Notes On

Tuesday, January 15, 2008

Kaluma

Kita tahu pepatah: gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Kita juga tahu beberapa hari belakangan ini, oleh media kita dibanjiri dengan serbasuharto. Mungkin terasa berlebihan, tapi pertanyaan yang mengusik adalah: "why should I care?" . Dalam kesempatan-kesempatan menjauh dari banjir serbasuharto ini, saya membuat penilaian-penilaian pribadi terhadap saling keterkaitan kami. Keterkaitan saya sebagai individu, dengan Suharto sebagai individu pula. Saya sebagai angka selama tahun-tahun pemerintahannya, dengan Suharto sebagai individu yang mantan presiden. Termasuk di dalamnya keputusan-keputusan politis yang ia buat sebagai presiden. Keterkaitan kami? Nyaris tak ada, sampai ketika saya menelusuri julukan yang diberikan kepadanya.

Julukan kita tahu dapat disandangkan kepada seseorang dengan maksud memuja juga menghina. Sebuah julukan sama mistis dengan angan-angan yang dibungkus dalam nama, tapi julukan selalu duduk di bangku depan dalam sejarah, menurut saya. Kita lebih ingat “The Hunchback of Notre Dame” dari pada nama Quasimodo, misalnya. Membicarakan Suharto, tentu tidak harus dengan "itikad baik" dari rangkaian caci maki tentu saja.. karena toh secara langsung kita (maaf kalo dianggap sok mewakili) tidak bersentuhan langsung dengan sang tiran, julukan yang diberikan kepadanya oleh pihak luar negeri. Apa julukan kita -sebagai bangsa kepadanya? Bapak Pembangunan.

Saya berharap kita dapat sepakat, bahwa bagaimanapun nama memiliki aura mistis. Dipicu banjir serbasuharto, bagi saya julukan yang satu ini punya nilai “keramat”. Karrama’, kata orang Makassar. Bukan semata karena kata "pembangunan" adalah karrama'nya "negeri-negeri sedang berkembang". Kita juga sama tahu, pembangunan dan negara berkembang, merujuk pada kata yang sama: Development. Semua negeri yang memiliki salah satu dari label: miskin, korup, chaos berlomba-lomba mengejar, juga berduyun-duyun datang menyembah kata itu: development. Tapi selain itu, bersamaan dengan riuh rendah discourse tentang suharto, saya dengan tercengang melihat aura mistis lain dari kata itu.. kata itu, "pembangunan" seakan sebuah kandungan. Kandungan seorang ibu. Agung.

Membiarkan seseorang menyandang nama Bapak Pembangunan, adalah seperti membiarkan seseorang membentangkan selimut atas -atau seperti kandungan seorang perempuan: menyelubungi - negeri ini dalam proses developmentnya. Menyerap seluruh potensi kehidupan yang disediakannya, atau disisakannya. Sebab janin tidak punya pilihan. Bapak Pembangunan. Kandungan. Suharto. Bagaimana bisa “tempat” yang sangat keramat itu dinodai? Mungkin karena itu, selalu ada rasa antipati terhadap penguasa yang korup, seperti kita menyimpan angkara pada mereka yang menghianati seorang ibu, meski tak terkait darah setetes pun.

Dalam julukan itu, julukan Bapak Pembangunan, yang bersanding dengan Tiran, kita mengagungkan “right or wrong is my country”, dan berbagai jargon basi lainnya. Kandungan pun berubah menjadi kaluma. Kaluma (Greek) secara harfiah berarti selubung. Tapi lebih dari sekedar selubung, kaluma bermakna "kantong yang hitam, gelap, penuh racun." Dan kita ada di dalamnya. Di sini, di tempat kita hari ini. Dalam kaluma yang kita terima tanpa perlawanan, seakan-akan kita tidak punya pilihan. Kemana saja menoleh, setiap "gerak maju" bernama pembangunan adalah peralihan semu dari bayang-bayang mistis nama itu. Julukan itu. Bapak pembangunan. Mungkin itu sebabnya, dengan berbagai alasan, deretan panjang orang masih datang memohon restu.. restu mistis sang ibu, yang notabene laki-laki bernama suharto. Bahkan ketika secara klinis beliau telah wafat. Mungkin itu sebabnya kita merasa terluka sebagai bangsa, mungkin itu sebabnya kita merasa dikhianati sebagai negeri, dan dengan putus asa kita berkata: " dah korup dari sononya sih.." lalu ketika kita tidak "terbawa pusaran arus" kita terpaksa mahfum, kita terpaksa berkompromi. Kronologi premis ini bisa berbalik , tergantung kita sedang berkuasa atau tidak. Tapi untuk benar-benar tidak perduli, kita tidak bisa. Tidak seharusnya kita bisa.

Ada yang terus menghantui gerak maju bangsa ini. Bahkan jika seorang suharto yang presiden ini dimakan ulat, kita akan terus merasa menjadi bagian -yang tak berdaya- dalam selubung pembangunan. Karena di dalam kita telah terbentuk gagasan, mentalitas bahwa pembangunan Indonesia identik dengan Suharto. Bukan berarti saya menafikan kemajuan-kemajuan signifikan yang terjadi dalam era suharto yang bernilai berkelanjutan, tapi pembangunan negeri ini tidak identik dengan seorang Suharto yang pernah presiden. Julukan itu, akan menyamarkan nilai dari gerak maju "pembangunan" lain dalam era siapa saja.

Melihat kehadiran Suharto hanya sebagai sebuah bagian dari kronologis upaya bersama bangsa -kalau memang ada bangsa bernama Indonesia- untuk mencapai masyarakat madani akan menjadikan kita orang-orang yang lebih punya harga diri, lebih punya terimakasih, lebih lama berjuang. Sesuatu yang tidak kita miliki, sebagai bangsa. Jujur saja, di luar negeri, anda Indonesia adakah terbersit untuk berbangga sebagai bangsa lebih dari sekedar memiliki kekayaan tradisi? Ketika di antara kita ada kesempatan untuk masuk hitungan, nyaris semata karena kekuatan individu. Kenapa begitu? Karena kita, di inner most being kita, pada dasarnya setuju bahwa bangsa ini, "dari sono"-nya, dari kandungannya.. cacat.

Saya –jauh di dalam sini, my inner most being -meski tak pernah berurusan langsung- merasa dikhianati. Kenapa mesti? Karena saya diam-diam percaya pada sacre kata "development". Sama seperti saya percaya pada keagungan kata "ibu". Lalu? Jika negeri ini bertumbuh dan berproses, setidaknya saya harus mampu melihat: masa depan sungguh ada. Dengan atau tanpa suharto (dan jejaring mistis yang telah ditebarnya ke seluruh negeri.)

Saya merasa perlu mengajak orang lain melihat masa depan di luar dikte selubung yang telah korup itu. Pula mengajak yang sepakat untuk melakukan upaya spiritual merobek selubung yang telah mengkhianati kita. Bukan untuk menjadi kelompok klenik, tapi melakukan penolakan spiritual terhadap dikte mistis bahwa negeri ini ada dalam kandungan Suharto. Dalam iman saya tindakan seperti ini disebut peperangan rohani, spiritual warfare. Peperangan yang dilakukan melawan penguasa-penguasa, pemerintah dan penguasa dan roh-roh jahat. Semua elemen ini, di tambahi "di udara". Artinya, atmosphere. Something you can' see, but you breath it in. Kenyataan yang tidak nyata. Tapi berkuasa. Sangat berpengaruh.

Selama bertahun-tahun saya berasumsi sebuah peperangan rohani adalah gambar samar-samar tentang orang beriman berhadapan dalam perjumpaan mistis dengan sesembahan para pejabat: kuasa, harta dan goda-goda lain yang membuatnya pantas memakai label “pejabat”. Yang beriman dengan doanya, yang memiliki jabatan dengan godanya. Saling memandang. Saling merendahkan. Ternyata tidak. Memerangi aura ketidakadilan, kesewenang-wenangan, bukan sesuatu yang samar. Bukan cuma adengan saling pelotot, janjang kata orang Makassar. Mengajukan keberatan, menyuarakan pembelaan, atas dasar saling, adalah pemihakan yang dapat dilakukan seorang individu dalam kesempatan apapun. Tindakan individual yang secara spiritual memiliki pengaruh komunal. Tindakan tersebut adalah tindakan peperangan, sebab peperangan kita bukan perkara melawan darah dan daging, tapi mematahkan paradigma.

Jika saya memaklumatkan perang, dan menolak "ditumbuhkan", "dibangun" dalam kandungan yang korup, maka itu bukanlah peperangan samar-samar. Kenapa? Karena itu pilihan setiap hari. Meski untuk mempengaruhi generasi, kita belum tentu melihat hasilnya dengan mata sendiri, dengannya kita berlatih, setiap hari untuk membuat perbedaan, setidaknya di nurani sendiri. /luv