Ada beberapa hal yang menggugah saya membaca postingan John Boekorsjom: “AMYAS” Wisdom dari Negeri Cenderawasih 106 kisah inspirasional Penerang Hidup oleh Simon P. Morin.
Kutipan dari postingan itu:
"Kita, orang Papua generasi sekarang, cenderung melupakan kewajiban dan tanggungjawab kita terhadap kelanjutan hidup generasi generasi berikutnya dan sedang mengobral habis kekayaan bersama itu untuk kenikmatan diri sendiri.
Gejala ini sudah mulai tampak di daerah perkotaan di seluruh Tanah Papua. Kelompok klan atau suku tertentu sudah menunjukkan tanda tanda kehilangan tanah adatnya. Generasi barunya sedang frustasi berat dan melarikan diri ke minuman keras karena merasa tidak memiliki masa depan lagi."
Saya punya pendapat yang sama mengenai keberlanjutan generasi di Papua. Sudah tidak bisa 'ngeyel' lagi bahwa perlu tampil generasi dengan komitment kuat bagi masa depan Papua. Ini bahkan sama sekali tidak ada hubungan dengan isu politis. Ini soal mentalitas, ini kajian antropologi dari wilayah sekitar tungku saja.
1. Perlu tampil generasi yang mengelola hak-hak individunya sebagai komunitas.
Jelas di ingatan saya, bahwa 'kampung'- kampung di jalan Sentani- Ifar di masa kecil saya, adalah pemukiman klan. Beberapa rumah panggung dengan pekarangan terbuka di tengah dan satu dua pohon pinang. Pemandangan yang sama yang saya rekam, ketika mengunjungi Waisai di Kabupaten Raja Ampat. Kampung-kampung itu disebut dengan nama keluarga. Ada Kampung Sawaki, misalnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, ketika mulai sering kembali ke Jayapura kampung-kampung yang saya ingat di masa kecil itu sudah menghilang. Kemana mereka? Ruas jalan Sentani- Ifar Gunung itupun telah menjadi jalur yang hampir separuh dikawal oleh perumahan. Perumahan yang dibangun merapat ke tepi jalan. Ada persoalan apa dengan pekarangan yang luas dan rindang dengan satu dua pohon-pohon pinang?
Dugaan saya, mereka menukar komunitas dan kebersamaan dengan hak individu untuk menjadi bagian dari masyarakat 'modern', maju. Sebuah pencapaian yang secara salah diidentikkan dengan kemampuan membeli. Membeli rumah batu, membeli motor, membeli mobil, membeli perempuan dan membeli minuman keras. Membeli dan mabuk oleh kepedihan lain yang datang bersama 'kemajuan' itu: kekuasaan.
Kekuasaan (dalam sistem politik) yang teranut saat ini di Papua sama sekali bertolak belakang dengan semangat yang membangun struktur masyarakat klan. Sebagian besar kita mau tidak mau harus merujuk pada sistem itu. Tentu tidak berarti kehadiran sebuah sistem lalu menjadi mataair kesalahan. Tidak ada yang salah dengan sistem itu. Sebab lebih dari sekedar sebuah intervensi sistem politik, kita semua dijajah sampai ke dalam ruang tamu oleh ide globalisasi.
Yang terjadi adalah ide modernisasi, globalisasi telah membentuk sebuah generasi yang gamang. Generasi yang berusaha seragam dengan indikator kemajuan yang ‘asing’: besarnya kapital, dan tajamnya kompetisi individual. Padahal, spirit klan itu yang menjadi roh hak individu Orang Papua. Klan adalah mentalitas: sebuah cara pandang ketika hak individual melebur dalam belanga komunitas. Sadar atau tidak. Tak bisa mengelak dari serbuan globalisasi, semangat klan ini semakin menyusut ke dalam keluarga batih atau paling tidak keluarga luas.
Semangat klan itu harus dikembalikan. Individualitas perlu kembali disuarakan sebagai suara klan, yang istilah kerennya : komunitas. Suara yang keluar dari pekarangan terbuka, kemana pintu-pintu rumah mengarah.
2. Pemegang Saham dan Pendukung Kepentingan
Masih dari postingan yang sama:
Ingat! Orang Papua Tanpa Tanah dan Tanpa Hutan serta Lingkungan Alam yang Lestari akan menjadi ORANG ORANG YANG PALING MALANG DI TANAH KELAHIRANNYA SENDIRI.
Kecuali! Dari hasil penjualan hutan dan tanah itu, Orang Papua sudah menjadi KAPITALIS atau dari hasil penjualan tanah dan hutan itu Orang Papua sudah BERHASIL MENYEKOLAHKAN GENERASI BARUNYA menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga MAMPU BERKOMPETISI di era globalisasi.
Saya tidak terlalu setuju dengan 'dorongan' untuk menjual tanah -meski dengan harga tinggi.
Menurut saya yang harus didorong adalah kepemilikan bersama, seperti semangat yang dulu membentuk kampung-kampung. Artinya sebagai komunitas dalam arus trading global sekarang, pemilik tanah adalah pemegang saham (stockholder) dan pendukung kepentingan (stakeholder) dari aktivitas apapun di wilayah itu. Ini mencakup seluruh kegiatan pembangunan maupun peningkatan ekonomi. Yang dimotori pemerintah maupun sektor swasta.
Untuk membangun jalan tol misalnya, perlu dibangun mekanisme yang memungkinkan kampung-kampung yang dilewati, juga menjadi pemegang saham investasi itu. Mereka (dan kemudian anak-anak cucunya) berhak atas retribusi penggunaan fasilitas.
Rumit? Saya pikir yang dibutuhkan ‘hanya’ database kampung yang rapih dan cermat. Tentu saja kerja ini akan memerlukan investasi yang besar. Sumber daya, dana, akan jadi alasan. Utopia database kampung yang ada dalam benak saya adalah sebuah produk kerja bersama teman-teman LSM, para fasilitator RESPEK.
Database yang rapih dan cermat ini akan menjadi semacam social garantie masa depan generasi yang akan datang. Yang menjamin bagi hasil share investasi atas penggunaan tanah ulayat. Bahwa tanah di mana tumbuh ruko, mall, perkantoran, sekolah adalah investasi komunitas, sumber dana abadi komunitas, bukan individu. Investasi klan. Berbasis kontrak bisnis. Bahwa mereka masih pemilik sah tanah warisan mereka, sebagai sebuah klan. Bukan penonton, atau korban yang gamang dari lindas maju buldoser globalisasi*
Tapi jangan menutup mata bahwa penting untuk mengawal semua perubahan ini dengan pendidikan. Untuk penduduk di kampung, saya memilih gereja untuk terlibat melakukannya. Pilihan ini menimbulkan pertanyaan: Apakah Yayasan Pendidikan Kristen yang mengasuh sebagian masa pendidikan dasar saya dan tempat orang tua saya mengabdikan diri masih punya visi yang sama ? Visi yang saya coba lihat dari sekolah berasrama untuk guru-guru SD, SGB YPK Ifar Gunung tempat orang tua saya mengajar? Asrama-asrama yang kemudian kosong, tanpa murid dan kami kemudian pindah ke kota?
Saya masih percaya bahwa pendidikan untuk orang Papua perlu melibatkan gereja. Sama seperti saya percaya bahwa jumlah penjual buah pinang di emper toko di sepanjang pertokoan Imbi di Jayapura, menunjukkan masih ada pohon pinang yang tumbuh di pekarangan. Mungkin tidak di pekarangan rumah anda, tapi di tempat lain dengan pekarangan terbuka yang rindang.
Kerja besar ? Ya. Itulah yang disebut panggilan untuk mengabdi dan itu wujud komitment untuk masa depan Papua: menyiapkan sesuatu yang tidak kelihatan, yang tidak serta merta jadi sorotan, tapi tetap harus dikerjakan. dan dikerjakan mulai sekarang.
Bagaimana?
*buldoser globalisasi - film Avatar, sutradara: James Cameron