akan kau lakukan untukku. Bahwa engkau hanya "toyboy". Toyboy?
Saya ingin mengingatnya seperti ini:
Saya perlu waktu untuk mengukur kejujuran sendiri, bahwa engkau hanya permainan. Semata permainan. Betapa menyakitkan hal itu nanti, jika ternyata itu tidak benar. Karena itu tidak mengubah apapun yang saya dengar hari ini. Tuduhan. Asumsi. Dan saya tidak berdaya, tidak berdaya membuktikan kau tidak benar. Saya tidak punya alternative untuk memberi bukti bahwa itu tidak benar, selain mengisi halaman-halaman ini. Yang ada padaku hanya keterbatasan yang tidak bisa saya bengkokan sampai kapanpu, untuk bilang padamu dengan cara apapun , kau telah memenuhi hidupku. Mempermainkanmu, adalah mempermainkan hidupku.
Pada "kau telah memenuhi hidupku" itulah halaman-halaman ini telah mempunyai alasan yang sangat kuat untuk terus ada. Apakah pemaknaan yang kutelusuri ini akan bernilai sama, itu soal lain, yang tidak ingin saya hampiri sekarang. Atau kapanpun. Saya tidak inign melukai diriku sendiri dengan asumsi, kau tidak pernah perduli bahwa ada halaman-halaman hidupku, yang hanya terisi olehmu.
Kau tidak perduli. Kau tidak perduli pada jam-jam panjang di tengah kewajiban ini itu pekerjaan, sebagai ibu, pegawai, dan istri, yang kuabdikan dengan bodoh kepada permintaanmu. "bisa terjemahkan?", atau selalu memposisikan diri sebagai pemohon.
Saya perlahan mulai takut, kalau-kalau nanti dengan angkuh kau akan kembali bertanya, "did I ever ask you to do so?" saya tahu saya telah melakukannya karena saya ingin melakukannya untukmu. Karena saya ingin memberimu dukungan apa saja yang masih ungkin dari segala ketidakberdayaanku. sama seperti pertanyaan : "did I ever hurt you?"
untuk pertanyaan ini pun saya tak punya jawaban selain melihat diri sendiri, yang berlari menyongsong luka, luka yang saya tabrakan sendiri. Karena selain terluka, tak ada cara lain untuk mendekatimu, merasakan kehadiranmu di sekitarku.
Betapa menggoda rasa angkuh , untuk melemparkan ke hadapanmu, jam-jam panjang, dan harapan-harapan yang bertunas di dalamnya itu, dan berbantah denganmu soal : "permainan" dan "I do it for you". Tapi saya memilih untuk menerima bagian ini: kau benar, kau tidak pernah melukaiku –pada kalimat sendu bersembilu di restoran baruga siang itu: "do I ever hurt you?". Harapan dan pengabdianku telah melukaiku. Saya memilih untuk terus menyirami halaman tumbuh ini. Untuk alasan yang terus menerus akan melukaiku, aku mencintaimu.
Saya ingin mengingatnya seperti ini, am not belong here. Here in your heart.
23.3,
Kepedihan itu terus mengikutiku. Terus merobekku. Terpikir, apa yang saya butuhkan untuk menyembuhkan kepedihan ini. Yodium? Atau valium? Atau penghilang rasa sakit sesaat lainnya. Apa yang menyakitkan adalah seperti apapun kebutuhanku untuk menawar rasa sakit ini, ada kesadaran yang kuat bahwa "sesaat" jelas tidak menyembuhkan.
Saya harus menghadapimu,sekali lagi. Saya harus menyongsong luka sekali lagi.
Saya ingin mengingatnya seperti ini:
saya mencari alasan yang paling logis untuk bisa menjumpaimu. Tapi kau tidak bergeming. Jadi saya mendatangimu di kantor Oxfam. Saya ingin mengingatnya sebagai draft -sesamar mungkin- karena saya tidak punya banyak peristiwa dengan dirimu . Peristiwa di mana saya kehilangan keangkuhan saya, dan hanya menjadi diriku saja. Tanpa rencana dan rancangan. Peristiwa dimana diriku hanya molusca tanpa perisai. Ketika oleh bujukan angin lembut saya keluar dari persembunyian untuk menemukan titian sembilu. Di ujungnya bayang-bayangmu berkelebat. Saya pergi juga menjumpaimu. Melata dengan perut, mengemis kerinduan darimu. Perut terbelah, saya menunggu.
"bisaki ketemuka di luar?" lalu dari seberang jalan melalui jeruji pagar, saya melihat kakimu mendekat. Pintu terkuak, dan dirimu. Senyummu. Tidak sama sekali kau tidak gembira. Dengan segera kegelisahan yang selalu menyergapmu setiap berhadapan denganku muncul lagi. Kau berusaha untuk mengusirku. Apapun alasan itu.
Dengan perut terbelah saya memohon sedikit saja dari waktumu. Wahai..
Apapun percakapan kita nanti, setelah sore itu, saya tidak ingin mengingatnya lagi. Tidak ingin mengingat apa yang kau katakan. Karena semakin ke mari, semakin terasa, kau sedang mempermainkanku. Tapi tentang apa yang saya katakan, saya memilih untuk mengingatnya seperti ini:
Jangan lagi pernah mengusirku pergi dengan alasan yang dicari-cari, karena sudah sepantasnya saya tidak berada di sekitar kehidupanmu.
Kau selalu punya cukup kekuatan untuk melakukan banyak hal. Karena dirimu, adalah kekuatanku dan inspirasi bagiku.
Kau selalu bisa meminta apa saja, dan akan kulakukan untukmu seperti yang selalu berlangsung sebelum ini. Entah bagaimana caranya. (tapi bagian ini tidak pernah akan kau dengar, karena pada prinsipnya, begitu kalimat "penyedia jasa" itu terlontar, saya telah kehilang ketulusan. Saya telah menghianati " kepadamu, aku semua-mua, kepadaku kamu semau-mau."
I'll do my best for you, dan sejak sekarang, karya kreatifku is dedicated for you. Kenapa? Entahlah. Ada seribu alasan bisa kuberi peluang. Tapi saya akan menunggu. Sampai saya mendengar sendiri dari hatiku. Sampai saat saya menemukan ada alasan lain selain ini: aku mencintaimu.
24.3
"sekali nanti, akan kutemukan nama bagi pohon hari
Tumbuhan asing yang kusirami air beras dari petak sawahku
Daunnya pilu, bulirnya kelu. "
Saya ingin mengingatnya seperti ini:
Saya bertemu Mila,dalam perjalanan ke Jakarta untuk event Makkunrai di TIM. Dalam perjalan untuk mendedikasikan "the best for you". Dia menceritakan padaku, "pengaduanmu". Duh. Kau mengadu. Kau mencari sekutu untuk menghadapiku. Duhai. Perihnya.
Jam-jam setelah itu, adalah jam-jam yang hampa. Tidak ada lagi artinya. Saya tidak terlalu angkuh dan keras kepala untuk meniadakan kenyataan itu, bahwa kau mencari sekutu untuk memusuhiku. Mencari sekutu untuk mendapatkan pembelaan. Perihnya. Tidak ada yang dapat mengubah kenyataan itu. Saya tidak bisa menolak kenyataan bahwa pada jam-jam hampa itu, benih keangkuhan telah meruak kulit ari kepercayaanku pada harapan, kau tidak sedang mempermainkanku.
Saya tidak ingin mengingat penampilan semu di TIM itu, sampai kapanpun. Sama sekali tidak berarti.
Saya tergoda untuk memangkas rata, mencabut dan membiarkannya tercerabut dari tanah, perasaan yang semu ini.
Tapi saya tahu, ini juga adalah peristiwa penting, sekaligus indicator kejujuran saya pada diri sendiri, tentang posisimu dalam permainan ini. Permainanmu saya pikir. Jadi lebih tepat kalau: posisiku dalam permainan ini
Jadi inget lagu Beatles: "yesterday, love was such an easy game to play. Now I need a place to hide away. Oh yesterday, came suddenly."
Mungkin akan datang juga jemu. Tapi hari ini, biarkan aku mabuk
Mabuk oleh rindu yang kuhirup dari cawan retak.
Pecahan kaca yang tertelan
Di perutku jadi nyanyian cinta
27.3
U'r back in town.. saya ingin bereaksi "biasa-biasa" saja pada moment yang ingin saya ingat ini. Kau menelpon. Tapi tidak bisa. Saya tidak bisa membiasa-biasakan dirimu. Ah, kenapa harus cinta yang jadi tempatku bergelayut? Padahal ada begitu banyak sulur di rapat dan rimbun rasa. Kenapa harus cinta, pula cinta yang sedemikian luka dan terlarang, pula kau campakkan?
My, meski dungu saya toh terus saja mengisi lembaran ini. Meski dungu, kepedihan yang terus merobekku adalah kebutuhan adalah dorongan untuk kembali padamu. Dan ketika menyirami halaman ini dengan kata-kata, kepedihan itu menjadi air beras untuk pohon "jati cinta"ku. inilah percakapan kita, sejati percakapan kita. hening yang beranak pinak, di tengah kita..
My, kenapa harus cinta? pula yang luka dan terlarang seperti ini?
tapi terus kusirami, terus kusiangi.. pada embun menggangtung diujungnya..
kulihat diriku, perawan. Menunggumu.