Posting ini adalah komentar yang terkumpul tentang tulisan Kaluma. Di kampung p! ini saya tulis sebagai "Peperangan terhadap Ibu".
Dari : Ami (when suharto’s still dying)
Luna yang baik.
Kamu telah menulis sebuah esei yang saya kira Arge pun akan "terkapar", kumat asam uratnya, lantaran kemilau gagasan dan kecemerlangan diksi yang kamu gunakan mengomentari "banjir" Soeharto.
Namun terlepas dari semua itu, dengan memilik terminologi "kaluma" untuk menyebut "pembangunan" kita memang tak bisa lain, harus takluk. Untung kamu tidak tamat SD Inpres, sehinga alif ba ta mu samasekali tak berkaitan lansung dengan program Soeharto.
Yang ingin saya komentari ialah, bahwa saya sangat setuju dengan kekuatan individu yang kamu paparkan -- karena bangsa, atau apapun identitas lain dalam pergaulan dunia, selalu memang mesti lebih kuat individunya. Dan dalam konteks kaluma pembangunan-isme itu, saya kira pandanglah sebagai sebuah batu asah yang akan melincin dan mengkilatkan giok yang terpendam dalam potensi individual-mu. Saya selalu ingat ecip untuk hal yang satu ini: 'takkan lahir pelaut ulung di laut tenang' -- tetapi tentu saja kita harus pelaut dulu dan bukan hanya pelaut-pelautan yang hanya menghayalkan tantangan sambil duduk di beranda menghadap samudera.
Luna, terima kasih...
27-01-2008
Dari : Ismail Amin | ma_ipa@yahoo.comSalam, saya lebih memilih sepakat dengan komentar Romo Mangun Wijaya tentang gelar bapak pembangunan yang disematkan kepada Soeharto, bahwa meskipun Indonesia masih dibawah jajahan Belanda, akan tetap ada pembangunan di negeri ini, bahkan bisa jadi lebih baik dari yang pernah dilakukan Soeharto buat negara ini. Hakikat kemerdekaan bukanlah mampu membangun infra struktur semata, tapi lebih dari itu, yakni, bangunlah jiwanya....lebih dulu...sebelum membangun badannya... Hidup Indonesia Raya....Saya pribadi, sulit memaafkan Soeharto, kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukannya sangat terlalu.
27-01-2008
Dari : kapitipiti | kapitipitie@yahoo.co.jp
Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Kita telah ditinggalkan oleh "Bapak Pembangunan" yang menyisakan hutang luar negeri yg harus dibayar hingga anak cucu kita, yang membuat sejarahwan harus kerja keras untuk meluruskan kembali sejarah, yang "mendiamkan dengan tangan dingin" orang-orang yang berseberangan, dan peninggalan paling menonjol adalah tersibgahnya "budaya" korupsi dari tingkat atas hingga ke tingkat bawah.
28-01-2008
Dari : Lacigau | andi_acox@yahoo.com
Dulu bicara yang tidak bebas, pangan melimpah, listrik hingga ke desa. Kemana mana tidak takut......aman.Utan g banyak ada buktinya, jalan lintas sumatera, lintas sulawesi terbangun. Sekarang Bebas bicara hingga lupa kerja. Listrik sulit , kaum kapitalis telah sampai ke kampung-kampung.Tana h negara dijual kepala desa. Kemana-mana kita ragu dan takut. Upah naik harga barang 2x naik.Kerja bakti harus ada uangnya. Jalan didepan rumah rusak, tinggal bilang urusan PU. Banjir di mata kaki minta sumbangan. Haluan negara tidak jelas. Ulat ingin jadi naga, belalang ingin jadi elang, ijazah palsu merajalela. Anak tidak dengar orang tua, orang tua seperti anak-anak. Bupati dan gubernur tambah banyak, mobil dinas bertambah.Inikah reformasi?.......... ..apa yang direformasi ?
30-01-2008
Dari : syamsoe | toyota-gue.com
tak ada gading yang tak retak, biar bagaimanapun, kita harus tetap menghargai jasa2 bapak pembangunan, soeharto.. kalo memang ada salah, biarlah nanti berpulang kepada siapa yang memperbuat, peradilan akherat yang memutuskan... tidak munafik juga sih, sebagai anak yang besar dari seorang pns, mungkin saya juga pernah merasakan hidup dari seorang pns yang berpayung partai golkar, atau mungkin tanpa kita sadari, kita pernah merasakan beasiswa supersemar atau mungkin hal2 yang lain yang mungkin berujung pangkal dari seorang jasa pak harto
30-01-2008
Dari : halim hd. | halimhade@yahoo.com
dear luna, esai anda yang sangat menyentuh ini membuat saya berulang kali untuk membacanya, berulangkali saya harus berpikir, diantara rasa lelah saya karena mata yang kian rapuh dan perasaan serta pikiran menanggung beban informasi yang saya usahakan untuk saya hindari, namun tak terhindari. saya bertanya-tanya, benarkah saya tidak bersentuhan atau berhubungan langsung dengaan 'sang tiran'? benarkah saya langsung berhubungan dengan 'bapak pembangunan'? benarkah bahwa julukan 'sang tiran' datang dari 'luar negeri' dan 'bapak pembangunan' dari 'diri kita', dari 'dalam'? jika ada seorang perempuan beranak dua, isteri ketua serikat buruh kereta api menangis dengan kedalaman suara yang tertahan diantara pepohonan pisang di seberang sungai, dan beberapa serdadu menggagahinya, dan tetangganya tak berdaya, dan saya hanya dicekam rasa takut dan tak bisa bersuara, dan ingatan itu terus mengejar diri saya sejak saya di smp sampai kini, di mana letak, posisi suharto? tentu bukan suharto yang melakukannya, dia juga tidak melakukannya terhadap diri saya ketika beberapa serdadu menangkapi anak-anak remaja kampung yang protes kepada seorang hansip yang suka berlagak koboi yang selalu menakuti orang kampung dengan granat atau senjata api. dan 4 remaja itu direndam di kolam kantor kodim selama 2 hari 2 malam, dan semuanya membawa tanda: kuku jempol kakinya pecah dan bengkak selama berminggu-minggu karena selama interogasi empat kaki meja ditaruh diatas jempol, dan empat serdadu duduk di atas meja sambil membentak-bentak dan menempilingi kepala 4 remaja, diselingi dengan tendangan ditulang kering kaki 4 remaja itu. tanda itu bukan hanya sampai dijempol kaki, bukan hanya ditulang kering yang kini kian pupus karena celana panjang melindunginya. adakah akan hilang? tapi kenapa ingatan ini terus memagut? suharto juga 'tidak-ikut' bertindak dan 'tidak-melarang' ketika ada jenasah yang telah 3 hari terbujur dan para tetangga akan menguburkannya diantara rasa takut dan ada seseorang yang berani mengajak orang-orang untuk menguburkannya dan menyumbang peti jenasah, dan mereka diinterogasi oleh serdadu, karena sang jenasah adalah mantan makhluk yang dianggap lepra politik oleh sang rejim yang baru mencengkeramkan kukunya melalui teror. dan kenapa pula liem tjoe-sen mesti bolak-balik ke kantor kodim hanya karena ingin menyumbangkan peti jenasah? suharto tidak tahu tentang hal itu. dear luna, di rumah kami yang hanya beberapa meter dari sungai kecil yang membelah kampung mangga dua dan kebon sayur dan sebuah sumur yang dibuat oleh ayah saya untuk umum, menjadi saksi dan bagian dari peristiwa pemusnahan buku-buku koleksi kakak saya dan menjadi bagian kehidupan saya. ratusan buku, hampir seribuan bersama majalah, sebagian besar dari koleksi itu,ditenggelamkan oleh ibu saya. jelas, bukan tindakan serdadu, apalagi suharto. cuma rasa takut yang terus-menerus mencengkam ibu saya yang membuatnya melakukan tindakan yang dia tahu benar bahwa buku menjadi bagian penting dari keluarganya, tapi karena setiap minggu 2-3 kali serdadu melakukan kontrol ke rumah-rumah di kampung kami, dan mencurigai setiap rumah yang memiliki buku. ibu saya berpikir, bagaimana melindungi keluarga dari gangguan serdadu. suharto juga tidak ikut menggagahi seorang remaja perempuan yang duduk di smp, jika remaja itu menengok ayahnya yang menjadi tapol sebelum ayahnya dipindah ke pulau buru. dear luna, antara serang dan kota banten-lama jaraknya 10 km, jalan yang pernah begitu indah dengan deretan pohon asam yang kokoh dan rinbun, hasil kolonialisme belanda. dari serang ke batukuwung terbentang 30 km jalan-tanah yang sempit, dan di sana ada tempat tamasya. dari serang ke merak 3o km. dari cilegon ke anyer 30 km. dan di kota serang ada sarana olahraga di alun-alun. kami menyebutnya gelanggang olahraga (gor) dan ada gedung pertemuan yang sudah dirobohkan setelah hampir 20 tahun dibangun, sementara gor-nya, beberapa tahun yang lalu masih saya saksikan. kedua gedung itu di'bangun' oleh tapol atas kontrol serdadu, seperti juga tempat tamasya batukuwung (juga disebut batitit). dan jalan-jalan yang dijaman bung karno rusak berat itu, diperbaiki oleh tapol atas perintah serdadu. dear luna, apa yang saya sampaikan ini ingin menegaskan esai anda, bahwa rekayasa penabalan menciptakan kondisi mistis dan kita dicengkam olehnya, ditarik ke dalam selubung mistis yang seakan-akan (atau sejatinya?) tak mampu menguaknya, seolah-olah menjadi 'takdir' diri kita. saya ingin menarik garis logika ini, bahwa serdadu itu melakukannya juga demi suharto yang bukan hanya sosok tapi lebih dari itu sudah sebuah sistem mistis itu. dan sebagai sistem, tak ada lagi batas antara penabalan dari 'luar negeri' dan 'dalam negeri'. sebagai 'tiran' dan 'bapak pembangunan' dia diciptakan dalam konstelasi kepentingan dalam negeri dan internasional (baca: amerika cs), kepentingan ideologi pembangunan, yang sampai kini kita masih mengabsahkannya, bahkan dengan hal-hal yang paling konyol, misalnya pernah mendapatkan bea siswa super semar. catatan akhir dari tanggapan ini, saya ingin bertanya kepada anda, apakah pernyataan anda tentang anggapan, penabalan 'tiran' kepada suharto itu oleh 'pihak luar' (di antara tanda kutip. hhd.) karena anda membaca dari media luar, analis luar, atau analis indonesia yang ada dan hidup di luar nusantara, sementara itu tak ada media kita yang berani menyebut suharto sebagai 'diktator' atau 'tiran'? atau anda ingin menyatakan bahwa media kita melakukan manipulasi, hipokrisi, tak berani menyampaikan 'realitas' sejarah sosial-politik yang ada dihadapannya?
31-01-2008
Dari : fahrie | www.dokter-unhas.org
Dalam setiap kehidupan pasti ada hitam dan putih, bahkan juga abu-abu , mulai dari gradasi abu-abu tua hampir hitam sampai abu-abu muda nyaris putih. Untuk menakar kehidupan seorang Soeharto dengan kaca mata hitam putih tentulah absurd, seabsurd kita mempertanyakan apakah beliau seorang tiran atau bapak pembangunan. Biarlah yang Maha adil yang memutus -bukan kita - karena boleh jadi kita tanpa sadar lebih tiran dari Soeharto dalam skala peran kita yang serba kecil. Saya hanya tertarik untuk melihat betapa kontras sikap rakyat kecil dan kaum 'intelek' dalam memaknai kepergian seorang Soeharto. Dan saya rasa bahwa teori sederhana Maslow mungkin bisa sedikit menjawab fenomena itu. Bahwa dikalangan rakyat kecil yang masih sibuk memikirkan hari ini mesti makan apa, atau besok si becce kecil harus mulai sekolah tapi ongkos masuk sekolah entah mesti dicari di mana, belum lagi sekolah desa yang nyaris roboh dimakan usia. Bagi mereka, Soeharto adalah pahlawan yang mampu mengatasi itu. Suatu kemampuan yang sayangnya tidak dimiliki para petinggi negara setelah Soeharto. Sementara bagi sebagian dari kita yang mengaku intelek dan pernah mengecap bangku bergengsi kampus, itu bukan lagi masalah buat kita, karena kebutuhan kita telah bergeser kearah yang lebih tinggi, ke jenjang kebebasan aktualisasi diri yang terbelenggu di era sang 'bapak pembangunan' Satu hal menarik lagi adalah ketika gema kebebasan yang lama kita perjuangkan itu akhirnya bisa kita raih, satu borok terkuak betapa sebagai bangsa kita ternyata belum cukup matang untuk memanggul menara emas kebebasan itu, terbukti dari betapa setelah bebas beraktualisasi kita justru sibuk memikirkan kepentingan diri sendiri, semua merasa berhak untuk mencari untung sebanyak-banyaknya tanpa peduli nasib saudaranya. Soeharto membuktikan bahwa untuk saat ini, masyarakat kita memang masih perlu di'cambuk' untuk bisa bergerak maju secara sinergis demi kepentingan bersama. Satu ujar bijaksana dari Mario Teguh lantas terngiang ditelinga saya: "Seorang pemimpin adalah orang yang mampu memaksakan kehendaknya untuk kepentingan semua orang" Siapapun orang itu.... pastinya bukan seorang peragu yang sibuk bercermin memikirkan citra positif dirinya tanpa mampu membuat perubahan apapun.
31-01-2008
Dari : halim hd. | halimhade@yahoo.com
bung fahrie, ada ribuan orang, walaupun kompas hanya melaporkan dari sisi sebuah keluarga korban waduk kedung ombo di jateng, yang masih membenci suharto. juga terdapat ribuan orang korban waduk wonogiri, yang mereka anggap suharto membuat mereka miskin: dipindahkan ke sumatera (kalau nggak salah ke daerah sitiung dan sibolangit), di sana mereka akhirnya bergelandangan, dan banyak yang kembali ke jawa dalam kondisi miskin. sementara itu di daerah transmigran, banyak yang jadi gelandangan dan menjadi beban daerah itu. dengan kata lain, untuk menilai suharto, siapapun tidak perlu untuk menjadi 'intelek'. karena, perasaan keadilan, tidak dibentuk oleh dunia pendidikan yang kita miliki. sedikit saja punya kepekan, siapapun bisa menilai, apakah suharto menciptakan keadilan atau tidak? dan saya setuju kepada anda, justeru ketika pintu terbuka, kalangan elite kita kian tak mampu menciptakan kondisi lebih baik. mereka berebut dan menjadi kanibal. dan kini yang menjadi korban adalah kembali kalangan bawah, yang kian menggunung. tapi, bukankah kondisi 10 tahun setelah reformasi juga akibat dari proses yang dibentuk oleh rejim suharto? betapa 'ahistoris'nya jika kita menilai dengan sobekan waktu: reformasi dan 4 presiden pasca suharto adalah 'awal baru', 'sejarah baru', tidak ada hubungannya dengan jaman suharto?! dan tentang 'cambuk suharto', bung fahrie', justeru lebih tepat ditujukan kepada anak-anak cucunya, ketimbang kepada warga. sebagai pejalan, saya banyak menemui kalangan bawah yang rajin, betapapun mereka dalam kemiskinan. lihatlah para nelayan di selayar, taka boneratte, atau tak jauh-jauh, di paotere, hanya untuk sesuap nasi mereka menyabung nyawa di tengah laut! dan betapa rajin para petani di desa menanam cengkeh dan memeliharanya bertahun-tahun sebagai simpanan untuk hari tua, untuk anak isterinya. dan siapa pula yang merusak kondisi tata niaga cengkeh di sulsel, sulut, sumatera melalui bppc, seperti juga tata niaga jeruk? bukankah cambuk itu pantas ditujukan kepada putera kesayangan suharto, tommy? tentu saya bersetuju pula, ini yang mungkin anda maksudkan, bahwa 'tidak sepenuhnya' kesalahan itu pada suharto. namun, bukankah dia yang meraih 'bapak pembangunan', bukankah dia yang menduduki posisi tertinggi? bukankah jabatan membawa konsekuensi logis tanggungjawab? noblesse oblige, kata tetangga jean-paul sartre.
01-02-2008
Dari : fahrie | www.dokter-unhas.org
Terima kasih banyak atas tanggapan bung Halim, saya sangat menghargai pendapat anda. Dan dalam beberapa poin sependapat dengan anda. Sayapun tidak bisa menutup mata untuk menyangkal 'dosa-dosa' Soeharto. Sebagai orang nomer 1 dinegeri ini, amat sangat wajar kalau semua salah yang pernah ada dalam 32 tahun pemerintahannya diarahkan kepadanya. Namun sebaliknya, tentunya kepada beliau juga kita bisa melayangkan acungan jempol untuk beberapa pencapaian yang ada di era itu. Tentang 'cambuk', sebagai orang yang pernah melewatkan hari-hari di beberapa daerah dan negara di Asia Tenggara, saya melihat satu persamaan antara kita dengan 'mereka' para jiran kita. Karakteristik singaporean, malaysian, philipinos, kurang lebih sama dengan kita. Lantas apa yang membuat Saingapore dan Malaysia bisa maju sedangkan kita dan Phillipine jalan ditempat, bahkan cenderung bergerak mundur??? Saya menganggap yang membedakan adalah pemerintahnya! Siapapun - saya yakin - akan setuju kalau saya bilang gaya kepemimpinan Lee Kuan Yew 'sedikit' diktator dan Mahathir 'cenderung' tiran. Tapi justru itu yang membuat mereka maju. Sebaliknya Philipine yang - karena pengaruh demokrasi ala Amerika - sengkamma ngaseng ji dengan kita. Gonta-ganti pemimpin, korupsi, saling sikut saling jambak. Maaf kalau kemudian saya beranggapan bahwa perlu seorang 'diktator' untuk bisa membawa kita keluar dari lingkaran setan yang kita sebut 'reformasi' ini. Satu figur pemimpin yang sayangnya belum lagi terlihat dari deretan muka-muka lama yang kelihatannya akan kembali berebut tampuk kekuasaan di pemilu 2009. Salahkah kalau dalam rasa kecewa dan frustrasi yang mumbuncah itu, kemudian figur tiran Soeharto terlihat begitu menggoda?????
04-02-2008
Dari : Sugi' |
Mas halim, makasih untuk obrolan ini. Meski saya tidak bisa menampik kebenaran yang disebutkan Ami, mengomentari bahwa "Untung kamu tidak tamat SD Inpres, sehinga alif ba ta mu samasekali tak berkaitan langsung dengan program Soeharto." Atau karena kemampuan keuangan keluarga kami yang cukup, saya tidak mengejar beasiswa supersemar yang disebutkan mas Halim, padahal saya pikir secara akademis, saya memenuhi syarat; Saya harus jujur mengakui, sekarang setelah saya menulis kaluma, bahwa saya takut. Kalau saya menyebutnya tiran, dan membubuhi luar negeri di belakangnya, seperti dugaan mas halim, karena saya ada pada deretan mereka yang "diam-diam" setuju pada julukan itu. Julukan yang, sekali lagi mas halim benar, saya temukan dari bacaan saya yang tidak terbit di dalam negeri.
Saya mungkin terlalu naif untuk menarik keterkaitan Suharto dengan peristiwa matinya Gento. Sahabat kakak saya yang menjadi bagian keluarga kami. Gento ditemukan mati dengan leher terjerat kabel, terkesan terdampar di pantai, karena dia katanya aktivis OPM. Meski kami pun tahu dia memang aktivis OPM. Siapa pelakunya? Saya menyimpan "siapa" itu dalam bisik-bisik di sekitar pemakaman. Mereka yang mas halim sebut "serdadu". Sejak itu saya mengerti kenapa orang tua saya yang dua-duanya pegawai negeri, melarang kami menyebut, mengesankan sosok suharto dengan maksud membuat lelucon. Larangan, dan "hus.. gak boleh itu" juga yang menumbuhkan pengertian saya pada hal-hal yang tidak bisa mereka jelaskan kemudian. Saya mengerti kecemasan orang tua saya yang Golkar, ketika dalam "latihan" pemilu, -yang konon berasaskan LUBER (langsung, umum, bebas dan RAHASIA )- ipar saya memilih partai bukan GOLKAR. "lha tak cuma kira latihan.." ipar saya, tidak sesederhana rangkain interview yang mengikuti ayah saya setelah itu.
Yang tidak saya duga, ketakutan itu terus mengikuti saya. Intimidasi tentang kemampuan seorang Suharto menekuk kehidupan seorang "angka" dalam masa pemerintahannya. Intimidasi yang menyusup masuk sampai ke ruang keluarga kami. Mungkin saya sebenarnya ingin bilang, "tiran" tanpa mengembel-embeli "luar negeri", tapi saya masih takut. Takut ditangkap, takut diinterview, takut mengalami nasib seperti teman-teman saya di SMA. Teman-teman yang tiba-tiba menghilang dari kelas. Lalu berbulan-bulan kemudian kami dengar mayat mereka ditemukan, di laut, di pantai, dengan leher terjerat kabel, dengan rumor OPM di sekitar kematian mereka, seperti Gento. Saya enggan, mas. Enggan terus hidup dalam ketakutan seperti itu.