Sabtu:
Ada rasa gamang.
Kesedihan menggantung seperti kabut di antara pohonan pinus malino. Dan oleh sedikit angin saja, rasa pilu itu telah ada di depanku, menyungkupku. Seperti bossara pada sajian . Seluruh. Sedikit angin dan aku terhidang, tak berdaya, ada dalam deret pilihan. Di sana, di jamuan pernikahan yang di bawah tendanya aku tergeletak terpanggang.
Seperti pagi-pagi musim kering, kabut akan tinggal lebih lama di antara pohonan pinus di halaman penginapan. Di jalan. Kau tahu, seperti aku berandapun pekat oleh kabut. Di depan jendela, menggumamkan namamu, kuusir-usir ragu. Sebagaimana tanganmu biasa melingkari pinggangku, dari belakang pilu yang menggigilkan memelukku, rapat, ketat, menawarkan kehangatan: “menyerah saja, kau menunggu yang tak akan datang. Bersamaku saja.”
Aku berdesir, dengan jemari goda kusisir. “aku ingin menunggu kabut pergi, karena matahari. Dingin ranjang ini, kekasihku yang akan menghardikmu pergi.”
Dengan tak perduli, pilu duduk di meja makanku tertawa. “Jangan pura-pura tak kau lihat”, katanya. “Ada bayang-bayang berkelebat di antara pohonan, dalam kabut. Mengintip dan mengendap. Lalu siapa akan bersaksi, bukan waktu yang akan menikammu di halaman depan? Kau tak akan dibiarkannya mati, seketika. Percayalah. Tapi karena itu, kau tahu: seperti pada luka damak beripuh, nadimu hanya bisa mengalirkan racunnya ke jantung. Tidak memuntahkannya."
Dan matahari masih tumpul hingga kini. Kabut terus menggantung. Jantungku terus memompakan namamu.
Waktu, kau kah itu?
Ingin sekali memburu bayang berkelebat, yang mengintipkan derita di sudut-sudut mata. Mencengkramnya di bahu dan berkata: “Katakan siapa dirimu. Jangan mengendap-endap dalam kabut sungai. Atau bersembunyi di rimbun pohonan. Ke rumah ibuku, naiklah bertelanjang dada. Di rumahku, tinggallah.”
Minggu:
1/
Seperti haluan perahu kau merobekku.
Meninggalkan busa diburitan
Tanpa sempat merasa sendirian , aku hilang.
2/
Selaut lukaku
Menjelma kemaluan pelacur.
Tak ada rahasia , segala bisa menyelam di sana.
Juga putus asa.
2008
Ada rasa gamang.
Kesedihan menggantung seperti kabut di antara pohonan pinus malino. Dan oleh sedikit angin saja, rasa pilu itu telah ada di depanku, menyungkupku. Seperti bossara pada sajian . Seluruh. Sedikit angin dan aku terhidang, tak berdaya, ada dalam deret pilihan. Di sana, di jamuan pernikahan yang di bawah tendanya aku tergeletak terpanggang.
Seperti pagi-pagi musim kering, kabut akan tinggal lebih lama di antara pohonan pinus di halaman penginapan. Di jalan. Kau tahu, seperti aku berandapun pekat oleh kabut. Di depan jendela, menggumamkan namamu, kuusir-usir ragu. Sebagaimana tanganmu biasa melingkari pinggangku, dari belakang pilu yang menggigilkan memelukku, rapat, ketat, menawarkan kehangatan: “menyerah saja, kau menunggu yang tak akan datang. Bersamaku saja.”
Aku berdesir, dengan jemari goda kusisir. “aku ingin menunggu kabut pergi, karena matahari. Dingin ranjang ini, kekasihku yang akan menghardikmu pergi.”
Dengan tak perduli, pilu duduk di meja makanku tertawa. “Jangan pura-pura tak kau lihat”, katanya. “Ada bayang-bayang berkelebat di antara pohonan, dalam kabut. Mengintip dan mengendap. Lalu siapa akan bersaksi, bukan waktu yang akan menikammu di halaman depan? Kau tak akan dibiarkannya mati, seketika. Percayalah. Tapi karena itu, kau tahu: seperti pada luka damak beripuh, nadimu hanya bisa mengalirkan racunnya ke jantung. Tidak memuntahkannya."
Dan matahari masih tumpul hingga kini. Kabut terus menggantung. Jantungku terus memompakan namamu.
Waktu, kau kah itu?
Ingin sekali memburu bayang berkelebat, yang mengintipkan derita di sudut-sudut mata. Mencengkramnya di bahu dan berkata: “Katakan siapa dirimu. Jangan mengendap-endap dalam kabut sungai. Atau bersembunyi di rimbun pohonan. Ke rumah ibuku, naiklah bertelanjang dada. Di rumahku, tinggallah.”
Minggu:
1/
Seperti haluan perahu kau merobekku.
Meninggalkan busa diburitan
Tanpa sempat merasa sendirian , aku hilang.
2/
Selaut lukaku
Menjelma kemaluan pelacur.
Tak ada rahasia , segala bisa menyelam di sana.
Juga putus asa.
2008